bc

Secercah Harapan di Tanah Asing

book_age4+
0
IKUTI
1K
BACA
family
sporty
drama
genius
loser
witty
office/work place
small town
harem
like
intro-logo
Uraian

Menceritakan seorang yang terdampar di kota kecil bernama Nailsworth. Disebabkan dia ingin bekerja di suatu perusahaan, tetapi entah kenapa perusahaan itu tidak memberikan kabar, sementara dia sudah ke Nailsworth dari Magelang.Bersyukur karena dia memiliki sertifikat pelatihan UEFA B dan AFC B. Akhirnya dia mendapatkan pekerjaan.

chap-preview
Pratinjau gratis
Prolog : Hampa di Negeri Orang
Kamera menyusuri jalanan kecil di Nailsworth, Inggris, menampilkan kedamaian yang berbeda dari hiruk pikuk Indonesia. Di sebuah kedai kecil, duduk seorang pria berusia jelang empat puluhan, mengenakan jaket tebal dan wajah penuh kelelahan. Namanya Arief, seorang pelatih sepakbola asal Magelang yang baru saja tiba di negeri ini dengan harapan besar. Arief melihat ke luar jendela, memandangi lapangan hijau yang entah kapan akan ia sentuh lagi. Ingus membeku di udara dingin, mengingatkan pada kehangatan rumah dan keluarga di tanah air. Namun, mimpi besar untuk membawa perubahan melalui sepakbola masih hidup di relung hatinya. Tiba-tiba, ia mengeluarkan ponselnya dan menekan layar, mengingat pesan terakhir dari perusahaan tempat ia akan bekerja di Nailsworth. Tapi, harapannya pupus. Perusahaan itu tidak memberi kejelasan, dan karenanya, Arief kini terdampar tanpa pekerjaan, tanpa kepastian. Dalam keheningan itu, terlintas di benaknya masa lalu yang penuh warna, dari menjadi pelatih di klub amatir sampai pengalaman bekerja di klub besar di Moskow. Semuanya kini seperti bayangan yang samar-samar. Ia menghela napas dalam, berjanji dalam hati bahwa kerasnya pengalaman dan tekadnya untuk akan membawanya keluar dari titik ini. Mimpi untuk melihat tim yang ia latih meraih kejayaan tetap menyala, meski di saat yang paling gelap sekalipun. Arief menatap langit gelap yang penuh bintang, berbisik dalam hati, "Di mana pun aku berada, aku akan tetap berjuang untuk sepakbola dan impianku." *** Di tengah keheningan malam Nailsworth, Arief duduk di bangku kayu yang sedikit reyot di taman kecil dekat kedai tempatnya duduk tadi. Angin malam meniup lembut, menggoda seutas rambutnya yang acak-acakan. Ia mencoba tersenyum, meski wajahnya menunjukkan kebingungan dan kelelahan hebat. "Kalau saja aku bisa ngomong sama bola, mungkin aku tanya, 'Bro, kamu mau ke mana?' " katanya sambil tersenyum getir, lalu menoleh pada bola sepak yang tergeletak di rerumputan. Bola itu seakan menanggapi dengan keheningan yang lucu—seperti tahu bahwa percakapan itu hanya mimpi belaka. Mengingat masa lalu, Arief tersenyum sendiri. Ia pernah melatih klub amatir di Walthamstow, dan suatu kali, saat latihan, seorang pemain baru—yang ternyata adalah tukang pijat ternama di London—sempat berujar saat latihan: "Bro, kalau kita kalah, saya pijat di bahu. Kalau menang, saya pijat di hati." Tentu saja, semua itu menjadi cerita lucu di antara mereka yang membuat suasana sedikit lebih cerah di tengah kekalutan hidup. Ia ingat betul, pengalaman-pengalaman kecil yang kadang membawa tawa di saat-saat sulit. Bahkan di Moskow, ketika ia sedang mencoba menyesuaikan cuaca ekstrem dan sekaligus belajar bahasa Rusia yang keras, ia pernah menyebut di dalam hati, "Kalau ikuti cuaca kayak begini, mungkin aku harus jadi petinju, bukan pelatih!" Tetapi, di balik tawa itu, sebuah rasa getir tetap membayang. Ia tahu, perjalanan ini tidak akan mudah. Ia harus kembali bangkit dan memutuskan langkah apa yang terbaik—kembali ke tanah air, atau tetap bertahan dan berjuang di sini, di tanah orang yang baru ia kenal. "Kalau bola ini bisa bicara, mungkin dia bakal bilang, 'Bro, santai saja. Kalau aku bisa menendang, pasti aku sudah nelan ratusan gol, tapi kenyataannya aku cuma kedepos kayak gini.' " Suara tawa kecil keluar dari bibir Arief, namun di matanya ada tekad yang tak tergoyahkan. Ia tahu, drama ini adalah cerita epik yang baru saja dimulai. Sepakbola mungkin berbisik padanya lewat angin malam ini, bahwa di balik kekalahan dan ketidakpastian, ada harapan yang harus terus diperjuangkan. Ketika malam makin larut, Arief berdiri dan menepuk-nepuk bola sepak yang kosong itu. Ia berbisik lagi, "Kita jalan lagi, dunia. Entah apa yang menanti, tapi aku pasti akan bikin mereka tercengang… dan mungkin juga bikin mereka tertawa, karena sepakbola memang penuh keajaiban dan… kejutan lucu." Di situ, di bawah langit Inggris yang gelap, sebuah mimpi dan sebuah harapan menyatu. Menunggu untuk bangkit, menyusun langkah baru, dan menulis kisah yang akan dikenang—tentang seorang pria dari Magelang yang tidak pernah menyerah pada bisik-bisik bola dan kehidupannya sendiri. *** Malam di Nailsworth mungkin sunyi, tapi di pikiran Arief, suasana sedang sangat berbeda. Bayangan keluarganya yang unik menari-nari, membuatnya tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepala. Ia punya tiga istri, masing-masing dengan cerita dan karakter yang tak kalah menarik dari sepakbola itu sendiri. Istri pertamanya, Natalia, berasal dari Rusia dan kini tinggal di Staten Island, Amerika Serikat. Natalia sudah dua kali melahirkan anak laki-laki—yang sulung berusia 14 tahun dan yang bungsu baru 5 tahun. Arief membayangkan dengan geli, bagaimana Natalia sering menggoda dia lewat panggilan video, "Apa kamu sudah ajarkan anak-anak itu cara menendang bola? Atau kamu cuma ngajarin mereka cara mengelola kebingungan di Inggris?" Istri keduanya, Sari, berasal dari Indonesia dan seperti sebuah miniatur keluarga sepakbola. Mereka punya enam anak: putri tertua yang berusia 20 tahun, seorang lagi perempuan 19 tahun, lalu si sulung laki-laki 17 tahun yang sudah mulai jago main bola, dua adik perempuan umur 11 dan 4 tahun yang suka ribut berebut bola di rumah, dan si bungsu laki-laki yang masih 2 tahun, yang kalau melihat bola, langsung teriak dan berlari kegirangan. "Dia mungkin lahir dengan sepatu bola di kaki," Arief bergurau dalam hati. Dan istri ketiganya, Dewi, asal Bekasi, yang belum punya anak, tapi punya energi dan semangat yang tak kalah besar. Ia sering mengirim pesan singkat sambil bercanda, "Kalau kamu bingung di Inggris, ingat aja, aku sudah siap jadi pelatih cadangan buat keluarga kita! Tapi ingat, jangan kaya pelatih yang nggak jelas di Nailsworth itu ya!" Arief tersenyum penuh kehangatan dan kesyukuran walau situasi hidupnya tengah penuh tantangan. Dalam Islam, ia tahu bahwa berpoligami adalah jalan yang diperbolehkan, asalkan dijalani dengan tanggung jawab dan kasih sayang yang sama rata, dan dia bertekad untuk menjaga keluarganya tetap harmonis meski jarak membentang. Sambil menatap langit penuh bintang di atas Nailsworth, Arief yakin bahwa jalinan keluarga dan sepakbola adalah dua hal yang tidak boleh dipisahkan. Mereka adalah sumber semangat dan alasan mengapa ia harus terus berjalan, melangkah maju menghadapi ketidakpastian dengan tawa, air mata, dan doa-doa yang tak pernah putus. Sepakbola bukan hanya soal pertandingan di lapangan, tapi soal bagaimana sebuah keluarga, lintas benua dan budaya, bisa jadi tim terbaik yang tak terkalahkan oleh waktu dan jarak. Dengan itu, Arief berdiri, menggenggam bola yang sudah mulai mengilap terkena embun pagi. "Waktunya kita mulai babak baru…"

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

30 Days to Freedom: Abandoned Luna is Secret Shadow King

read
307.5K
bc

Too Late for Regret

read
271.6K
bc

Just One Kiss, before divorcing me

read
1.6M
bc

Alpha's Regret: the Luna is Secret Heiress!

read
1.2M
bc

The Warrior's Broken Mate

read
135.8K
bc

The Lost Pack

read
374.6K
bc

Revenge, served in a black dress

read
144.1K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook