Terpaan angin dari ketinggian 10 meter di atap sekolah itu cukup jadi sedikit pereda kehangatan matahari yang terik walau baru jam 10 pagi.
"Lo bawa bekal sendiri?" tanya Ardio pada Zen.
Zen mengangukkan kepalanya. "Aku bakal bawa bekal tiap hari kok," jawab Zen sambil membuka tutup di kotak bekal.
"Lo gak nganggap pacaran pura-pura kita ini serius kan?" tanya Ardio memastikan.
"Gak masalah dong? Lagian ini juga bisa membuktikan keseriusan aku sama kamu, oh iya satu lagi... Kamu jangan panggil 'Lo' 'Gue' lagi dong, entar kalau ada yang dengar kita bakal ketahuan bohong," jelas Zen, cari kesempatan di tengah ketidak mau-an Ardio.
"Di sini kan gak ada orang," jawab Ardio jelas, "lagian gue udah biasa ngomong kayak gitu"
"Setidaknya kamu panggil aku Zen gitu, jangan lo gue an lah," tegas Zen tak henti-hentinya mau menyerah.
"Iya-iya Zen," ujar Ardio dengan muka malas.
Zen tertawa kecil melihat keluhan Ardio. "Ya udah Beb... Ayo makan!" ajak Zen sambil menyodorkan sendok kehadapan Ardio.
"Lah kok lo-- eh maksud gue-- eh bukan! Maksud aku kok Zen malah nyuapin aku sih?" tanya Ardio, masih merasa tak nyaman dengan panggilan baru antara dia dan Zen, sedikit malu juga karena Zen mau menyuapinya.
Wajah Zen langsung terdiam tanpa ekspresi, selang beberapa detik Zen tertawa dengan sangat keras. "HAHAHA kok lucu ya Beb kalau kamu ngomong kek gitu HAHAHA."
"Kan udah gue bilang!" seru Ardio kesal, malu.
"Hahaha iya-iya, aku cuman gak biasa aja dengar kamu manggil aku kamu," jelas Zen yanh masih mengeluarkan tawa-tawa kecilnya.
Ardio mendesis sebal melihat Zen mempertawakan dirinya.
"Tapi aku masih gak nyangka loh, aku yang kemaren baru saja kamu tolak dengan alasan yang tidak mengenakkan untukku, kini kita bisa bercanda bareng kek gini, rasanya aku ingin berterima kasih pada orang yang telah menyebarkan info itu," jelas Zen tiba-tiba, tersenyum tipis.
"Oh iya aku bolehkan manggil kamu Beb terus? Soalnya lebih mudah dan bikin aku lebih nyaman." Zen tersenyum tipis, nyaman dengan panggilan itu.
Ardio diam sejenak. "Hah... seterah lo-- eh maksudnya seterah kamu," jawab Ardio masih canggung.
ZEN tersenyum tipis melihat sikap Ardio. "Ayo buka mulutnya Beb, aku suapin kamu," ucap Zen sambil menyodorkan kembali sendok yang sudah berisi makanan itu pada Ardio.
"Gak usah, biar aku aja yang nyuapin kamu," ujar Ardio sambil merebut kotak nasi dari Zen.
"Kita beneran rasa pacaran ya? Kenapa kita gak pacaran beneran aja dulu hehe?" Zen tertawa kecil, terkesan bercanda tapi dia sebenarnya sangat serius dengan kalimatnya tadi.
"Gak akan!" tegas Ardio yang membuat Zen langsung memasang wajah cemberut.
"Ahh...." mangap Ardio sambil menyodorkan sendok yang sudah diisinya dengan bekal yang dibawa Zen, Zen pun membuka mulutnya dan melahap makanan yang disuapi oleh Ardio, menikmatinya.
***
Ruangan basket itu nampak kosong karena semua anggota klub lebih mementingkan keadaan perut mereka daripada olahraga, terlebih memang tidak ada kegiatan klub saat jam istirahat.
Dean melantunkan bola basket ke lantai berulang kali dan memasukkan bola basket dengan tepat ke ringnya, terus seperti itu sampai bermenit-menit lamanya.
Prok... prok... prok
Bunyi tepukan tangan itu memberhentikan aksi Dean, Dean langsung menoleh ke arah sumber suara.
"Benar-benar ketua tim basket perempuan ya, bahkan di jam istirahat pun masih sibuk berlatih," ucap seorang murid laki-laki yang sedang mengenakan earphone.
"Gue cuman ngilangin suntuk aja kok Kak!" jawab Dean sambil kembali ke aksinya semula.
"Owh suntuk karena apa?" tanya murid laki-laki itu kembali.
"Gak urusan lo kan kak?" tanya Dean kembali, memberhentikan permainannya dan berjalan mendekat ke arah murid laki-laki itu.
"Hahaha kek biasanya ya, lo selalu jutek gitu." Laki-laki itu tertawa sambil melepas earphone yang dikenakannya.
"Owh tumben tuh earphone dilepas? Omong-omong kenapa Kakak ke sini? Lagi suntuk juga?" tanya Dean. Duduk sambil menyenderkan punggung ke balik dinding, meletakkan bola basketnya di sebelah.
"Gue cuman pengen cari tempat yang tenang aja kok, dan kebetulan gue ke ingat sama ruang klub haha." Laki-laki itu kembali tertawa, nampak puas, ikut duduk.
"Eh Kak, apa lo pernah jatuh cinta?" tanya Dean tiba-tiba.
Alvaro Ranggana, cowok kelas 12 IPA 1 yang juga menjabat sebagai ketua tim basket laki-laki. Selain berwajah tampan dia juga terkenal akan kepintarannya dalam akademik dan kelincahannya dalam olahraga, karena itulah dia menjadi cowok paling populer di sekolah.
Wajah Alvaro memerah sejenak mendengar pertanyaan Dean, Dean yang menyadari wajah Alvaro yang tiba-tiba berubah, tertawa kecil melihat ekspresi dari seniornya itu.
"Hahaha ternyata cowok cuek kayak kakak pernah jatuh cinta juga ya? Sama siapa? Sama cewek terpopuler di sekolah ini?" tanya Dean, memaksudkan Zen sebagai cewek terpopuler di sekolah.
"Iya bisalah gue jatuh cinta, kan gue masih normal, tapi bukan sama cewek yang populer di sekolah ini!" jawab Alvaro tegas.
"Hmmm... Kalau bukan dia terus siapa? kandidat yang bisa merebut hati cowok populer kayak lo Kak kan memang hanya Zyantia cewek populer itu," heran Dean.
"Ada lah, lagian Zyantia bukan selera gue kok, gue udah kenal Zyantia dari kecil juga, jadi gue nganggap Zyantia itu sebagai adik gue sendiri," jelas Alvaro.
"Yakin tuh lo gak main perasaan sama Zyantia, Kak?" ledek Dean.
"Hahaha lo ngomong apa sih? Eh tapi suntuk
lo udah hilang nih ceritanya?" tanya Alvaro.
"Hmmm... dikit lah," Dean menempelkan ibu jarinya dan telunjuk, kemudian memberi celah sepanjang 1 milimeter.
"Emang lo suntuk kenapa sih? Karena cowok?" tanya Alvaro menebak.
"Cie... lo kepo ya Kak? Owh atau jangan-jangan cewek yang Kakak suka itu gue ya?" canda Dean.
"Benar kok," jawab Alvaro.
Dean diam sejenak, sedang mencerna jawaban Alvaro tadi. "Benar kepo?" tanya balik Dean.
Alvaro menggelengkan kepalanya. "Gak, tapi gue beneran suka sama lo," jawab Alvaro dengan ekspresi datar di wajahnya, alias tidak menampakkan ekspresi sama sekali, tapi sorot matanya terlihat yakin, bisa dipercaya.
"Hahaha lo emang paling suka bercanda ya Kak?" tawa Dean pecah, memukul-mukul bahu Alvaro saking ngakaknya.
Alvaro langsung memegangi tangan Dean, "Coba lo tatap mata gue, emang gue sedang lagi bercanda?" tanya Alvaro mendekatkan wajahnya ke wajah Dean.
Dean diam sejenak sambil menepis tangan Alvaro. "Udah dulu Kak, bel udah bunyi tuh, gue ke kelas duluan ya!" ujar Dean sambil melempar bola basket yang dibawanya tadi ke dalam kotak penyimpanan dan langsung berjalan cepat meninggalkan ruangan basket.
"Dean! Gue serius kok!" seru Alvaro sambil kembali memasang earphone nya dan ikut meninggal ruangan basket itu.
'Aduh! Tu si kak Alva beneran suka sama gue apa kagak ya!? Dia gak lagi sedang mempermainkan gue kan!? Lagian gue tau kok gue cantik, tapi kenapa dia bisa suka sama gue ya? Hah! Tadi kenapa gue tinggalin gitu aja sih! Kan bisa gue minta penjelasan lebih detail. Ah bodo lah!' bathin Dean bergemuruh, kepikiran sendiri.
Mata Dean langsung berpapasan dengan Ardio saat hendak masuk kelas. "Hei! gimana kencan lo sama pacar baru lo?" tanya Dean sambil duduk di kursinya.
"Apaan sih! Tiba-tiba lo langsung nanya gitu? Eh omong-omong lo habis dari mana? Tadi gue liat di kantin gak ada. Dan gak biasanya Lo telat masuk kelas kek gini," tanya Ardio nampak heran.
"Cie... ngepoin gue ya?" canda Dean. 'Eh kok gue ngerasa kayak de javu ya?' pikir Dean yang teralihkan karena guru sudah masuk ke dalam kelas.
oOo
Setelah semua jam pelajaran habis, murid-murid berbondong meninggalkan ruangan kelas.
"Woi Dean! Mau pulang bareng gak?" tanya Ardio.
"Dio! jangan bilang lo lupa sama ajakan gue tadi!?" kesal Dean.
Ardio terdiam sejenak. "Owh iya! Lo sekarang tanding ya? Ya udah ayo!" ajak Ardio kembali.
Dean menghela nafas lelahnya. "Awas ya kalau lo lupa lagi!" ancam Dean sambil memimpin jalan ke lapangan basket.
"Hahaha aman bosku!" jawab Ardio.
Selesai mengganti pakaiannya Dean langsung berdiri di depan lapangan dengan posisi nya yang telah di atur, ini bukan pertandingan nasional atau antar sekolah, tiap hari Selasa memang klub basket akan selalu bertanding antara klub basket cewek dengan klub basket cowok.
Mata Dean tanpa sengaja berpapasan dengan Alvaro, Dean menyunggingkan senyumannya tanpa menghiraukan kejadian di jam istirahat tadi. Seketika wajah Alvaro jadi memerah membuat Dean hampir tertawa saat pertandingan telah berlangsung.
Dengan langkah kakinya dan posisi tangan yang selalu membelit-belit membuat tim basket cowok kesulitan untuk merebut kembali bola dari tangan Dean.
Tak pantang kalah dengan ketuanya, anggota tim basket cewek yang lainnya juga menunggu operan bola dari Dean dengan serius.
Babak pertama berhasil dimenangkan oleh tim basket cewek, samar-samar Dean mendengar banyak bisikan dari anggota timnya.
"Eh kok kak Alva gak kek biasanya ya?" tanya salah seorang anggota tim basket cewek.
"Iya tuh... Kak Alva sedang ada masalah ya? Kok dari tadi dia berdiri terus tanpa ikut main?" tanya cewek yang lainnya.
"Dean!" panggil salah seorang anggota lainnya.
Dean menoleh ke arah sumber suara, "Apa?"
"Tanyain gih ke kak Alva, dia lagi apa kok sampai gak semangat gitu?" suruh salah seorang anggota tim basket cewek itu
"Enggak ah! Kalian aja deh! Ogah gue!" jawab Dean ketus, tak peduli.
"Ih kok lo gitu sih, sebagai ketua lo harus sportif dong! Kita gak boleh menang dengan mudah begitu aja kalau kak Alva gak main!" seru cewek tadi, menggerutu.
Dean menghela panjang nafasnya. "Hah... iya deh! Ini lo pegang, gue di babak kedua gak bisa main mau pulang! Capek! Kalian yang semangat ya! entar gue tanyain dulu," jelas Dean sambil melemparkan handuk kecilnya ke salah seorang anggota.
"Eh main lagi dong di babak dua!" seru salah seorang anggota lainnya, memasang wajah kecewa.
"Gak! Males!" jawab Dean sambil berjalan ke arah tim basket cowok.
"Kak! Bisa ngobrol sebentar?" tanya Dean.
Alvaro diam sejenak menatap heran Dean, "Owh ok," jawabnya sambil beranjak dari duduknya.
"Kak! Kok lo kayak gak ada semangat main gitu sih? Tuh anak-anak cewek pada nanyain lo ada masalah apa! Biasanya Lo tuh yang paling posesif sama bola!" gerutu Dean nampak kesal karena harus disuruh anggota timnya menanyai ini.
"Hahaha gue lagi malas aja kok, omong-omong jawaban dari pertanyaan gue tadi apa?" tanya Alvaro.
"Eh!? Jadi lo emang sedang gak bohong!?" kaget Dean.
"Eh!? Kok Lo malah ngira gue bohong sih!?" Alvaro ikut kaget juga.
"Ya iyalah, masa cowok kayak lo bisa suka sama gue!? Alasannya apaan coba!? Jangan bilang lo cinta sama gue tanpa alasan ya!" tegas Dean.
"Sebelum itu lo jawab dulu dong perasaan lo ke gue kayak apa," jelas Ardio.
"Hmmm... perasaan gue ke kakak? Kek apa ya... hahaha gak ada!" tawa Dean menggema puas.
"Hah!? Lo gak suka sama gue!?" Alvaro kembali kaget, kepercayaan dirinya serasa punah.
Dean mengangguk mengiyakan, "Lah emang kenapa? Harus gituh gue suka sama lo Kak?" tanya balik Dean.
"Siapa cowok yang lo suka?" tanya Alvaro.
"Ih... kepo amat deh! Jadi apa alasan kakak suka sama gue?" tanya Dean.
"Gak bakal gue jawab!" tegas Alvaro karena cintanya di tolak mentah-mentah.
"Ya udah! Anggap aja tadi gue gak nanya! Gue pulang dulu, bye!" ujar Dean sambil berbalik dan melangkah pergi, benar-benar tak peduli.
Dean berjalan kembali melewati tempat nongkrong tim basket cewek. "Kak Alva ternyata lagi galau mikirin cewek guys!" sorak Dean sambil berlari kecil ke ruang ganti tanpa menghiraukan ekspresi anak-anak cewek.
"Ha!? Seriusan lo De!?" sorak salah seorang tim basket.
"Iya!" teriak Dean.
Setelah menganti pakaiannya kembali Dean langsung berjalan menuju kursi penonton, "Yuk Dio!" ajak Dean.
"Pulang?" tanya Ardio.
"Gak! Makan! Ya iyalah pulang emang mau apa lagi!?" kesal Dean.
"Lah...? Lo beneran emang lagi PMS ya De?" tanya Ardio.
"Apaan sih!" seru Dean.
"Omong-omong kenapa lo gak ikut tanding babak 2?" tanya Ardio heran.
"Malas gue!" jawab Dean.
'Ya Tuhan! Ni cowok gak peka banget sih!' bathin Dean kesal.
Mereka pulang dengan naik trans yang selalu berhenti di tiap halte, kebetulan semua kursi sudah penuh, terpaksa Ardio dan Dean harus berdiri.
Di perhentian halte berikutnya seorang bapak tua masuk, dia memilih berdiri di belakang Dean walau sudah disuruh oleh kondektur untuk duduk di kursi yang penumpang nya memilih mengalah agar bapak tua itu duduk, namun bapak tua itu tidak menghiraukan hal itu dan memilih untuk berdiri.
Saat hendak dalam guncangan karena ada polisi tidur, bapak tua itu malah mencari kesempatan untuk meraba tubuh Dean, Ardio segera menyadari tingkah bapak itu dan menyalip tepat di belakang Dean kini.
Dean yang menyadari tindakan Ardio langsung deg-degan.
"Maaf," bisik Ardio pelan.
Dean tersenyum tipis pada Ardio, "Terimakasih"
Bapak tua itu terdengar mendesis sebal dan langsung memilih untuk duduk di kursi penumpang untuk lansia yang sudah disediakan.
Di pemberhentian halte berikutnya Ardio dan Dean langsung turun, karena itu tempat pemberhentian mereka menuju rumah masing-masing.
Ardio dan Dean bersamanya menghela panjang nafasnya setelah turun dari Trans.
"Gak nyangka gue si bapak tua itu kerjaannya najis gitu! Udah tua gak sadar umur bangk* dah!" ucap Ardio nampak kesal.
"Hahaha tapi terimakasih loh lo udah lindungi gue, gak nyangka gue lo bisa gentle gitu," tawa Dean.
"Lah!? Lo kira gue banci apa!?" kesal Ardio.
Mereka terus melanjutkan perjalan ke rumah dengan berjalan kaki sambil terus melempar ocehan.
"Tapi serius loh, tadi gue udah mau nendang s**********n tuh si akik-akik, cuman karena sempit aja gue gak bisa layangin kaki gitu aja," jelas Dean, menggerutu.
"Lain kali kalau ketemu sama bapak tua itu bakal gue tonjok tuh!" ujar Ardio masih kesal, tak mau teman masa kecilnya sekaligus sahabat terbaiknya itu dilecehkan.
"Lagian kok lo yang kesal sih? Hahaha kan gue yang korbannya," tanya Dean heran.
"Iya kesal lah! Masa dia melakukan pelecehan sama gadis di bawah umur!? Di dalam trans lagi? Dan terlebih dia berani ngelakuin hal itu sama Lo!?" kesal Ardio.
Wajah Dean tiba-tiba memerah mendengar ucapan Ardio. "Omong-omong di mata lo gue ini apa sih?" tanya Dean tiba-tiba.