8. Aku Pria Sholeh Tetapi Boong

1364 Kata
BAHAGIA SETELAH BERPISAH 8. ** Suara adzan berkumandang. Aku terbangun dan mendapati Mas Hamdan sedang tidur sambil memelukku. Ih, entah mengapa melihatnya aku langsung merasa kesal. Segera ku lepas kasar tangannya. Dia menggeliat dan beralih membelakangi ku. Netraku teralih ke Sesil. Aku menciumi gadis kecil yang masih enam bulan itu. Aku keluar sambil merenggangkan otot-otot tubuhku karena habis bangun tidur. Ku dapati anakku sudah rapi dengan peci dan baju Koko. "Bun, hari ini jadikan temani aku ke masjid. Fatih sudah minta izin mau ambil video Pak Ustadz yang lagi ceramah di sesi tanya jawab." Fatih berdiri berharap aku mau menemani dia membuat konten. Sungguh anak ini semangat sekali setelah ada gawai dan laptop baru. "Di masjid sini, kan?" tanyaku sambil menguap. Aku menutup mulutku. "Iya, Bun," katanya bersemangat. "Ya sudah Bunda siap-siap dulu. Kamu tunggu ya," ucapku berlalu ke belakang. Fatih menunggu sambil mengotak-atik video nya. Aku sudah memakai hijab instan. Aku menaruh mukena ku di ruang tamu. Aku ke kamar dan minta izin ke Mas Hamdan supaya dia bisa menjaga Sesil sebentar. "Mas ... Mas ...," Aku membangunkannya. Dia hanya menggeliat. "Mas ...," Aku berkata cukup keras. Perlahan dia membuka mata. "Apasih, ganggu orang tidur aja!" ucapnya. Aku memajukan bibirku kesal dengan jawabannya. "Mas, aku mau ke masjid. Aku nitip Sesil sebentar. Kalau dia nangis kamu kasih s**u," kataku padanya. Dia membalik badan melihatku. "Kamu bilang sedang datang bulan. Ngapain ke masjid?" "Fatih ada tugas dari sekolah. Dia mau nulis ceramah pagi dari ustaz. Dia minta aku menemani, atau sekalian aja kalau kamu mau pergi kita pergi bersama. Atau kamu temani anakku ke masjid sekalian kamu sholat. Biar aku sholat di rumah dan menjaga Sesil," kataku memberi dia pilihan. Dia dengan suara serak berkata. "Bawel amat sih, pergi sana. Aku ngantuk!" "Ya udah, titip Sesil. Jangan lupa buatin s**u kalau dia nangis." Aku berlalu ke masjid. Aku meninggalkan Mas Hamdan bersama Sesil. Aku mencibirnya sebentar, teringat chatnya dengan akun Inuy Keiko. Di sana dia berkata alim dan anak masjid. Alim dari mana dari Hongkong kali. Ngaku anak masjid dan gak bernah berbohong. Dasar p*nd*sta. ** Fatih merasa senang karena dia sudah mendapatkan konten yang dia mau. Aku juga bahagia bisa menemani dia sekaligus belajar ilmu agama. Fatih masih berbicara dengan ustaz. Dia memberikan arahan untuk anakku. Aku menunggunya di teras masjid. Aku membuka gawaiku. Aku teringat akun Inuy Keiko. Aku masuk ke akun itu dan menulis status di sana. Udara subuh sungguh syahdu. Berbahagialah para perindu masjid. Setelah ku posting, aku mendapatkan beberapa like. Beberapa saat kemudian Mas Hamdan mengomentari postinganku. 'Masjid sedang menyambut bidadari surga seperti ukhty,' Membacanya membuatku mual, aku tak menggubrisnya. Biar saja, ternyata dia sedang main Handphone bukannya sholat. Setelah menggulir beberapa postingan. Aku melihat postingan baru dari Mas Hamdan. 'Alangkah Syahdu sholat di masjid. Semoga bidadari surgaku juga mencintai masjid.' Postingannya di sertai photo nya dari samping. Seakan-akan dia baru pulang dari masjid. Cuih, benar-benar cari perhatian dan ingin diakui beriman. Aku beralih ke aplikasi hijau dan kutinggalkan aplikasi biru. Muak sekali melihat Mas Hamdan. Aku mengirim pesan ke Rosita agar menjemput ku dengan mobil silver yang baru aku beli. Aku belum terlalu mahir berkendara karena aku baru belajar. Mobil itu berada di toko sekalian dengan mobil barang. Rita anggota ku yang akan mengajari aku berkendara karena dia sudah mahir naik mobil. 'Ros, buka toko dan ajak Rita bawa mobil silver jemput Mbak di alamat ini. Pagi ini jam 06. 00.' 'Siap, Nyonya.' balas Rosita. 'kamu juga hari ini bersiap, Ros. Kita berdua bakal belajar nyetir mobil . Kamu asistenku dan aku cuma percaya sama kamu sekarang. Setelah mahir, Rita kembali menjadi operator toko online.' Aku membalas pesan Rosita. 'Laksanakan, Nyonya.' tulisnya. "Bun, ayo pulang!" kata Fatih sudah berdiri di depanku. Aku juga berdiri dan merangkulnya. "Ayo, sayang." Aku dan anakku meninggalkan masjid. Setelah kami pulang. Mas Hamdan sudah menunggu di depan sambil menggendong Sesil yang menangis kejer. Aku bersegera mengambil anakku. Aku kemudian menimang-nimang dia agar diam. "Dari mana sih, kamu. Kamu ingat gak kalau kamu punya bayi," ketusnya padaku. "Aku cuma nitip sebentar, Mas. Aku dari masjid. Gimana sih, kamu. Jagain anak bentar aja gak bisa. Ayah apa kamu!" Aku juga berkata ketus padanya. Terlihat di sofa peci dan sarung yang dipakainya saat meng-upload photo tadi di aplikasi biru. "Kamu dari mana, Mas?" "Apa maksudmu? Dari tadi anakmu nangis terus. Tentu saja aku di sini!" "Kamu rapi pakai baju Koko segala, biasa kalau sholat di rumah gak ganti baju, deh." Cibirku kearahnya. "Sibuk amat, sih. Kamu urusi aja anakmu itu!" dia berlalu begitu saja. "Sabar ya, Bun." Fatih berkata lembut menghiburku. "Ya, sayang. Kita lihat saja nanti bersama-sama. Kamu yang penting jaga rahasia Bunda. Sekarang kamu ke kamar dan ganti pakaian supaya kita berangkat sekolah bersama," ucapku sambil mengelus kepala anakku. Dia mengangguk patuh dan berlalu. "Masak apa kamu, Yun? Aku mau sarapan!" ucap Mas Hamdan sudah siap dimeja makan. "Gak ada!" ketusku padanya. "Gimana sih kamu, jadi aku makan apa. Kamu jadi istri gak berguna banget." "Bawang, cabai, tomat dan minyak sayur habis. Harusnya kamu mikir kan kamu yang belanja. Gimana sih, nyalahin aku lag!" Dahi Mas Hamdan berkerut. "Kok cepat banget habisnya, aku kan baru beli," dia protes. "Hello, beli aja gak sampai setengah kilo ya habis. Apalagi Ibu sering datang dan ngambil. Tanya Ibu kamu, sana!" sentakku. Dia mendengkus melihatku. "Cari alternatif dong. Kamu hutang dulu di kedai dan nanti di bayar." "Enak banget kamu ngomong. Aku pernah hutang di kedai Mpok Pah, giliran bayar kamu malah marah sama dia. Kamu bilang kalau Yuni hutang gak usah di kasi karena bakal beli ini dan itu. Saya saja belanja. Ingat kamu," ucapku memajukan bibir mengejeknya. Wajah Mas Hamdan mengeras karena kesal. "Ribet amat si rumah ini." Dia masih bisa bergumam, entah siapa yang disalahkan ya. Padahal dia sendiri yg medit. "Sini duit belanja berikan gaji mu setengah sama aku biar aku urus keperluan rumah tangga supaya kamu gak perlu ngomel gak jelas," kataku menantangnya. "Enak banget hidup kamu dapat gaji buta. Kerja kamu cuma ongkang-ongkang kaki mau dapat duit." Aku mendengkus mendengar jawabannya. "Hamdan!" sergah Ibu tiba-tiba di depan kami. "Eh, ada apa, Bu." "Kamu bilang kemarin sama Ibu kalau kamu sudah dapat bonus. Ibu sama Ambar mau ke toko buat lihat-lihat mesin cuci baru. Tangan Ibu sakit karena nyuci pakaian pakai tangan. Istri kamu sekarang belagu, dia gak mau nyuci pakaian Ibu setelah kalian tinggal di rumah sendiri dan dia kerja!" ucap Ibu penuh harap sekaligus menatapku sinis. "Oh, Iya, Bu. Sebentar Hamdan ambil," kata Mas Hamdan ke dalam kamar. Ibu mertua menatapku penuh kemenangan. Setelah itu Mas Hamdan memberikan amplop ke Ibunya. "Kamu dapat bonus, Mas. Terus, aku gak kamu kasi. Kamu bahkan gak jujur kalau dapat uang sama aku," kataku kecewa padanya. "Iya, dari kantor. Karena kerja kerasku. Ibu mendoakan aku sehingga aku sukses dan aku janji bakal kasi Ibu duit kalau dapat bonus dari kantor," katanya santai. "Terus aku dapat apa, Mas!" "Apasih kamu, selama ini aku dapat bonus kamu juga aku kasih kenyamanan di rumah. Segala kebutuhan aku yang nanggung." Dia membela diri. "Lagian kamu juga bisa tinggal di rumah ini harusnya bersyukur. Kalau nyewa kamu bayar, loh." Ibu mertua menimpali. Aku memandang sinis keduanya. Kenyamanan rumah katanya aku juga ada andil ngontrak di sini. Kebutuhan hidup yang serba kekurangan saja di banggakan. Aku tersenyum mendapat ide supaya mereka terdiam tak memojokkan. Karena kalau aku terus menjawab mereka berdua tentu saja mereka akan selalu membela diri. "Halo, Assalamualaikum, Ibu. Sebentar lagi, Bu. Saya mau berangkat kerja." Aku berpura-pura menerima telepon. Mereka mendengarkan terutama Ibu membulatkan mata melihat gawaiku. "Alhamdulillah, santunan buat Fatih ya, Bu. Makasih sekali, Bu. Semoga rezeki Ibu lancar." Mereka semakin serius mendengarkan. "Ya Allah, Bu. Saya gak salah dengar, Bu. Sepuluh juta. Ya Allah murah sekali rezeki Ibu. Buat sekolah Fatih, Bu. Iya dia anak Yatim, Bu. Terima kasih, Bu," sahutku. Aku berpura-pura mematikan gawaiku. Padahal aku dari tadi menghubungi Rosita dan dia sudah paham apa yang terjadi di keluargaku. "Dari siapa, Yun? Terus siapa yang dapat sepuluh juta?" tanya Mas Hamdan resah. "Aku dan anakku," "Kok bisa." "Ya bisalah. Kamu pelit berbagi bonus sama istri sendiri. Akhirnya bonus datang langsung dari Allah dan di bayar tunai. Sepuluh juta," kataku tersenyum ringan padanya sekaligus mengejeknya. Bersambung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN