Mendengar Pengakuannya

1595 Kata
“Aku? Sama sepertimu,” jawab Dam. Sejenak, wajah Dam menampakkan raut yang … entahlah. Apakah itu raut cemas, misterius, atau bahkan marah? Aku sulit membedakannya, tetapi pertanyaanku seperti telah membangkitkan suatu emosi yang kuat dalam dirinya, dan dia berusaha keras menekan seluruh tanda-tanda itu. “Tidak,” sergahku. “Kamu misterius. Dan setelah melihat aksimu tadi… aku bertambah yakin bahwa kamu mungkin adalah seseorang yang sewaktu-waktu bisa berubah menjadi berbahaya.” “Berbahaya? Apa aku pernah berbuat jahat kepadamu?” tanya Dam. Aku enggan menggeleng dan memilih diam. Tetapi agaknya dia sudah bisa menebak jawabannya dari ekspresi wajahku sehingga dia bertanya lagi. “Dan bagaimana perasaanmu sekarang berhadapan denganku? Di jalan yang sunyi ini, hanya ada kita berdua? Apa kamu merasa takut?” Ada keheningan sejenak karena aku tidak langsung menjawab. Setelah terlebih dulu menimbang-nimbang, akhirnya kuputuskan membalas pertanyaannya dengan jujur. “Aku tidak takut. Walaupun aku tidak begitu mengenalmu, walaupun kamu seseorang yang misterius, dan walaupun kamu baru saja melakukan aksi berbahaya di depan mataku, entah bagaimana semua itu tidak membuatku takut.” “Kalau begitu, jangan pernah menganggapku sebagai orang yang berbahaya untukmu. Sebaliknya, aku akan berusaha melindungimu.” “Melindungiku? Kenapa kamu ingin melindungiku?” “Apa kamu benar-benar tidak tahu? Aku menyukaimu, karena itulah aku ingin melindungimu.” “Aku tidak mengerti. Kenapa aku?” “Aku juga tidak mengerti. Sejak melihatmu pertama kalinya, bagiku kamu sangat berbeda dan unik. Apalagi setelah mengobrol denganmu di ruang kesehatan, aku semakin tertarik kepadamu. Selalu ada sesuatu di matamu yang memikatku.” “Jangan konyol.” Aku tertawa gugup. Kurasakan pipiku mulai memanas dan buru-buru melanjutkan. “Kamu hanya sedang membual.” Dam mendekatiku. Ia mengangkat salah satu tangannya. Aku tersentak ketika jemari tangannya yang hangat membelai kulit dingin wajahku. “Tidak masalah kalau sekarang kamu tidak mempercayainya,” bisiknya. “Ini hanya masalah waktu. Nanti kamu akan tahu kalau kata-kataku bukan hanya bualan.” Kami berhadapan sangat dekat. Dam menatapku sangat dalam, sampai-sampai membuatku lupa cara bernapas. Aku menggigit bibir, kehilangan kata untuk membalasnya. Selama beberapa detik kami hanya saling berpandangan. Kesunyian menghinggapi hutan di kanan kiri kami dan hanya dipecahkan oleh keokan burung-burung gagak. Beruntung situasi yang mendebarkan jantungku ini segera berakhir ketika akhirnya Dam melepaskan sentuhan jemarinya dari wajahku. Kemudian, dia mendekati motornya lalu memakai helm full face-nya lagi. “Sekarang, kuantarkan kamu pulang,” katanya dengan suaranya yang lembut. Tidak juga mendapat respon dariku, Dam mengajakku lagi. “Hara? Ayo, naik.” Aku ragu-ragu. Namun, memangnya aku memiliki alternatif lain yang bisa kupilih? Sayangnya, tidak. Akhirnya aku menerima uluran tangan Dam dan membiarkannya membantuku naik ke atas motor. Saat aku sudah duduk membonceng di belakangnya, dia meraih kedua tanganku dan meletakkannya di pinggangnya agar aku berpegangan. Otot wajahku refleks menegang. “Tanganmu gemetaran, Hara.” “Itu…” jawabku, gugup. “Itu karena aku tidak terbiasa melihat beast. Selain itu, aku baru saja melihat aksimu membunuh beast itu. Kamu pikir pertunjukan seperti itu adalah hal biasa bagiku?” Aku berbicara kepadanya dengan nada yang sebisa mungkin kubuat tenang walaupun aku tidak bisa menyembunyikan bahwa sebenarnya aku masih gugup oleh pengakuannya bahwa dia menyukaiku. “Maaf.” Dam menoleh kepadaku, memberiku senyuman lewat tatapan matanya. Aku merasakan sentuhan tangannya lagi di jemariku lalu ia memintaku berpegangan yang kuat sebelum akhirnya ia menyalakan mesin motornya. Perjalanan berdua kami untuk yang pertama kali dimulai. Tidak kusangka, perjalanan bersama Dam naik motor trailnya ternyata lima belas menit lebih cepat daripada kalau aku naik bus, dan bahkan aku tidak mabuk perjalanan padahal aku belum sempat meminum ramuan rempahku. Begitu sampai di tepian jalan dekat rumahku, aku turun dari motor. “Terima kasih,” ucapku kepada Dam. Aku sudah berbalik dan ingin secepatnya masuk rumah mendinginkan wajahku yang memerah karena berdekatan dengan Dam di sepanjang perjalanan, tetapi kemudian kudengar Dam berbicara kepadaku. “Hara, ini tidak gratis,” lontarnya, mengejutkanku. Aku menelan ludah dan dengan perasaan malu aku kembali memutar tubuhku ke arah Dam. Di saat aku berbalik untuk menatapnya, ia sudah melepas helmnya sehingga aku bisa melihat kembali wajah tampannya serta rambut abu-abu peraknya yang berkilauan di bawah sinar terik matahari. “Ah, maaf!” ucapku gugup. “Jadi, berapa aku harus membayarmu?” “Bisa kupinjam handphone-mu?” tanyanya. Ekspresi wajahku berubah bingung dan ia berkata lagi. “Sebentar saja.” Dengan ragu, aku merogoh tas dan kuberikan handphone-ku kepada Dam. Dia tampak mengetikkan sesuatu di layar handphone-ku lalu setelah selesai, dia mengembalikan sambil tersenyum simpul kepadaku. Aku mengerutkan kening tak sabar memeriksa apa yang dia ketikkan di handphone-ku. Ketika kulihat, ternyata di layar handphone-ku sudah tersimpan kontak baru dengan nama Dam. Rahangku menganga. “Dam, ini…” “Nomorku,” jelas Dam. “Jika kamu merasa aku layak menjadi temanmu, hubungi nomor itu setelah kamu sampai rumah. Tapi jika tidak, kamu bisa mengabaikannya.” Lagi-lagi Dam tersenyum kepadaku sehingga untuk ke sekian kali aku merasakan kehangatan nyaman merambati pipiku. Kemudian, senyuman itu hilang ketika ia memakai helmnya lagi. “Sampai jumpa di sekolah, Hara,” kata Dam, dan tanpa sepatah kata lagi, dia pergi dengan motornya. Kutatap kepergian Dam dengan terbengong-bengong, dan entah kenapa aku merasa agak linglung. Aku memang tertarik kepadanya, tetapi tidak pernah berekspektasi akan diantar pulang olehnya. Jadi sekarang aku bertanya-tanya, apakah semua ini nyata? Aku meninggalkan tepi jalan dan mulai menaiki bukit kecil menuju rumahku. Pengakuan Dam bahwa dia menyukaiku kembali membanjir di kepalaku dan membuatku senyum-senyum sendiri. Ketika aku menengok ke sisi kiri, Eizen ternyata sedang berdiri di beranda rumahnya sambil memandang ke arahku. Gawat, sepertinya tadi dia melihatku diantar pulang oleh Dam! Wajahku mulai memanas karena gelisah. Bagaimana kalau dia menceritakan kepada Fiona? Aku menatap Eizen dengan wajah tegang, sebelum akhirnya dia memunggungiku dan masuk ke dalam rumahnya. *** Sampai dengan malam tiba, aku benar-benar tidak bisa tenang karena khawatir Eizen akan melaporkan kebersamaanku dengan Dam kepada Fiona. Aku belum siap kalau Fiona kecewa padaku, bahwa aku mengingkari ucapanku untuk menjauhi Dam. Rasa frustrasi melandaku. Maka, begitu Ayah pulang membawa banyak makanan, lahirlah sebuah ide di dalam kepalaku. “Ayah. Kue-kue ini terlihat sangat enak. Tapi kupikir ini terlalu banyak untuk kita yang hanya berdua. Bagaimana kalau sebagian kita bagi dengan tetangga kita?” “Maksudmu rumah Ibu Vivian?” tanya Ayah lalu kujawab anggukan. Wajah Ayah tampak senang. “Usul yang baik, Nak. Kalau begitu Ayah akan mengantarnya.” Aku buru-buru menyela. “Ja–jangan. Biar Hara saja yang mengantarnya, Yah.” Ekspresi Ayah berubah ragu. Keningnya berkerut. “Kamu yakin?” Aku mengangguk mantap. “Ya, Ayah. Sekalian aku ingin menyapa Bu Vivian.” Beberapa menit berselang, aku sudah berada di jalan penuh bebatuan kapur yang menonjol. Dengan senter di tanganku, aku benar-benar menjaga langkahku dengan hati-hati demi menuju rumah tetanggaku. Aku tidak terlalu berani melewati jalan setapak dalam gugusan hutan walaupun aku tahu jalan di sana lebih mudah untuk dilalui karena permukaannya yang datar. Kengerian tentang serangan beast masih membayang-bayangiku sehingga aku memilih jalan yang aman saja dan masih terpantau oleh Ayah yang sedang mengawasiku di beranda rumah. Aku menghela napas lega ketika tangga dan dinding kayu bercat putih akhirnya menyambutku. Aku segera mengetuk pintu rumah milik Bu Vivian itu. Tentu saja, tujuanku ke rumah ini bukan benar-benar untuk memberikan kue dan menyapa Bu Vivian, melainkan bertemu Eizen. Walaupun aku dan si bunga beku sombong itu dalam masa genjatan senjata, tetapi aku merasa ada yang perlu kubicarakan dengannya. Pintu di depanku akhirnya terbuka. Aku sudah menyiapkan senyumku yang menurutku paling manis untuk Bu Vivian, tetapi tak kuduga ternyata yang membukakan pintu adalah Eizen. Senyumanku perlahan pudar dengan sendirinya, dan tentu saja, dia terlihat kaget dengan kedatanganku malam-malam begini. “Gadis kota? Untuk apa datang ke sini?” tanyanya, seperti biasa dengan nada dingin dan wajah masam. “Kalau tujuanmu ke sini untuk sekadar menghilangkan kebosanan atau semacamnya, maaf… kamu salah tujuan.” Bibirku merapat menahan geram. Astaga, dia benar-benar tuan rumah yang tidak ramah. Aku merasa seperti pengganggu yang masuk ke daerah teritori binatang buas. Tetapi, tenang…. tenang. Kali ini aku sedang dalam misi khusus jadi sebisa mungkin menahan rasa kesalku. Aku buru-buru menahan ketika Eizen hendak menutup pintu lagi. “Tu–tunggu! Aku datang ke sini karena ingin mengantarkan kue.” Aku menyodorkan sebungkus paper bag besar yang sejak tadi kugenggam di belakang tubuhku. “Terima kasih,” ucap Eizen. Setelah menerima paper bag dariku, dia berniat menutup pintu lagi. Karena tujuan asliku belum tercapai, lagi-lagi aku harus menahannya lagi. Dengan wajah yang terlihat sangat terpaksa, Eizen masih membukakan pintu untukku. “Apa lagi?” “Uhm… begini,” kataku ragu bercampur gugup, “tentang tadi sore, kamu mungkin melihatku bersama Dam. Bisa kujelaskan, itu…” “Aku tidak peduli,” potongnya. “Maksudku, bisakah kamu tidak menceritakannya kepada Fiona?” Eizen mendengus lalu tersenyum penuh ironi. “Jadi makanan ini adalah sogokan, hah?” Aku buru-buru menggeleng. “Tidak. Sama sekali aku tidak ada niat seperti itu. Aku memberikan makanan itu tampa pamrih.” “Lantas, bagaimana aku harus menyebut permintaanmu itu?” “Terserah. Kamu boleh menyebutku sedang mengemis atau apa pun itu. Yang penting, please… jangan beritahu apa yang kamu lihat tadi sore kepada Fiona.” “Tanpa permohonanmu ini pun sebenarnya aku memang tidak berminat membicarakan kedekatanmu dengan Dam. Entah kalian akan berpelukan di depanku atau apa pun, asal kamu tahu, aku sama sekali tidak peduli!” lontar Eizen, kemudian dengan tenaga dia menutup pintu. Mataku melebar karena tercengang. Baiklah, aku lega mendengar pernyataan bahwa si bunga beku sombong itu tidak peduli pada kedekatanku dengan Dam, tetapi di sisi lain, kenapa sekarang aku merasa dia sedang marah kepadaku? ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN