Senin, Selasa, dan Rabu. Sudah tiga hari aku tidak melihat Dam di sekolah. Maka di hari Kamis ini aku begitu penasaran apa yang sebenarnya terjadi kepadanya dan bagaimana keadaannya sekarang. Apakah dia baik-baik saja? Aku teringat ucapan Gavin bahwa Dam tidak enak badan setelah melanggar aturan di hari Sabtu lalu berujung mendapat hukuman dari Ayahnya. Rasa penasaran benar-benar memenuhi kepalaku, tetapi aku tidak terlalu percaya diri mendatangi Vigor dan Gavin lagi untuk mencari jawabannya.
“Hei, Hara! Wajahmu menghadap buku tetapi matamu menerawang seperti memikirkan sesuatu. Ada apa?”
Aku menoleh sejenak kepada Fiona. Dia baru saja mendatangiku yang memang sedang menyendiri di perpustakaan.
Menggeleng kepada Fiona, aku kembali mengembalikan fokus pandanganku ke arah buku novel yang belum habis k****a. “Tidak ada apa-apa, Fio,” balasku pelan karena di ruang perpustakaan ini tidak boleh membuat suara berisik.
“Oke,” balas Fiona singkat. Ia tampak buru-buru duduk di kursi sebelahku dan menyiapkan beberapa buku di atas meja, salah satunya buku ensiklopedia ilmu pengetahuan alam.
“Fiona, mungkinkah kamu belum selesai mengerjakan tugas dari bu Trisha?” tebakku.
“Lebih parah dari itu. Aku bahkan baru mulai mengerjakannya.” Melihat ekspresiku, Fiona berkata lagi. “Oke aku tahu kamu sekarang terkejut karena jam pelajaran Bu Trisha dimulai dua jam lagi dan aku sungguh menyesali kesalahanku yang semalam pergi dengan sepupuku sampai lupa pada tugas ini. Tapi jangan khawatir, aku akan berusaha menyelesaikannya.”
Aku memandang Fiona dengan ekspresi mengasihani. “Biarkan aku membantumu.”
Fiona menggeleng sambil tersenyum kepadaku. “Apa pun yang terjadi, aku akan mengerjakannya sendiri. Begitulah caraku bertanggung jawab atas kesalahan yang telah kuperbuat. Sekarang, aku hanya harus berusaha keras!”
Aku tahu Fiona gadis yang mandiri. Dia terbiasa mengurus dirinya sendiri selagi kedua orang tuanya sibuk bekerja, bahkan dia juga mengurus dua adiknya, jadi aku tidak merasa heran mendengar perkataannya. “Baiklah. Kalau begitu, semangat!” ucapku kepadanya.
Sementara Fiona mengerjakan tugas, aku melanjutkan membaca novel. Tiga menit berlalu, tetapi aku sulit berkonsentrasi pada novelku dan malah memikirkan Dam. Aku menyerah dan bangkit dari kursiku.
“Fiona. Sepertinya aku butuh sebotol minuman dingin di kantin. Kamu mau kubelikan sesuatu?”
Fiona berpikir sebentar lalu menggeleng. “Kali ini tidak dulu, Hara.”
Aku tersenyum tipis. “Oke, semangat! Sampai jumpa di kelas,” ucapku lalu berlalu menuju pintu.
Istirahat ke dua memiliki waktu lebih panjang dari istirahat pertama, jadi aku hanya berjalan santai. Keluar perpustakaan, aku sengaja membawa langkah kakiku melewati koridor kelas yang sebenarnya jarang sekali kulewati, yaitu kelas Basalt. Aku tahu ini gila! Berani-beraninya aku yang memiliki kepercayaan diri sedikit ini nekat melewati kelas Basalt yang terkenal urakan itu.
Menerima tatapan-tatapan tajam dari murid kelas Basalt di teras depan kelas, aku merasa seperti sedang meniti gerbang neraka. Alhasil kupercepat langkahku dan ketika sampai di ambang pintunya aku nekat melirik ke dalam. Hatiku kecewa karena dari beberapa murid di dalam kelas itu aku tidak menemukan seseorang yang kucari.
Oh, Hara! Apa yang kamu harapkan? Aku bingung kepada diriku sendiri, kenapa aku seolah tidak bisa menahan diri atas ketertarikanku kepada Dam? Sepertinya ini sudah tidak wajar!
Sampai di kantin, aku membeli satu botol teh kemasan yang kuharapkan mampu membersihkan pikiranku dari segala rasa penasaran tentang Dam. Kupilih meja dan kursi di pojok dekat pohon berbunga bugenvil ungu untukku duduk menyendiri.
Mendapatkan beberapa teguk minuman yang kubeli, aku mulai berhasil menendang nama Dam dari dalam pikiranku dan membuka lagi buku novel yang sedari tadi kutenteng di tanganku. Aku sadar suasana kantin yang berisik tidak mendukung aktivitasku untuk membaca buku, tetapi nyatanya tetap kulakukan dengan risiko aku kurang bisa menikmatinya.
“Membaca buku di tempat yang ramai? Itu pilihan yang buruk.”
Seseorang tiba-tiba berbicara dari arah belakangku. Ada getaran tak terkendali di tubuhku ketika aku mendengar suara yang kukenal itu. Aku menoleh ke belakang, lalu kurasakan denyut jantungku mulai terasa mendobrak-dobrak.
Aku menelan ludah dengan susah payah hanya untuk menyebut namanya. Nama seseorang yang selama tiga hari ini kucari-cari.
“Dam?”
Dia kembali. Dam tersenyum kecil sambil berjalan mengitariku. Lalu di seberang meja dia berdiri dengan kedua tangannya menyangga kepada meja, setelah itu dia membungkuk kepadaku. Di wajahnya yang hampir sempurna bagaikan pangeran musim dingin, manik mata hitamnya tampak seperti malam yang memancar cahaya bintang-bintang lalu menyirami benih-benih obsesi di dalam kepalaku.
“Boleh aku duduk di sini?”
Tenggorokanku tercekat dan aku menelan ludah untuk kedua kalinya. Tolong katakan sesuatu, Hara! Bukankah tiga hari ini kamu mencarinya?
Aku mendesak diriku sendiri dalam diam. Segala resah yang semula berdesakan di kepalaku tak ada satu pun yang mampu kukeluarkan. Aku hanya membatu seolah terperangkap ke dalam pupil matanya yang hitam dengan kedalaman yang tidak diketahui. Dia yang di sekolah dikenal rebel dan biang kekacauan ingin duduk bersamaku? Perlakuan hangatnya kepadaku sungguh berbeda dengan cara dia memperlakukan murid lainnya, jadi seharusnya otak normalku sekarang memberi peringatan waspada. Bisa saja ada udang di balik batu. Tetapi mengapa sangat sulit menghindarinya?
“Kalau kamu ingin aku pergi, kamu bisa mengatakannya.” Dam berkata lagi, mungkin karena tidak juga mendapat respon dariku.
Mendengar ucapannya itu, ingin sekali aku berteriak ‘JANGAN!’, tetapi sebisa mungkin aku mengontrol euforiaku. Jangan sampai Dam menyadari ketertarikanku kepadanya. Kupejamkan mata dan mengambil napas untuk mengontrol gejolak dalam diriku ini, lalu kuperlihatkan citra wajah yang tenang kepada Dam.
“Kursi itu kosong. Silakan saja kalau mau duduk,” jawabku sambil menekan perasaan gugup.
Setelah Dam duduk di depanku, aku tidak sanggup terang-terangan menatap ke arah wajahnya. Aku pun mengkambinghitamkan buku sebagai objek untukku membuang pandang. Kami duduk dalam keheningan sampai kurang lebih lima menit.
“Kapan kamu akan selesai membaca buku itu?” tanya Dam. “Kuperhatikan, kamu bahkan tidak juga membalik ke halaman selanjutnya.”
Aku mengakui kesalahan bodohku yang terlihat bahwa sejak tadi aku memang tidak benar-benar sedang membaca buku ini, melainkan hanya memandanginya akibat pikiran runyam mengaduk-aduk kepalaku. Aku lantas berkilah. “Ekhem! Di halaman ini ada bagian yang aku suka, jadi aku sengaja membacanya lebih lama.”
Entah Dam mempercayainya atau tidak, aku mendengar ia tertawa kecil. “Tunggu sebentar,” pesannya kepadaku.
Aku melihat dia mendatangi salah satu counter makanan. Aku mengintip dari tepian buku dan memperhatikannya dari jauh, tetapi ketika dia berbalik aku kembali membenamkan wajahku ke arah buku.
“Untukmu.” Dam menawarkan sebungkus paper bag yang sangat kukenal berisi chicken ball rasa barbeque kepadaku.
Oh, ya ampun! Itu adalah menu kesukaanku. Tetapi demi menjaga gengsiku, aku pun menggelengkan kepala tanpa melihat ke arahnya. “Kamu makan saja.”
“Aku membeli dua. Satu sengaja kubelikan untukmu. Ambillah. Aku tidak yakin kalau kamu merasa nyaman membaca di tempat ramai seperti ini. Kalau aku jadi kamu, lebih baik makan saja.”
Dia menyodorkan paper bag itu lagi. Kali ini lebih dekat ke sisi tanganku hingga aku bisa mencium aroma harum barbeque yang menggoda. Aku melirik paper bag makanan itu. Namun, ketika pandanganku beralih, aku justru tidak sengaja melihat luka memar di pergelangan tangan Dam. Luka itu seperti akibat ikatan benda yang terlalu kuat sampai-sampai membekas. Bukan hanya di pergelangan tangan kanannya, bahkan luka itu juga ada di pergelangan tangan kirinya.
Perlahan, kututup buku novel di tanganku lalu meletakkannya di meja sebelum berbicara kepadanya dengan hati-hati. “Kamu tidak masuk sekolah tiga hari terakhir. Apa yang terjadi?”
“Aku? Liburan,” jawabnya enteng.
Aku kesal karena Dam justru cengengesan dan terkesan seperti tidak menanggapi serius pertanyaanku. Di sisi lain, aku menangkap sorot matanya jelas menyembunyikan sesuatu. “Bohong,” tukasku.
“Sepertinya jawabanku tidak sesuai seperti yang kamu harapkan, tapi itulah yang sebenarnya. Aku liburan, dan ngomong-ngomong terima kasih atas perhatianmu.”
Kata-katanya membelai wajah pucatku yang mulai merona, membuatku berusaha lebih keras menjaga ketenanganku.
“Kudengar kamu sakit. Jadi rupanya itu hanya alasanmu saja untuk membolos kepada sekolah?” tanyaku.
“Aku hanya melakukan apa yang aku sukai.”
“Dan untuk itu kamu tidak keberatan melanggar aturan?”
“Aku rasa, kenapa tidak?” balas Dam, tanpa melepaskan tatapannya dariku. “Aku tidak pernah merasa menyesal jika harus melanggar aturan demi sesuatu yang aku suka.”
“Itu kebiasaan yang buruk.”
“Mungkin iya, bagi sebagian orang. Tapi tidak bagiku.”
“Kamu tidak khawatir orang-orang akan menjauhimu?”
“Untuk apa? Aku hanya nyaman menjadi diriku sendiri daripada berpura-pura menjadi orang lain hanya untuk disukai.”
Kebanggaan mewarnai suaranya. Aku menahan diri supaya tidak mendengus. Ini terasa salah, tetapi perkataan Dam ada benarnya juga.
“Baiklah. Jadi itu adalah prinsipmu.” Aku mendesah. “Tentang luka di pergelangan tanganmu, bagaimana itu bisa terjadi?”
Senyuman Dam memudar. Sepertinya dia kurang senang atas pertanyaanku.
“Ini hanya hadiah dari kecelakaan kecil saat liburan. Bukan sesuatu yang harus dibahas,” jawabnya.
Mendadak, aku seolah ditimpa rasa percaya diri yang tinggi untuk menatap langsung ke arah mata Dam. Namun, kebalikannya. Sekarang Dam yang justru menghindari tatapan mataku sehingga aku semakin curiga dia sedang berusaha menyembunyikan sesuatu. Meski begitu, aku tidak berani melewati batas dengan bertanya langsung kepada Dam tentang hukuman yang diterima dari Ayahnya seperti kata Gavin. Kupikir itu adalah masalah keluarga dan aku merasa bukan siapa-siapa untuk berhak tahu.
“Aku sudah membelikannya untukmu,” kata Dam, yang kuartikan dia sengaja mengalihkan topik pembicaraan. “Sekarang, makanlah. Bukankah ini kesukaanmu? Chicken ball?”
“Dari mana kamu tahu?”
“Aku selalu mencari tahu tentang apa yang aku suka.”
***