Bab 4

2635 Kata
Ardio langsung meninggalkan taman itu tanpa sedikitpun menoleh dan menjawab perkataan Zen. Ardio tidak ingin berurusan lama-lama dengan Zen. Ardio berpikir Zen mengerikan, bagaimana Zen bisa tau hal yang sudah ditutupi Ardio rapat-rapat selama ini tentang blognya?! "Hei Ardio! Kamu mau jadi pacarku!?" sorak Zen. "Ogah!" seru Ardio yang masih kesal sambil terus melangkahkan kakinya meninggalkan taman itu. "Aku akan terus mengejarmu loh!" seru Zen sekali lagi, pantang menyerah, terkesan tak tau malu. "Seterah lo! Karena bagaimanapun gue gak akan sudi pacaran sama lo!" seru Ardio. "Hei! Ayo buat perjanjian! Jika kamu datang ke sekolah besok, maka kejadiannya akan sama kayak tadi!" seru Zen dengan lantang. Langkah Ardio terhenti, wajahnya seketika pucat basi "s**l!" gumam Ardio. Ardio kembali duduk di bangku taman diikuti oleh Zen yang nampak tersenyum puas. "Lo harus bisa kelarin semua gosip tadi! Gue gak mau hidup gue yang damai jadi berantakan gara-gara lo!" tegas Ardio. "Lah kenapa dikelarin?" tanya Zen nampak bingung. "Mau lo apaan sih bangke!?" kesal Ardio. Zen terkejut melihat ekspresi marah yang nampak di wajah Ardio. "Maaf..." gumam Ardio pelan. "Sebelumnya aku minta maaf udah bikin kamu kayak gini, aku gak bermaksud..." ucap Zen. 'Ini anak benaran murid yang juara umum angkatan kemaren gak sih!? Kok begonya jelas banget ya!?' pikir Ardio. "Aku benar-benar menyukai puisimu, tapi aku sama sekali tidak tau akan ada rumor seperti ini, aku tidak tau kenapa bisa tersebar, aku tidak tau siapa yang menyebarkannya, dan kita tidak akan bisa menutup rumor itu dengan cepat," jelas Zen. "Jadi hanya ada dua cara menutupi rumor itu segera, pertama... kamu dan aku jangan pernah bertegur sapa lagi, di mana pun dan kapan pun, kedua... kita pacaran, walau pura-pura sampai rumor itu menipis dan hilang, tapi aku yakin kamu akan memilih yang pertama," ucap Zen dengan suaranya yang terdengar lirih sambil menundukkan wajahnya. "Kalau begitu gue pilih yang kedua," jawab Ardio. "Sudah kudug-- eh! Kamu tadi bilang apa!? Coba ulangi!" seru Zen dengan ekspresi kagetnya. Tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. Ardio menggaruk tengkuk lehernya yang tidak gatal, "Seperti yang gue bilang tadi, gue milih yang kedua," jawab Ardio. "Serius!?" tanya Zen mencoba meyakinkan jawaban yang diberikan oleh Ardio. Ardio mengangguk mengiyakan. "Demi apa!?" tanya Zen nampak bahagia. "Gue gak ingin memutus hubungan dan tidak bertegur sapa dengan orang yang gue kenal, daripada kita menjadi orang yang seperti itu, ingin menyapa tapi tertahan oleh keadaan, putus silahturahmi, dimata-matai orang-orang, bukanlah lebih baik kita menghadapinya bersama? Dan terlebih gue tidak ingin menyesali suatu keadaan jika gue membuat keputusan yang salah," ucap Ardio. Zen mengangguk cepat. "Mohon kerjasama nya! Ehmm... pacarku?" ucap Zen dengan ekspresi bingung, tidak tau harus memanggil Ardio dengan panggilan seperti apa. oOo Angin hari ini cukup kencang, cukup untuk membuat daun-daun kering lepas dari rantingnya. Seorang anak laki-laki dengan seragam putih abu melewati pohon yang ada di perkarangan rumah sederhana itu, membuka pintu, masuk ke dalam. "Aku pulang." "Lah kok udah pulang aja Nak? Ini baru jam 10 loh," ucap seorang wanita yang sudah cukup tua sambil terus mengupas bawang putih yang dipegangnya. "Lagi gak ada guru Ma, oh iya kenapa Mama ada di rumah jam segini? Biasanya di laundry kan?" tanya Ardio nampak heran. "Hari ini cucian di laundry gak banyak Nak, jadi Mama pulang dulu nyiapin makan malam, nanti sore balik lagi untuk menyetrika," jelas mama Ardio. "Owh gitu Ma, aku ke kamar dulu ya," ucap Ardio sambil melangkah memasuki kamarnya. *** "Lah Non... kok udah pulang aja?" "Hahaha aku lagi gak enak badan Kang Jep, makanya izin gak sekolah aja." "Kok gak ngabarin Pak Wil minta jemput aja Non? Nanti jika tuan tau, Akang sama Pak Wil bisa dimarahi Non." "Papa gak bakal tau kok Kang, asal gak ada yang ngasih tau aja, hehe. Omong-omong Pak Wil di mana kang?" "Lagi di toilet." "Oh, ya udah, aku masuk dulu ya Kang." "Ok Non," jawab satpam yang dipanggil Zen dengan sebutan kang Jep itu. Zen melangkah pelan ke dalam rumahnya sambil menyeka keringatnya karena habis berbohong yang bahkan sama sekali belum pernah dilakukan gadis itu. Tiba di kamar Zen langsung menghempaskan tubuhnya, sambil menatap dinding-dinding kamar yang bercorak dedaunan gugur berwarna orange kecoklatan, warna favorit Zyantia dari kecil, dilengkapi dengan koleksi gambar daun momoji Jepang yang menjadi alas kasurnya. "Hahaha hari ini cukup menyenangkan, semoga aku bisa terus bahagia seperti ini," gumam Zen sambil menutup matanya. Tring... tring... Zen kembali membuka matanya sambil beranjak dari ranjang untuk mengambil HP-nya, seringkali Zen mengangguk mengiyakan mendengar ucapan yang dilontarkan oleh si penelepon. Zen mengganti segera seragamnya setelah sedikit berdandan dan langsung ke luar dari kamarnya. "Pak Wil! Anterin ke tempat biasa ya!" seru Zen pada supir yang duduk di samping kang Jep. Sopir yang dipanggil Zen pak Wil tadi menganguk dan segera menyiapkan mobil. "Hati-hati Non!" ujar kang Jep. "Hahaha bilang hati-hatinya ke pak Wil dong Kang Jep," tawa Zen. Mobil terus melaju dengan cepat membelah jalanan kota Bandung, Zen masih sibuk dengan HP dan headset yang dikenakannya untuk mendengar musik klasik, seulas senyum terukir di bibir manis Zen. *** "Ma, aku berangkat dulu ya." "Mau ke rumah Dean lagi?" tanya mama Ardio yang langsung diangguki oleh Ardio. Ardio belok kiri setelah keluar dari pekarangan rumah, berjalan tak cukup lima langkah sampai akhirnya dia berhenti, menekan bel. Teng... teng... "Loh Ardio!? Kamu gak sekolah?" tanya seorang wanita paruh baya. "Haha gak Bi, omong-omong boleh aku pinjam pianonya lagi?" tanya Ardio. "Wah boleh dong, untung ada kamu yang tiap hari mainin tuh piano, Dean sama sekali gak suka musik jadi piano papa-nya gak ke pake, ya udah ayo masuk!" Ardio mengangguk mengiyakan ucapan wanita yang dipanggilnya bibi itu, mama Dean, sahabat baik Ardio sejak kecil. Sudah 2 jam Ardio duduk di kursi piano, jari-jari tangannya sama sekali belum menari di atas tuts piano, sudah 2 jam pula Ardio terduduk dengan kepala tertunduk. "Woi! Lo bolos ya!?" Suara yang sudah di kenal akrab oleh Ardio itu mengejutkannya. "Dean!? Kok Lo bisa di sini?" "Ya iyalah, inikan rumah gue bambank!" "Owh iya ya..." "Lo ada masalah?" tanya Dean menyelidik. Ardio melirik ke atas dinding sebelah kirinya untuk mengetahui pukul berapa sekarang. "De... lo tadi sekolahkan?" "Iyaa emang kenapa?" "Ini baru jam 12 loh." "Owh itu... Gue tadi izin sama si botak, bosen gue di kelas belajar mulu." Dean menghela nafas, mendesis sebal. "De... lo tau tentang rumor di sekolah itu kan?" Dean terdiam mendengar pertanyaan Ardio, dia memalingkan wajahnya sejenak lalu kembali menatap Ardio, "Gue tau, yah... lagian siapa yang gak bakalan tau berita heboh itu kan? Si cewek yang dicap anak-anak bak bidadari, ratu tercantik se SMA Darma Nasional baru saja di tolak oleh seorang cowok yang tidak nampak di mata orang lain karena terlalu biasa saja?" "Lo nyindir gue ya?!" seru Ardio berdecak kesal "Hahaha canda kok gue! Omong-omong pas lo ditarik sama tuh cewek, lo ngomongin apa sama dia, kasih tau gue dong!" "Kita pacaran." "Eh!? Maksudnya lo sama tuh cewek pacaran!?" Ardio mengangguk mengiyakan, "Walau cuman pacaran pu--" "Dean! Ardio! Ayo makan siang dulu, mama udah masak nih!" sorak mama Dean dari lantai bawah, membuat Ardio tak jadi melanjutkan ucapannya. "Iya Ma!" sorak Dean. "Ya udah ayo Dio!" ajak Dean. Ardio menganggukan kepalanya. "Bibi masak tumis kangkung nih Ardio, ini makanan kesukaan kamu kan?" "Makasih Bi." "Yah Ma... Kok ada ikan sih, Mama kan tau aku gak suka ikan," cemberut Dean. "Ya udah kamu makan sayur aja." "Heeeh!?" Dean Ranita Putri, sahabat Ardio dari kecil sekaligus tetangga dekat Ardio. Karena sering main dari kecil, mama Dean juga telah menganggap Ardio sebagai anaknya sendiri. Papa Dean bekerja di luar negeri, berbeda dengan papa Ardio yang sudah almarhum, Dean juga memiliki sepasang adik laki-laki dan perempuan yang masih duduk dibangku kelas 2 SMP dan kelas 6 SD. "Kok tadi Bibi gak dengar musik pianonya Dio? Kamu gak mainin?" tanya Mama Dean yang hampir membuat Ardio tersedak. "Owh itu aku lagi mikirin bagusnya mainin apa Bi, ternyata gak kerasa aja udah 2 jam haha," jawab Ardio ngeyel. Selesai menyantap makan siang, Ardio dan Dean kembali ke ruang musik, kini Ardio mulai menggerakkan jarinya di atas tuts piano dengan rekaman HP yang sudah stay. Dean duduk di sebelah Ardio, memperhatikan raut wajah sahabatnya itu memainkan piano dengan musik antah berantah yang tidak diketahui Dean apa namanya, tapi terdengar amat menenangkan. "Eh!?" Ardio kaget melihat Dean yang sudah bersandar di bahunya dengan mata tertutup. "Lah kebiasaan nih anak, tidur seenak jidatnya aja!" kesal Ardio sambil mengangkat Dean ke sofa yang ada di sudut ruangan. Ardio kembali beranjak ke kursi piano dan kembali memainkan pianonya. *** "Bagaimana Kak?" "Sejauh ini sudah terlihat ada perubahan ke arah yang lebih baik, tapi walaupun begitu kita tetap akan menyelesaikannya sampai tuntas, jadi minggu depan kamu harus sudah siap-siap ya!" "Baik kak!" Zen berseru semangat dengan senyuman penuh kebahagiaan pada seorang pria yang kini duduk di hadapannya sambil membalik-balikkan dokumen yang dipegangnya di dalam kafe. Zem menyeduh coklat s**u yang telah dipesannya tadi dan segera pamit dengan pria yang dipanggilnya kakak itu. "Pak Wil! Kita ke toko buku dulu ya!" "Baik Non!" jawab pak Wil yang dari tadi sudah menunggu di parkiran kafe. Seulas senyum kembali terukir di bibir manis Zen, Pokoknya aku harus membelikan Ardio buku itu, sebagai hadiah pacaran kita, yah walau pacaran pura-pura sih haha. oOo "Beb!" Teriakan yang dilontarkan gadis itu pada seorang pria yang hendak melintasi gerbang menjadi pusat perhatian semua murid. Bagai diterpa badai pagi yang sangat dahsyat, semua orang yang ada di sana tercengang, menatap idola mereka mengandeng tangan seorang pria. "Hei lo apaan sih! Datang-datang udah gandeng-gandeng gini aja!" bisik Ardio nampak kesal pada Zen. Zen hanya tertawa cengengesan menatap wajah kesal Ardio, "Hahaha bukankah kita udah pacaran beb?" bisik Zen. "Tapikan cuman pura-pura!" seru Ardio masih berbisik. "Ya udah, kelas yuk!" ajak Zen sambil terus merangkul lengan Ardio, mengabaikan kalimat Ardio barusan, tak peduli mau pura-pura atau bagaimana status pacaran mereka, yang jelas Zen sudah punya pacar. "Sampai jumpa Beb!" seru Zen sambil melambaikan tangannya pada Ardio dan berbelok ke lorong kanan, kelasnya Zen. Ardio tercengang menatap tingkah Zen yang kini berbeda. 'Walau kemaren kita udah sepakat buat saling manggil beb aja, tapi kok rasanya masih aneh ya? Dan lagi kenapa gue harus memilih pilihan kedua itu Bangs*t?!' bathin Ardio kesal sambil melayangkan tangannya ke dinding kelas, merasa menyesal memilih pacaran dengan Zen. Tangan Ardio yang hendak memukul dinding lagi kelas dihentikan segera oleh seseorang. "Mau ngapain lo?" tanya Dean, melepas tangan Ardio segera. "Eh lo De... ada apa?" tanya Ardio. "Gue yang seharusnya nanya ada apa, dan lagi kenapa tuh anak-anak pada natap ke lo gitu?" tanya Dean sambil menoleh kiri kanan. Ardio terkejut melihat banyaknya murid yang mengelilingi nya padahal tadi sama sekali tidak dirasakan oleh Ardio. Dean diikuti oleh Ardio masuk ke kelas bersama, kebetulan Dean satu jurusan dan satu kelas dengan Ardio. Selesai mereka memasuki kelas, kerumuman murid-murid yang tadi juga masih berbisik-bisik tidak jelas. *** "Ada yang bisa membuat jurnal ini ke depan?" Seisi kelas jadi hening setelah mendengar pertanyaan dari guru itu, sambil menghela nafas lelahnya guru itu kembali membuka bicaranya. "Zen... kamu yang kerjakan," suruh guru IPA itu. Zen beranjak dari kursinya menuju papan tulis, tangan Zen lincah menuliskan nama-nama unsur dengan bahasa planet yang cukup membingungkan, angka-angka besar dan huruf-huruf yang tidak membuat rangkaian kalimat sudah dimasukkannya ke kolom-kolom dan garis-garis yang sudah di-spidol di papan tulis itu terjumlah kan dengan baik dan tepat. "Sudah! kamu boleh duduk Zen, selanjutnya Vira kamu kerjakan soal tanggal 2!" seru guru IPA itu. "Eh...!?" kaget gadis yang ada di kursi nomor 3 itu. Pembelajaran di kelas Zen terus berlangsung dengan baik, begitupun pembelajaran di kelas Ardio dan Dean yang berjalan sebagai mana mestinya. "Hei Dio! Mau nonton pertandingan gue siang ini?" tanya Dean sambil terus mencatat catatan yang dicatatkan oleh sekretaris kelas di papan tulis. "Hmmm... boleh," angguk Ardio. Sekilas senyuman puas terukir di wajah Dean yang masih sibuk dengan buku catatan dan penanya. *** Bel istirahat berbunyi dengan nyaring dan berulang di sekolah, wajah lesu para murid kini jadi nampak lega dan bahagia seketika, yang tadinya sakit perut langsung sembuh setelah mendengar bel istirahat berbunyi, yang tadinya tidur di kelas karena sakit kepala malah duluan berlari menuju kantin, yang tadinya tinta pulpennya habis kini dengan pulpen yang masih sama dia menuliskan menu snack yang dititip pada teman lainnya yang hendak ke kantin. Geng-geng meja dibelakang yang biasanya selalu cuek pada pelajaran kini malah fokus pada sebuah layar kecil sambil bergoyang-goyang dengan gerakan mereka yang seirama diiringi musik-musik yang merusak anak remaja. Aplikasi video sudah menjadi pelengkap masa remaja anak-anak zaman sekarang, yang dulunya selalu berdiam diri di rumah dengan pakaian yang normal, kini malah banyak yang mengenakan pakaian kurang bahan sambil berjoget tidak jelas dan mempertontonkan auratnya oleh para remaja-remaja perempuan. Tidak hanya murid, bahkan guru-guru pun tidak jarang mengenakan aplikasi itu dan berjoged-joged ria tanpa sadar usia lalu mempostingnya ke publik. Apakah ini masa remaja yang terbilang indah? Masa putih abu-abu yang akan mengubah hidup kita sebanyak 180 derajat? Tentu iya, dan semua itu sudah terlihat jelas, selanjutnya tergantung cara para remaja menyikapi semua kesenjangan ini. Menghabiskan masa remaja tidak harus dengan melakukan hal-hal seperti itu, butuh hiburan? Bosan? Bukankah banyak hal lain yang bisa dilakukan? Misalnya saja membaca novel online tentang vakum pacaran oleh para remaja, memperdalam ilmu dengan duduk di perpustakaan, bermain bersama teman-teman. Bukankah itu masa remaja yang sebenarnya? Daripada menghabiskan waktu berjoget-joget dengan sebuah kotak kecil yang sering dibawa orang kemana-mana, apa yang kita dapatkan dari melakukan hal itu? Popularitas? Uang? Pahala? Tidak! Malah hanya dosa karena mempertontonkan aurat kita bagi para perempuan. Masa remaja adalah masa-masa menyenangkan dengan segala lika-likunya, pembelajaran dan karir masa depan, keberhasilan dan kegagalan, yang umumnya terjadi pada masa putih abu-abu yang banyak membahas tentang cinta dan persahabatan. Merasakan cinta dan mendapatkan cinta itu pada masa putih abu-abu adalah impian semua remaja yang ingin masa remajanya jadi tidak terlupakan, yang ingin masa remajanya jadi berkesan dan tidak biasa-biasa saja, masa pembentukan diri dari para remaja yang baru melewati masa pubertas nya, masa di mana orang-orang pada sibuk membentuk dirinya agar dilirik oleh orang yang dia sukai. Dan masa dimana persahabatan adalah segalanya, dari masa remaja lah kita banyak mendapat kan pengalaman berharga, terjalin dalam cinta dalam diam, cinta segi tiga, cinta jajar genjang, cinta segi lima, dan cinta segi sekian lainnya. Tapi bagaimana dengan Ardio? apakah baginya Zen adalah cintanya? Seseorang yang akan bisa membuat kenangan indah dalam masa remajanya? "Dio! Lo kenapa bengong gitu sih!?" seru Dean. "Ah... maaf." "Ya udah ke kantin yuk!" ajak Dean. "Maaf... gue gak bisa, gue harus ke--" "Tempat pacar lo?" tanya Dean memotong ucapan Ardio. Dio terdiam dan menganggukkan kepalanya mengiyakan. "Ya udah! Gue duluan!" ujar Dean nampak kesal. "De!" sorak Ardio. Dean menoleh kan kepalanya ke Ardio, "Apa?" "Lo lagi PMS ya? Kok marah-marah mulu sih?" tanya Ardio dengan polosnya. "Apaan sih!" kesal Dean sambil terus melanjutkan langkahnya menuju kantin. Saat hendak baru sampai di pintu, Dean berpapasan dengan Zen yang sedang membawa bekal makan siang. Dean menatap sinis Zen yang masih berdiri di luar pintu untuk menunggu Dean keluar, Dean berbelok arah dan memutuskan pergi ke ruang klubnya. "Hai Beb!" seru Zen sambil tersenyum manis pada Ardio. Zen mendekatkan sedikit kepalanya ke arah Ardio "Hei! Ayo bersikap romantis! Orang-orang pada ngeliatin kita loh," bisik Zen pada Ardio, tersenyum tipis. "Iya iya!" angguk Ardio berbisik pada Zen. "Ya udah Beb kita ke atap yuk!" ajak Ardio pada Zen. Zen langsung tersenyum lebar, mengiyakan ajakan Ardio. Semua murid yang ada di kelas IPS 2 terdiam menatap tingkah kedua pasangan itu, terlebih para penggemar Zen yang sudah mengikuti Zen sejak keluar kelasnya tadi. "Zen! Kamu seriusan pacaran sama nih cowok?" tanya salah seorang penggemar Zen. Zen tersenyum tipis sambil menganggukkan kepalanya, "Iya kok" Bagai disambar petir, semua murid yang ada di sana masih terkejut kembali walau sudah mengetahui hal itu, tapi tetap mereka masih belum bisa menerima kenyataan yang ada.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN