Jari-jari tangan Zen mulai menari di atas keyboard laptopnya, kini mulai menstalking Ardio Faster, anak kelas 11 IPS 2 yang juga tidak ada ganteng-gantengnya-- malah amburadul dengan poni yang menutupi sebelah matanya itu, apa itu penampilan model baru? Lagian laki-laki bernama Ardio itu tidak ada hebat-hebatnya dalam akademik, tidak ada atletis-atletisnya, bahkan di sekolah tadi dia juga sudah menolak Zen mentah-mentah. Tapi Zen tidak patah semangat, tidak sakit hati, tidak pesimis, malah sejak ditolak tadi, Zen yang awalnya hanya tertarik dengan puisi Ardio, kini malah menstalking akun i********: pribadi Ardio.
Zen menghela nafas. "Ahh... tidak ada postingan apa pun." Zen langsung merebahkan tubuhnya ke kasur, menutup mata.
Untuk pertama kalinya seorang Zyantia Verila menembak seorang cowok dan langsung ditolak, gadis yang terkenal karena kepolosan, keramahan, kecantikan, dan kepandaiannya itu pasti akan membuat dunia gempar jika ada yang berani menolaknya.
Dan itu sudah terjadi, hari-hari Zen akan semakin menyesakkan, tapi yang lebih parahnya lagi adalah hari-hari tenang Ardio yang berubah 360 derajat.
Esoknya di sekolah, kabar Zen tertolak menyebar begitu cepat, padahal Zen sudah memastikan bahwa tidak ada orang di koridor waktu itu.
Saat memasuki gerbang, murid laki-laki sudah menghampiri Zen, begitupun dengan murid perempuan yang mulai menginterogasi Zen.
"Kamu beneran baru di tolak Zen?" tanya seorang murid perempuan.
"Eh... maksud kalian apa? Gak ada kok," elak Zen karena tidak ingin memanjangkan masalah. Masih bertanya-tanya siapa yang telah menyebarkan rumor ini.
Seorang anak laki-laki yang baru datang kini menjadi pusat perhatian, semua mata yang ada di sekolah itu tertuju pada Ardio Faster yang kini ikut heran karena jadi sorotan semua orang.
"Woi! Lo Ardio itu ya?! Apa maksud lo menolak Zen kami!? Muka pas-pasan doang pake acara nolak ratu kami pula!" teriak seorang murid laki-laki, penggemar Zen.
Ardio semakin bingung dan heran. 'Lah... Ratu!? Ratu apaan dah, owh atau jangan-jangan...' bathin Ardio. Ardio melirik Zen, perempuan yang dia temui dikoridor kemarin, mata mereka secara tak sengaja bertemu.
Zen segera melepas pegangan orang-orang yang ada di sekelilingnya dan berlari cepat menuju gerbang tempat Ardio berdiri.
"Ayo!" seru Zen sambil menarik tangan Ardio dan berlari cepat meninggalkan sekolah.
"Hei kemana!?" sorak Ardio sambil ikut berlari karena dipegang erat oleh Zen.
Nafas mereka ngos-ngosan setelah sampai di sebuah taman yang cukup sepi.
"Kenapa lo bawa gue keluar? Lo mau bolos jangan ajak-ajak gue dong!" protes Ardio yang masih kehabisan nafas karena berlari selama 3 menit tadi.
"Lah kok kamu malah nyalahin aku sih!?"
kesal Zen.
Mereka jadi saling mengacuhkan berdua, suasana tenang dan canggung ini sama sekali tidak pernah dirasakan oleh Zen selama hidupnya.
"Hei... kamu gak ada niat minta maaf?" tanya Zen memecah keheningan sekaligus kecanggungan.
"Lah!? Kok gue yang minta maaf!? Yang salah kan lo! Bukan gue!" gerutu Ardio.
Wajah Zen nampak cemberut. Zen kini sedang menahan tangisnya karena dibentak oleh Ardio, sebab ini pertama kalinya Zen dibentak oleh seseorang.
Melihat ekspresi di wajah manis Zen, Ardio terkejut dan menundukkan pandangannya. "Maaf," ucap Ardio pelan.
Zen kaget mendengar kata yang dilontarkan Ardio tadi, Zen langsung menyeka air matanya yang tadi sempat keluar.
"Kenapa lo mandangin gue kayak gitu? Gue udah minta maafkan?" tanya Ardio.
Zen tertawa kecil melihat reaksi canggung yang dinampakkan Ardio. "Hahaha, kamu lucu ya."
"Apaan sih! Ya udah gue pulang dulu! Lagian jam segini gerbang udah ditutup," ujar Ardio sambil berdiri dari duduknya.
Refleks Zen memegang tangan Ardio "Please jangan pergi dulu, tolong sebentar saja dengarkan permintaanku," pinta Zen.
"Gue gak akan pernah suka sama lo! Jadi gak mungkin gue bakal mau pacaran sama lo!" tegas Ardio. Ardio berpikir Zen ingin meminta dia jadi pacarnya.
"Kenapa...? Apa kekuranganku di matamu?" tanya Zen menatap heran Ardio. Melepas pegangannya.
"Banyak! Di mana bagi gue, lo adalah gadis dengan banyak kekurangan yang sejatinya adalah kelebihan yang gak bakal bisa untuk gue seimbangkan!" jelas Ardio.
"Maksudnya?" tanya Zen mengerutkan keningnya karena tidak paham dengan ucapan Ardio.
Ardio menepis tangan Zen. "Dengarkan baik-baik! Kita itu ibarat penggemar K-Pop dan penggemar Anime yang tidak akan pernah bersatu sampai kiamat pun! Kita itu bak langit dan bumi yang sangat berbeda dan tidak akan pernah bisa dekat satu sama lain. Pertama! Lo yang cewek populer tidak akan pantas bersanding dengan cowok biasa aja kayak gue! Kedua! Lo yang anak orang kaya tidak akan pernah bisa menyatu dengan gue yang hanya orang miskin! Ketiga! Gadis secantik lo mustahil untuk bisa bersama dengan cowok berwajah biasa aja kayak gue! Dan terakhir! Gue gak ada perasaan apa-apa sama lo, bahkan gue sama sekali tidak tau alasan lo suka sama gue!" jelas Ardio.
Zen jadi terdiam mendengar penjelasan Ardio, sambil menyunggingkan bibirnya tersenyum tipis, Zen mulai berdiri dari duduknya tadi. "Ardio... pertama! Kita sama sekali bukan penggemar K-Pop dan anime, jadi kita tidak bisa disamakan dengan hal itu, Kedua! Bumi dan langit itu saling membutuhkan, bumi membutuhkan langit sebagai atapnya dan langit pun membutuhkan bumi sebagai tempat yang bisa dipandanginya agar tidak kesepian, ketiga! Takdir itu terikat, jika kita ditakdirkan untuk bersama maka tidak akan ada yang mampu memutusnya, dan terakhir! Aku menyukaimu karena kamu adalah penyair favoritku!" jawab Zen penuh rasa bangga.
Ardio tersentak kaget. "Haha penyair? Penyair apa ya?" tanya Ardio mengerutkan keningnya menatap Zen. Pura-pura tidak tahu.
Zen kembali tersenyum tipis pada Ardio. "Aku menyukai puisi dari kecil, bagiku puisi itu adalah kehidupan, penenang terbaik dari segala kedamaian yang pernah aku rasakan, saat aku lama di rumah sakit, aku selalu membaca puisi-puisi yang menggugah emosi setiap pembacanya. Yang indah rangkaian katanya. Bagiku... puisi bukan hanya sebuah bacaan, tapi puisi adalah dokter terbaik untuk segala penyakit," jelas Zen sambil tersenyum lebar menatap langit.
Ardio terlena sejenak, takzim mendengar perkataan Zen tentang puisi. "Terus hubungannya sama gue apa?" tanya Ardio dengan wajah bingungnya.
"Hahaha, kamu tidak perlu berbohong, aku tau kamu pemilik blog @pecintasajak bukan? Aku tau dari postingan background untuk puisimu yang diambil dari taman belakang sekolah, setelah itu aku membaca tugas puisimu yang ada di buk Nisa. Aku tau cara penulisanmu bagaimana. Selalu diawali dengan tanggal dan menyebut warna, bukan?"
Ardio tersentak kaget, gadis di hadapannya ini bukan hanya tau tentang siapa pemilik blognya, bahkan Zen sampai tau cara penulisan puisi Ardio.