Agatha sibuk membolak balikkan laporannya. Meja kerja Jiny yang bersebelahan dengan meja kerja Agatha membuat Jiny dengan mudah mengintip apa yang sedang dikerjakan sahabatnya itu. Jiny terkekeh saat melihat Agatha yang begitu sibuk dengan ekspresi wajah yang lucu menurutnya.
"Serius amat, gaji lo juga gak bakal naik bulan ini jadi kerjanya biasa aja," ledek Jiny. Agatha membulatkan matanya garang merespon ucapan Jiny yang malah membuat gadis itu terkekeh.
"Oh iya, gimana urusan lo sama pak Andra?" Tanya Jiny penasaran. Masalahnya, Agatha belum cerita apa-apa lagi mengenai hal itu. Mendadak Agatha langsung teringat kejadian kemarin malam yang membuat ia bergidik. Bahkan membayangkannya saja membuat ia merasa kesal, bisa-bisanya pria itu menjadikannya alat sebagai membayar hutang dengan menikah dengannya, kan aneh sekali.
"Gak usah bicarain soal dia deh. Ubun-ubun gue makin nyut-nyutan kalau ingat dia."
"Yeeeee, ubun-ubun lo yang nyut-nyutan, atau hati lo yang nyut-nyutan? Pak Andra kan ganteng."
"Bisa diam gak? Kapan selesainya ni kerjaan gue."
"Buruan dong selesaiin, bentar lagikan jam makan siang. Gue pengen banget makan ayam geprek."
"Yaudah makannya diam."
"Oke.. oke.." tidak ingin mengganggu Agatha agar pekerjaannya cepat selesai membuat Jiny memilih untuk kembali mengetik artikel yang harus ia buat. Ah rasanya ia ingin jam makan siang segera tiba karena ia sudah membayangkan nikmatnya ayam geprek dengan cabai yang super pedas.
Baru beberapa saat kembali fokus pada pekerjaannya, tiba-tiba telfon yang berada di meja Agatha berdering. Dengan mata yang masih fokus membaca laporan, Agatha langsung mengangkat pangilan telfon itu.
"Halo."
"...."
"Apa?! Calon suami?" Agatha berdiri dari duduknya berteriak kaget mendengar ucapan seseorang di seberang telfon. Tanpa mengatakan apapun Agatha langsung menutup telfonnya dan segera berlari pergi membuat seisi ruangan menatapnya heran terutama Jiny. Kenapa Agatha pergi? Dan apa tadi katanya, calon suami? Calon suami siapa?
***
Agatha mempercepat langkahnya menuju lobby kantornya. Matanya membulat sempurna saat melihat seseorang yang sedang duduk di sofa yang diperuntukkan untuk tamu yang sedang menunggu. Ia langsung menghampiri orang itu.
"Lo ngapain disini?"
"Mau ketemu calon istri gue lah, em..." Agatha dengan cepat menutup mulut lelaki itu yang tidak lain adalah Andra sebelum ia menyelesaikan kalimatnya. Dengan cepat Agatha menarik Andra untuk keluar dari kantornya sebelum mereka semakin menjadi perhatian. Tentu saja mereka akan menjadi perhatian, apalagi secara terang terangan Andra memberi tahu bagian informasi untuk menelfonnya dan memberi tahu bahwa ia sedang mencari calon istrinya yaitu Agatha. Ah demi apapun Agatha benar-benar merasa malu sekarang.
"Lo apa-apaan sih? Gue ini CEO, gak pantas diginiin."
"Ssttttttt... gak usah banyak ngomong, mending lo pergi deh." Agatha mendorong Andra agar segera pergi. Tapi Andra sama sekali tidak berkutik, ia tetap berdiri di tempatnya sembari melipat kedua tangannya di depan d**a.
"Gue gak akan pergi sebelum lo terima ajakan gue buat nikah."
"Pertama, gue gak sudi ditukar sama uang karena bahkan semua uang lo gak cukup beli gue. Kedua, gue gak mau punya suami songong kayak lo. Ketiga, gue akan bayar hutang gue secepatnya. Jadi tolong lo ingat 3 poin ini, dan jangan pernah datang kesini lagi." Setelah mengatakan itu Agatha langsung berlalu pergi memasuki kantornya meninggalkan Andra. Andra tersenyum simpul, ia menertawakan dirinya yang bisa-bisanya ditolak mentah mentah oleh seorang karyawati seperti ini. Andra pun akhirnya memutuskan untuk kembali ke kantornya menaiki Rubicon yang baru saja ia beli karena mobilnya masih dalam perbaikan.
"Cieeee Agatha, ternyata calon istrinya bos besar. Demi apapun gue gak nyangka," ucap seorang wanita saat Agatha kembali masuk ke dalam kantor. Dengan cepat Agatha menghampiri orang itu, ia adalah orang yang menelfonnya tadi.
"Tolong rahasiakan ini dari siapapun karena gue bukan calon istrinya, percaya deh. Please ya, gue bakal beliin lo makan siang deh siang ini. Ya... ya... ya..." Agatha menyatukan kedua telapak tangannya memohon. Akan menjadi masalah besar jika berita ini sampai menyebar.
"Okee, tapi gue mau makan siang pakai pizza, gue mau yang paket lengkap."
"Dih, itu mah namanya lo malak gue."
"Oh yaudah, kalau gitu..."
"Okee.. okee gue beliin, ntar jam makan siang ya." Agatha berlalu kembali ke ruang kerjanya. Ia terlihat berjalan dengan menghentakkan kakinya pertanda ia sangat kesal sekarang, Andra benar-benar membuat hidupnya rumit. Niat ingin berhemat, ia pengeluarannya malah menjadi bertambah untuk menutup mulut wanita itu.
***
Andra memasuki ruang kerjanya, ia cukup kaget saat melihat Citra ada di dalam ruang kerjanya saat ini. Seolah tidak menghiraukan kehadiran Citra, Andra langsung duduk di meja kerjanya dan mulai membuka berkas yang sudah diletakkan oleh sekretarisnya di meja kerjanya untuk ia periksa dan tanda tangani.
"Baby..." panggil Citra. Ia yang tadinya duduk di sofa yang berada di ruangan ini langsung menghampiri Andra dan merangkulnya. Andra tetap terlihat tidak menghiraukan.
"Kamu masih marah ya sama aku?" Diam, tidak ada jawaban. Citra mengerucutkan bibirnya kesal merasa tidak diacuhkan.
"Aku minta maaf," Citra terdengar memelas. Andra jika sudah marah seperti ini benar-benar membuatnya frustasi.
"Aku akan maafin kamu kalau kamu mau nikah sama aku," balas Andra tanpa menatap Citra.
"Kitakan udah bicarain soal ini. Kita bisa menikah tahun depan, kamu sabar dong."
"Papa mintanya bulan ini."
"Yaudah kita coba ngomong sama papa kamu."
"Aku udah coba ngomong tapi papa gak mau. Kamu tau sendiri sekeras apa papa aku. Lagian kenapa sih kamu gak mau? Apa pekerjaan kamu lebih penting dari pada aku?" Akhirnya Andra menatap Citra juga, namun kali ini dengan tatapan yang kurang bersahabat.
"Bukan gitu, kamu pasti lebih penting. Aku cuma belum siap aja, aku masih belum punya bayangan kalau aku jadi istri nanti. Kita masih bisa senang-senang kayak gini kan?"
"Mending kamu pulang aja deh, aku lagi banyak kerjaan." Keberadaan Citra yang masih dengan penolakannya malah membuat Andra semakin pusing. Bisa-bisa ia tidak bisa fokus bekerja hari ini.
"Tapikan ki..."
"Pintu keluarnya ada disana." Citra mendengus kesal. Ia pun akhirnya memutuskan untuk pergi. Jika Andra sudah memperlihatkan tampang dinginnya seperti ini, itu artinya ia benar-benar tidak ingin diganggu. Mungkin Citra bisa mencoba mengajaknya berbicara lagi nanti.
***
Agatha membuka jendela kamarnya dan langsung menghirup udara pagi yang begitu segar. Rasanya benar-benar menyejukkan mata saat bangun pagi langsung melihat hamparan kebun teh seperti ini. Andai ia bisa melihatnya setiap hari, pasti pikirannya jauh lebih tenang.
Karena memiliki waktu libur selama 3 hari, jadi Agatha memutuskan untuk pulang ke rumah orang tuanya yang berada di puncak, Bandung. Sudah cukup lama juga rasanya tidak pulang ke rumah seperti ini. Lagi pula ia butuh sedikit kabur agar si penagih hutang yang tidak lain adalah Andra itu tidak terus mencarinya.
"Udah bangun Tha? Yuk sarapan." Sang bunda menyembulkan kepalanya dari balik pintu kamar Agatha.
"Iya Bun." Agatha langsung keluar dari kamarnya dan bergabung dengan ayah serta bundanya yang sudah duduk di meja makan.
"Wah banyak banget makananya." Mata Agatha terlihat berbinar melihat banyak makanan kesukaannya diatas meja. Ada nasi goreng buatan bundanya yang merupakan nasi goreng paling enak sedunia baginya, jagung rebus, serta serabi. Ah liur Agatha hampir menetes hanya dengan melihatnya saja.
"Gara-gara anak satu-satunya lagi di rumah, bunda sibuk masak dari pagi," kata sang ayah membuat Agatha tersenyum sumringah.
"Makasih Bunbun," goda Agatha membuat Ratih, bundanya tersenyum. Agatha langsung mengisi penuh piringnya dengan nasi goreng dan melahapnya agar cepat bisa memakan serabi sehabis ini. Sembari sarapan, keluarga kecil yang hangat itu mengisinya dengan obrolan-obrolan.
Agatha terlahir dari keluar sederhana, bahkan sangat sederhana. Ayahnya memiliki usaha warung kecil-kecilan yang menjual sembako di pasar sementara ibunya seorang pemetik teh serta memiliki hobi berkebun yang cukup menghasilkan, seperti jagung, cabai, bawang. Semuanya dalam kadar tidak terlalu besar yang ia tanami di belakang rumah. Meskipun begitu, uang mereka sudah sangat cukup bahkan berlebih bagi mereka, apalagi Agatha sudah lulus kuliah dan ia adalah anak satu-satunya.
Sebelum kehadiran Agatha, kedua orang tuanya cukup sulit memiliki anak. Bahkan keduanya sempat pasrah jikalau tidak dititipkan buah hati nantinya. Tapi ternyata setelah 7 tahun menikah, Agatha hadir memberikan kesempurnaan di keluarga itu.
Menjadi anak satu-satunya tidak membuat Agatha manja. Bahkan sejak kecil kedua orang tuanya mengajarkannya untuk menjadi anak yang mandiri. Bagi ayah Agatha, Ari, Agatha harus berdiri di kakinya sendiri karena ia tidak akan memiliki penopang lain jika kedua orang tuanya sudah tidak ada nanti. Makanya sejak sekolah menengah Agatha sudah pergi merantau ke Jakarta dan hidup mandiri.
"Apa kamu udah punya pacar Nak?" Pertanyaan bundanya itu tiba-tiba membuat Agatha tersedak dan terbatuk-batuk. Ratih langsung memberikan Agatha air minum. Sepertinya Agatha sangat terkejut.
"Kamu gak papa?" Tanya Ari meyakinkan.
"Gak papa Yah."
"Jadi gimana? Apa di Jakarta susah cari pacar?" Tanya Ratih lagi.
"Bunda ngomong apaan sih, aku kan masih fokus kerja."
"Fokus kerja boleh, tapikan masalah jodoh harus dipikirkan juga. Apalagi ayah sama bunda udah semakin tua." Cukup lama mendapatkan anak membuat Ari dan Ratih kini sudah sangat berumur meskipun putrinya masih berusia 25 tahun. Apalagi sekarang Ari sering sakit-sakitan.
"Emangnya gak mau nanti nikahnya dihadiri ayah?" Tanya Ari.
"Ayah kok ngomongnya gitu sih? Ya pastilah ayah bisa lihat aku nikah." Agatha merajuk tidak suka mendengar ucapan sang ayah yang malah membuatnya sedih. Ari hanya bisa tersenyum melihat putrinya, semandiri apapun ia, tetap saja di mata Ari, Agatha adalah putri kecilnya.
"Iyaa... iyaa nanti aku cari pacar," kata Agatha lagi.
"Yaudah, lanjutin makannya."
***
Agatha tampak sangat bersemangat memetik strawberry di kebun belakang rumahnya. Ternyata strawberry yang dulu sempat ia tanam karena iseng saja itu kini malah berbuah dengan buah yang berwarna merah sangat segar.
"Agathaaa..." Agatha yang sibuk memilih strawberry yang sudah masak langsung menoleh pada bundanya yang berlari tergesa-gesa menghampirinya.
"Kenapa Bun? Kok buru-buru banget."
"Kamu ini gimana sih, kok gak bilang kalau calon suami kamu mau datang?"
"Haaa? Calon suami?"