Aku baru saja melewati selasar kelas lain selepas dari kantin ketika seorang murid perempuan tiba-tiba merebut paper bag chicken ball-ku.
Refleks, aku memekik. “Hei, itu milikku!”
Dia murid perempuan yang sangat cantik bahkan tak disangsikan lagi merupakan orang tercantik yang pernah kulihat. Iris matanya besar keemasan. Kulitnya yang seputih salju terlihat sehat dan terawat, tampak kontras dengan rambut panjang berwarna merahnya yang mengalir ikal seperti kelopak bunga mawar. Aku tidak mengenal murid perempuan tersebut, hanya pernah melihatnya. Kalau tidak salah, dia berasal dari kelas Basalt.
“Ini dari Dam, bukan?” tanya wanita itu, dengan nada ketus dan sarat permusuhan.
“Maaf, kupikir itu bukan urusanmu,” balasku.
Aku berusaha merebut paper bag-ku kembali, tetapi dengan gesit murid perempuan itu mengoper paper bag itu secara bergantian kepada kedua temannya yang juga ikut menghadangku di sisi kanan dan kiri. Aku sadar bahwa saat ini aku sedang dipermainkan. Tidak ingin ribut, lantas kuhela napas lelah. “Kalau kamu ingin makanan itu, baiklah. Ambil saja.”
Kulangkahkan kakiku menyamping untuk melewati mereka, tetapi si rambut merah ikut menggeser langkahnya sehingga kembali menghadangku. “Dengar,” katanya sambil mendekatkan wajahnya satu jengkal di hadapanku. Sekarang wajahnya tidak terlihat cantik lagi, melainkan ganas seperti harimau yang siap menerkamku. “Kulihat kamu mulai berani mendekati Dam. Akan kuberi tahu. Dam adalah milikku. Tak ada satu pun perempuan yang boleh berada di sisinya kecuali aku. Kamu pikir, seperti apa penampilanmu sampai sepercaya diri itu mendekatinya? Cobalah bercermin. Kamu tidak lebih seperti mayat hidup! Jika Dam bersikap baik kepadamu bukan berarti dia menyukaimu, jadi jangan terlampau percaya diri. Mungkin kamu hanya sedang menjadi mainannya.”
Murid perempuan itu kemudian menyeringai. Aku menggenggam jemari tanganku sendiri dengan kuat. Wajahku pucat pasi seperti tikus di depan ular. Kata-kata murid perempuan itu terasa mencekikku. Selain itu, entah kenapa kurasakan ada pedih di hatiku mendengar pengakuan perempuan itu bahwa Dam adalah miliknya, yang artinya…. Ah, sudahlah. Semua sudah jelas. Mungkin perempuan itu cemburu setelah melihat kebersamaanku dengan Dam di kantin. Jika benar mereka menjalin hubungan spesial, pantas saja perempuan itu marah kepadaku. Aku hanya berdiri diam, tak memberikan respon atau balasan sepatah kata pun. Lalu ketiga murid perempuan itu pun pergi.
Selama satu menit, aku masih berdiri mematung di tempat, persis seperti pohon yang baru saja tersambar petir di siang bolong. Lalu tak lama kemudian, Fiona menghampiriku.
“Hara! Tadi dari balkon lantai dua aku melihat Belinda dan dua temannya berbicara kepadamu. Lalu mereka merampas paper bag chicken ball-mu. Oh, Hara. Kuharap kamu baik-baik saja.”
“Jadi… murid perempuan berambut merah itu bernama Belinda?” tanyaku.
“Ya. Dia dari kelas Basalt. Selama ini aku selalu menghindari apa pun yang berurusan dengannya. Selain perilakunya yang urakan, dia juga dekat dengan Dam. Mereka berbahaya.”
Tanpa berpikir apa pun, aku lalu memeluk Fiona. Jika saja di sekitar kami tidak ada murid lain yang lewat, mungkin aku sudah menangis. Seharusnya sejak awal aku mendengarkan kata-kata Fiona untuk menghindari Dam dan kelompoknya. Sekarang, lihatlah apa yang terjadi padaku? Aku seperti bunga yang layu.
Dengan lembut, Fiona mengusap-usap punggungku. Dia tidak mengatakan apa pun, tetapi keberadaannya sebagai teman yang peduli kepadaku sudah cukup membuatku merasa tenang.
***
“Hara,” kata Fiona kepadaku dengan wajah menyesal. “Maafkan aku. Kali ini aku tidak bisa pulang sekolah bersamamu. Seperti yang kamu tahu aku gagal menyelesaikan tugas dari Bu Trisha dan sepulang sekolah aku harus menjalani hukuman membersihkan ruang laboratorium.”
“Kalau begitu aku akan ikut bersamamu membersihkan laboratorium,” cetusku sepihak, tetapi Fiona menggeleng. “Kenapa, Fio? Aku ingin pekerjaanmu cepat selesai. Kali ini, biarkan aku membantumu.”
“Tidak, Hara. Kamu pulanglah lebih dulu sebelum tertinggal bus.”
“Lalu bagaimana kamu akan pulang nanti? Kalau tidak naik bus, kamu naik apa?”
“Ada sepupuku, aku sudah menghubunginya tadi, dan dia bilang akan menjemputku dengan motornya.”
“Uhm… tapi, Fiona. Aku benar-benar tidak tega meninggalkanmu sendirian. Bagaimana kalau tiba-tiba ada beast?”
“Tenang,” ujar Fiona sambil tersenyum. “Aku memiliki keahlian menangani beast.”
“Oh, ya? Temanku yang kukenal sebagai manusia biasa ini tidak akan berubah menjadi Napherum, demon, atau semacamnya bukan?” celetukku.
“Siapa yang tahu?” balas Fiona, lalu ketika melihat ekspresiku yang berubah bingung, dia tertawa. “Astaga, jangan berpikiran yang tidak-tidak, Hara. Tentu saja aku akan tetap menjadi Fiona. Aku berkata memiliki keahlian menangani beast itu karena suku Urbei pernah mengajariku. Ingat ceritaku waktu itu ‘kan?”
“Ah, iya,” ucapku. “Tapi tetap saja aku mengkhawatirkanmu.”
“Percayalah, tidak akan ada beast yang berani mendatangi laboratorium. Lagi pula, aku tidak benar-benar sendiri. Sebenarnya, ada dua murid lain yang juga mendapatakan hukuman dan ada Bu Trisha yang juga mengawasiku di ruang laboratorium.”
“Syukurlah, aku lega mendengarnya.”
“Kalau begitu tunggu apa lagi? Kamu belum memesan minuman rempah ‘kan? Lebih baik sekarang kamu pergi ke kantin!”
Sesuai permintaan Fiona, aku pun akhirnya mendatangi counter minuman di kantin dan meminta ibu kantin membuatkanku sebotol minuman rempah. Sambil menunggu pesananku jadi, aku duduk di salah satu kursi kantin. Keadaan di kantin sudah cukup sepi. Hanya terlihat beberapa murid yang masih nongkrong di kursi yang posisinya cukup jauh dariku. Aku mengambil handphone-ku dan headset lalu memutar lagu-lagu dalam playlist-ku hingga tenggelam dalam rasa nyaman.
“Nak… Nak Hara?”
Aku terkejut mendengar suara ibu kantin begitu dekat di telingaku. Ketika aku membuka mata, aku sadar baru saja tertidur dengan posisi kepala berbantalan tangan. Aku segera mengangkat kepalaku dari meja kantin dan duduk menegakkan punggung.
“Ah, pesananku sudah jadi, ya, Bu?”
“Sudah dari tadi, Nak. Sejak tadi saya mencoba membangunkanmu tetapi sepertinya tidurmu pulas sekali.”
“Oh, ya?” Mataku refleks terbelalak ketika memeriksa jam di layar handphone-ku. Aku buru-buru memasukkan botol rempah ke dalam tasku lalu membayar pesananku kepada Ibu kantin. “Terima kasih, Bu!”
Aku sadar ini sudah lewat setengah jam dari waktu keberangkatan bus sekolah. Dengan headset masih terpasang di telingaku, aku berlari cepat ke halaman depan sekolah, berharap bus masih ada di sana. Namun, harapanku pupus. Halaman sekolah sudah sepi dan tak ada bus terparkir di depan gerbang. Lalu bagaimana caraku pulang?
Harapan terakhirku adalah Fiona. Aku mendatangi ruangan laboratorium.
“Hai, Hara?” sapa Bu Trisha yang sedang duduk mengerjakan sesuatu di ruang laboratorium. “Kamu belum pulang? Apakah ada keperluan sehingga kamu mendatangi ruang laboratorium ini?”
“Anu… di mana Fiona? Bukankah seharusnya dia membersihkan ruang laboratorium?”
“Ah, benar. Tetapi sudah selesai. Baru saja Fiona berpamitan pulang.”
Pundakku melemas. “Oh. Baiklah kalau begitu permisi, Bu.”
Bu Trisha membalasku dengan senyuman ramahnya sebelum aku berlalu dari ruang laboratorium. Aku kembali ke halaman depan sekolah dan duduk di teras seperti orang bingung. Rasa panik menderaku. Aku sempat terpikirkan menghubungi Ayah, tetapi walaupun Ayah bisa menjemputku, itu masih lama sekali. Aku harus menunggu Ayah pulang dari kantor tambang dan itu masih sekitar dua setengah jam lagi.
“Apa aku pulang berjalan kaki saja?” gumamku. Lalu kusadari itu pemikiran yang sangat nekat. Selain berbahaya, juga akan memakan waktu lama. Tiba-tiba kenangan tentang diserang beast membanjir secara menakutkan ke dalam benakku. Aku tidak mau itu terjadi lagi!
Aku berusaha tidak hanya duduk diam. Aku berjalan ke depan pintu gerbang, siapa tahu ada orang yang kebetulan lewat dan bersedia memberiku tumpangan. Kemudian, setelah lima menit menunggu, aku melihat Dam keluar dari arah parkiran sekolah dengan motor trailnya.
“Hara? Sedang apa kamu masih di sini? Bukannya seharusnya kamu sudah pulang?”
Aku tidak langsung menjawab. Masih kuingat kejadian saat Belinda melabrakku tadi siang. Kupasang wajah masam kepada Dam. “Aku tertinggal bus. Tapi aku akan pulang berjalan kaki saja,” jawabku asal, yang penting aku bisa menghindari Dam.
“Berjalan kaki? Itu sama saja bunuh diri. Kamu tahu jalan yang akan kamu lalui berada di tengah hutan belantara? Kamu akan menjadi incaran binatang buas dan lagi pula perjalanan itu tidak sebentar.”
“Bukan urusanmu.” Aku nekat memulai aksiku berjalan kaki dan tak mengacuhkan Dam yang membuntutiku.
Dam diam sebentar seperti mencermatiku. “Aku tahu perubahan sikapmu itu karena Belinda, bukan?”
Sambil terus berjalan, aku menjawab dengan malas. “Aku tidak ingin dia melabrakku lagi karena itu lebih baik kita menjaga jarak.”
“Dia tidak akan berani bersikap kasar kepadamu lagi. Aku sudah memperingatkannya.”
“Oh, jadi begitu caramu memperlakukan pacarmu sendiri?”
“Pacar?” Dam tergelak. “Bukan. Yang benar adalah mantan pacar. Sudah satu tahun kami putus dan itu karena aku tidak suka dengan sikap Belinda yang posesif.”
Kuhentikan langkahku untuk menengok ke arah Dam. “Apa kamu pikir aku dengan mudahnya akan percaya?”
Dam membawa motornya menepi lebih dekat ke arahku sehingga mau tak mau aku menghentikan langkah. Kemudian, ia memperlihatkan sebuah video dari layar handphone-nya. Dalam video tersebut, aku bisa melihat Belinda sedang memohon-mohon kepada Dam agar mau menjadi pacarnya lagi. Lalu Dam dengan tegas menolaknya.
“Yang merekam video ini adalah Vigor sekitar satu bulan yang lalu,” jelas Dam. “Sekarang, sudah jelas bukan? Belinda bukan pacarku dan dia tidak akan menganggumu lagi hanya karena kebersamaan kita.”
“Apa buktinya?”
Dam menunjukkan kepadaku video yang lain. Kali ini adalah video Belinda yang dengan mata menangis berkata menghadap kamera. “Aku Belinda Frosteine berjanji tidak akan pernah lagi mengganggu Sharena Hara Sterne,” ucap Belinda dalam video itu.
Aku berusaha mengendalikan keterkejutanku atas isi video itu dari Dam. Lalu dengan wajah yang dipaksa tenang, aku pun menanggapi. “Syukurlah.”
“Sekarang, bagaimana kalau kamu kuantar pulang?”
Baru saja, jantungku serasa ditoel mendengar tawaran Dam yang manis itu. “Ti–tidak usah repot-repot!” jawabku.
Dengan gengsinya, kemudian aku melanjutkan berjalan kaki. Hingga ketika lima langkah sudah kudapat, dari arah rerimbunan di sebelah kiriku aku mendengar suara geraman, membuat rambut-rambut halus di lengan dan tengkukku seketika berdiri. Secara instingtif, sistem pertahanan tubuhku kontan aktif.
Dam yang sejak tadi mengikutiku di samping kanan secara tiba-tiba berhenti, lalu berkata kepadaku. “Hara, jangan bergerak!” tegas Dam dalam suaranya yang pelan dan rendah.
Aku berhenti melangkah dan sesuai instruksi Dam aku tidak melakukan gerakan apa pun. Keheningan dan ketegangan membekukan atmosfer di sekitar kami. Jantungku berdebar tak karuan dan napasku tidak beraturan, aku sudah membayangkan bahwa geraman di sebelah kiriku berasal dari beast.
Beberapa detik berselang, aku mendengar suara gemerisik di arah kiriku. Bunyinya seperti sesuatu yang menginjak dedaunan kering atau belukar. Suara itu semakin dekat. Aku yang penasaran, akhirnya melirik ke arah kiriku melalui ujung mataku, dan setelah aku melihat sosok apa itu, otot-ototku yang semula tegang seketika mengendur.
Dengan santai aku berbicara kepada Dam. “Lihatlah, itu hanya seekor anjing kecil.” Aku memutar sedikit tubuhku untuk menghadap dan menghampiri anjing itu yang berwarna coklat muda. “Hei, kamu lucu sekali.”
“Hara, jangan!” seru Dam ketika aku hendak membelai puncak kepala anjing itu. Selama beberapa detik, aku tidak mengerti maksud Dam, tetapi setelah aku kembali melihat ke arah anjing itu, aku sadar ada yang tidak beres. Ukuran anjing itu lama-kelamaan membesar.
“A–apa yang terjadi?”
“Mundurlah, Hara!”
Dalam pikiran yang jungkir balik, secepat mungkin aku mundur. Ketika aku sudah sampai di sisi Dam, ukuran anjing itu sudah setinggi tubuhku dengan lidah menjulur penuh air liur berwarna hijau menjijikkan seperti penuh racun, sementara gigi-giginya sudah berubah menjadi taring besar yang kuyakin lebih tajam dari pisau dapur di rumahku. Napasku tercekat saat aku mengenali bahwa mahkluk itu adalah beast. Tanpa disuruh lagi, aku langsung naik ke motor Dam dan menepuk-nepuk punggungnya sekeras yang aku bisa.
“Dam, cepat pergi. Itu adalah beast!”
“Tenanglah, Hara!”
“Bagaimana aku bisa tenang? Beast itu akan memangsa kita!”
Kulihat beast dengan rupa anjing raksasa itu sudah memasang kuda-kuda siap menerkam ke arahku dan Dam. Tetapi, tepat sebelum beast itu mengangkat kakinya untuk melompat, sebuah benda bercahaya biru melesat dengan cepat dan menancap tepat di mata sebelah kanan beast itu. Beast itu meraung, menggelepar, kemudian seperti yang kulihat pada kejadian hari Sabtu di belakang halaman sekolah waktu itu, beast itu musnah dalam ke bentuk kepulan asap hijau.
Terdengar sebuah benda seperti dari bahan baja terjatuh ke permukaan kerikil di mana beast itu musnah. Benda itu adalah sebuah belati yang ukurannya panjangnya mungkin sepanjang lenganku. Aku memang tidak melihatnya secara langsung, tetapi aku begitu yakin siapa yang tadi melempar belati itu ke arah beast. Siapa lagi kalau bukan Dam. Belati bercahaya biru itu mungkin adalah milik Dam. Tebakanku benar ketika akhirnya Dam turun dari motor untuk mengambil belati itu.
“Baru saja…” kataku gemetar, “belatimu mengeluarkan cahaya.”
Dam berbalik, lalu diam sebentar sebelum membalasku. “Belati ini tidak mengeluarkan cahaya apa pun. Itu hanya ilusimu saja.”
Aku tidak setuju dengan ucapan Dam bahwa aku berilusi, tetapi aku sedang tidak ingin mendebatnya. Aku pun mengerjap. “Oke. Baiklah, anggap saja itu hanya ilusiku. Tetapi aku tetap merasa janggal pada sesuatu.”
“Katakanlah.”
Dengan napas yang masih memburu, aku turun dari motor lalu menatap langsung ke dalam mata Dam. “Siapa kamu sebenarnya, Dam Chevaler?”
***