Bab 1: Awal yang Tidak Mudah

1586 Kata
Pagi itu di Nailsworth, udara dingin menusuk tulang saat Arief melangkah keluar dari apartemennya yang kecil dan sederhana. Kabut tipis menyelimuti kota kecil itu, memberi kesan sunyi yang berbeda dari hiruk pikuk jalanan Magelang yang ia tinggalkan jauh di sana. Hari ini bukanlah hari biasa. Arief berdiri dengan d**a sedikit membusung, namun langkahnya terasa berat. Ia membawa sebuah tas kecil yang hanya berisi beberapa dokumen, ponsel, dan tentu saja sepasang sepatu bola kesayangannya yang sudah agak usang. Sepatu itu pernah membawanya melewati berbagai medan, dari lapangan tanah berlubang di Walthamstow sampai gym di Moskow yang lengkap dengan fasilitas supermodern. Namun, pagi ini, ia berdiri di tengah kebingungan. Perusahaan yang seharusnya memberinya pekerjaan dan masa depan yang cerah? Hilang entah kemana. Arief menerima telepon terakhir beberapa hari lalu yang mengatakan posisi itu dibatalkan tanpa alasan jelas. Seketika, dunia kecilnya di Nailsworth seolah runtuh. Dengan lisensi pelatih AFC B dan UEFA B yang dimilikinya, Arief sadar bahwa dirinya bukan sembarang pelatih amatir. Ia sudah pernah membawa Leyton, klub Liga Divisi 7 di Inggris, meraih beberapa kemenangan penting. Tidak hanya itu, pengalaman bekerjasama dengan Spartak Moscow memberinya wawasan tentang sepakbola profesional yang jarang dimiliki orang biasa. Namun kini, semuanya seakan sia-sia. Ia tersenyum getir mengingatnya. Seiring dengan itu, ada beban lain yang menggelayuti pikirannya. Dia bukan sendiri di dunia ini. Di belakangnya, menunggu tiga istri dan sembilan anak yang tersebar di berbagai negara, masing-masing dengan cerita dan harapan yang berbeda. Bagaimana jika ia gagal di sini dan tidak mampu menghidupi mereka? Bagaimana jika ia harus kembali pulang dengan tangan kosong? Arief merogoh sakunya dan melihat foto keluarga yang selalu ia bawa—Natalia dengan dua putranya, Sari dengan enam anak mereka yang sudah besar kecil, dan Dewi yang belum dikaruniai anak tapi selalu penuh semangat. Seketika, sebait kalimat dari seorang teman lama di Walthamstow terngiang di telinganya: "Arief, sepakbola itu seperti hidup. Kadang kamu digiring ke kiri, tapi kamu harus berani tendang ke kanan. Tidak ada yang pasti, tapi kamu harus tetap main." Dengan tekad yang baru, Arief menarik napas dalam-dalam dan melangkah menuju warung kopi kecil yang biasa ia datangi. Di sana, cerita hidupnya akan mulai kembali bergulir bersama para karakter lain yang akan membuat perjalanan ini semakin berwarna. "Ini baru awal, Arief. Pertandingan sesungguhnya belum dimulai," bisiknya pada diri sendiri. *** Arief membuka pintu warung kopi kecil yang agak remang-remang, tempat yang sudah seperti rumah kedua baginya sejak beberapa minggu terakhir. Di dalam, ia disambut dengan aroma kopi pekat dan suara riuh rendah obrolan penduduk lokal yang sedang beristirahat dari aktivitas pagi. Di pojok ruangan, duduk Roy, seorang pria paruh baya dengan kumis tebal dan badan yang sedikit tambun. Dia pemilik klub sepakbola amatir di Nailsworth dan sudah beberapa kali menarik perhatian Arief untuk bekerja sama, meski pada akhirnya selalu buntu karena kendala birokrasi dan dana. “Arief! You’re here again,” sapa Roy dengan logat Inggris yang kental sambil mengacungkan secangkir kopi. “Masih bertahan ya? Rare thing to see around here.” Arief membalas dengan senyum kecut. “Masih cari-cari cara, Roy. Situasi belum jelas, tapi saya nggak bisa pulang dengan tangan kosong.” Roy tertawa sambil menggeleng. “Kamu ini kayak manager klub Liga Premier aja, punya beban berat itu. Tapi yakin saja, dunia sepakbola ini penuh kejutan.” Sambil menyeruput kopinya, Arief menceritakan lagi sedikit tentang bagaimana dia bisa terdampar di Inggris dengan harapan kerja yang kemudian buyar. Pembicaraan itu kemudian mengalir ke topik seputar sepakbola lokal—klub-klub kecil, pemain potensial yang tersembunyi, serta impian membawa Nailsworth Town FC ke level yang lebih tinggi. “Jadi, kamu mau mulai dari mana?” tanya Roy serius. Arief menatap secangkir kopi yang kini sudah hampir habis. "Mungkin saya harus mulai dari bawah lagi. Membangun tim yang solid, walau dari nol. Dengan modal pengalaman di Rusia, Indonesia, dan Inggris, saya yakin sesuatu bisa dibangun." Roy mengangguk setuju. “Lumayan juga itu. Dan jangan lupa, di sini kamu punya saya yang siap jadi supporter setiamu. Dan jangan lupa, kamu harus siap dengan kejutan-kejutan lucu dari para pemain amatir—kadang mereka lebih gila dari yang kamu bayangkan.” Arief tertawa. “Kalau begitu, saya siap. Biar drama ini berjalan dengan sedikit komedi agar nggak bikin stress.” Percakapan itu menjadi titik awal bagi Arief untuk membangun kehidupan baru di negeri asing, sambil tetap memikirkan keluarga di mana-mana dan membawa sepakbola sebagai jembatan penguat semangatnya. Dengan tekad yang mulai membara, Arief berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia akan mengubah mimpi menjadi kenyataan—bukan hanya untuk dirinya, tapi juga untuk mereka yang ia cintai. *** Hari-hari berikutnya di Nailsworth membawa Arief kepada rutinitas baru yang penuh tantangan sekaligus tawa. Pertemuan dengan Roy bukan hanya soal kopi dan rencana, tapi juga tentang mulai mengenali karakter pemain lokal yang unik dan penuh warna. Salah satu pemain yang mencuri perhatian Arief adalah Tom, remaja nakal berusia 18 tahun yang punya bakat luar biasa, tapi malas berlatih dan lebih suka membahas teori konspirasi sepakbola di media sosial. Tom pernah berkata, "Coach, kalau bola itu bisa kasih like, aku udah jadi legenda sejak lama!" Arief hanya bisa terkekeh sekaligus geli menghadapi kelakuan Tom. Kemudian ada Lisa, kapten tim wanita lokal, yang keras kepala dan sangat disiplin, sering memberikan komentar sarkastik pada Arief, "Coach, kamu ini kayak tukang pijat, cuma tahu tekan sana-sini, tapi nggak pernah ngasih dorongan nyata." Arief tahu, di balik komentar itu ada rasa hormat yang tersembunyi. Membangun tim ini seperti melatih keluarga besar yang berbeda-beda—ada yang rajin, ada yang suka ngambek, ada pula yang tiba-tiba hilang tanpa kabar. Tetapi, Arief melihat potensi besar dalam kekacauan itu. Selain itu, Arief juga harus membagi pikirannya dengan keluarganya yang tersebar. Telepon video menjadi jembatan hidup, walau sering kacau karena perbedaan waktu. Natalya, istrinya dari Rusia, selalu mengingatkan dengan candaan, "Kalau kamu di Inggris itu berat, coba ajarin anak-anak di sini main bola. Mereka butuh pelatih kayak kamu, bukan cuma Netflix." Sari, istri kedua di Indonesia, sering mengirimkan video anak-anak mereka bermain bola di halaman rumah, dengan suara riuh penuh semangat dan kadang jeritan rebutan bola yang lucu. Dewi, istri ketiga dari Bekasi, selalu memberi semangat dan tawa di setiap pesan singkatnya. Dalam kekacauan hidup dan sepakbola amatir ini, Arief mulai menata kembali mimpi-mimpinya. Ia sadar, perjalanan ini bukan hanya soal kemenangan di lapangan, tapi tentang membangun harapan, keluarga, dan keberanian. Malam hari, saat langit Nailsworth gelap dengan bintang, Arief menatap ponselnya dan berkata, "Ini baru permulaan. Tim ini dan keluargaku, kita akan melangkah bersama, walau kadang harus tertawa dulu sebelum menang." *** Seiring berjalannya minggu, Arief mulai melakukan pendekatan yang berbeda. Ia tak hanya melatih teknik, tapi juga berusaha memahami kehidupan masing-masing pemainnya. Ia tahu, sepakbola bukan hanya soal fisik atau strategi, tapi soal mental dan hati. Hari itu, saat latihan di lapangan berumput yang agak berlubang, Arief memperhatikan Percy, pemain yang suka datang terlambat dan sepertinya punya masalah keluarga. Saat sesi latihan pemanasan, Arief menghampiri dan bertanya dengan lembut, “Percy, ada apa? Aku tahu kamu sering telat, tapi kamu punya potensi besar.” Percy menunduk dan akhirnya bercerita soal ayahnya yang sakit dan harus bekerja keras untuk membantu keluarga. Arief mengangguk, merasa berat tapi juga terpanggil untuk membantu. Ia kemudian membuat jadwal latihan yang lebih fleksibel bagi Percy, sambil mengajak pemain lain untuk saling mendukung. Di antara latihan serius itu, tawa kerap pecah. Suatu kali, Tom dengan bangga menunjukkan trik menggiring bola sambil naik sepeda, tapi malah terpeleset dan terjatuh. Semua pemain tertawa, Arief pun tertawa, membuat suasana menjadi cair dan penuh semangat. Sore harinya, Arief duduk di bangku pinggir lapangan sambil menerima telepon dari Natalia yang sedang membicarakan ulang tahun putra sulung mereka. Di sisi lain, Sari mengirimkan video anak-anak mereka yang membuat bendera kecil dan spanduk dengan tulisan: “Papa, semangat ya!” Dewi mengirim pesan suara penuh semangat menambahkan, “Coach Arief, kamu ini inspirasi kami semua, tetap kuat ya!” Arief memejamkan mata sejenak, merasakan semangat itu mengalir deras. Ia sadar, ini bukan hanya tentang dirinya, tapi tentang semua orang yang percaya padanya. Dengan senyum kecil, Arief bangkit dan berbisik, “Ini baru permulaan. Kita akan naik level, tidak hanya di lapangan, tapi dalam hidup.” *** Malam itu, setelah hari yang panjang penuh latihan dan tawa, Arief kembali ke apartemennya dengan pikiran yang penuh. Lampu jalanan berpendar lembut menerangi langkahnya yang pelan, dan angin dingin mengiringi kesunyian malam di Nailsworth. Begitu sampai, ia duduk di depan laptop dan membuka video-video keluarga yang dikirim dari berbagai belahan dunia. Suara tawa anak-anak, wajah istri-istrinya yang tersenyum, dan suasana rumah yang hangat menjadi energi untuk hari-hari berikutnya. Plong! Sebuah pesan masuk dari Dewi, "Coach, nanti besok aku bawa cemilan enak yah. Seru nih latihan sama tim dari kamu, kayak acara keluarga besar, penuh drama dan gelak tawa." Arief tersenyum dan membalas, "Nggak sabar, Dewi. Tim dan aku butuh energi lebih, bukan cuma dari latihan tapi juga dari kebersamaan." Namun, di balik kebahagiaan kecil itu, ada realita yang selalu membayangi. Ia harus segera mengurus dokumen untuk izin kerja dan memastikan semua urusannya berjalan lancar agar bisa tetap tinggal di Inggris untuk mengembangkan kariernya. Pagi esoknya, saat mempersiapkan diri ke lapangan, Arief mendapatkan telepon dari seorang tokoh sepakbola lokal yang menawarkan kesempatan untuk mengikuti turnamen kecil yang dapat membuka jaringan dan peluang di dunia sepakbola Inggris. Dengan tekad yang makin membara, Arief berbisik pada dirinya sendiri, "Ini kesempatan pertama kita, langkah kecil yang akan membawa kita ke puncak." Ia tahu, perjalanan masih panjang dan penuh liku, namun dengan keluarga yang menjadi alasan, teman-teman baru yang menyertai, dan mimpi sepakbola yang membara, ia siap menjalani semua dengan hati terbuka.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN