Bab 6

2205 Kata
Ardio diam sejenak. "Lo? Di mata gue? Hmm... lo di mata gue iya Dean lah, emang siapa lagi?" Ardio mentelengkan kepalanya, bingung dengan pertanyaan aneh Dean. "Maksud gue tuh, menurut lo gue ini apa? Gue juga tau kali kalo gue ini Dean!" tanggap Dean ngengas. "Sahabat gue yang udah gue anggap kayak kakak sendiri?" tanya Ardio. Dean hampir merasa keselek mendengar jawaban Ardio, "Kakak!? Hmm... Gue emang pantas jadi sosok kakak sih, eh tapi bukan itu Dio! Maksud gue tuh lo gak ada anggapan atau perasaan lain pada gue gitu?" tanya Dean. "Gak, itu aja," jawab Ardio cuek, "owh ya De, entar ke rumah gue dulu ya! Baru ke rumah lo gue mau main piano," jelas Ardio. "Seterah lo dah!" seru Dean masih kesal. Selesai balik dari rumah Ardio mereka langsung ke rumah besar yang ada di sebelah yang tidak lain adalah rumah Dean. Dean langsung menuju kamarnya tanpa menemani Ardio ke ruang piano. "Gue ke kamar dulu! Mau bobok cantik!" ujar Dean. "Tumben lo gak ganggu gue main?" tanya Ardio heran. "Bodo!" seru Dean cuek. "Lo emang benar lagi PMS ya?" tanya Ardio kembali, memasang wajah polosnya. "Apaan sih! Lo mau selai sama rotinya?" Dean mencibir, langsung melangkah ke kamarnya. "Idih! Amit-amit!" Ardio menggeleng-gelengkan kepalanya, memasang wajah jijik. Ardio lanjut melangkah ke lantai dua ruangan piano, jari-jari tangannya sudah gatal-gatal untuk main piano. Selain suka membuat puisi, Ardio juga menyukai bermain piano, karena suara piano yang merdu menenangkan perasaan dan pikirannya. *** Zen menghempaskan tubuhnya ke kasur sambil memandangi langit-langit kamarnya. "Fyuuh... hari ini cepat banget rasanya," gumam Zen sambil beranjak dari kasurnya karena mendengar dering HP yang ada di atas meja. "Halo Kak!" sapa Zen di balik telpon. "Ha!? Dipercepat? Seriusan kak?" Zen tiba-tiba kaget mendengar ucapan dari balik telponnya. "Owh ya udah deh, entar aku bilangin sama mama dan papa, ok." Zen mematikan telponnya dan menatap lama layar HP sambil menghela nafas panjang, raut mata Zen nampak menunjukkan rasa lelah dan sedih yang entah kenapa alasannya tidak ada yang tau. Layar HP nya Zen yang tadi gelap kini sudah bercahaya kembali, tertulis nama Beb Ardio di layar HP nya sedang menghubungi, saat hendak menekan tombol hijau tiba-tiba saja layar HP Zen kembali gelap. "Eh kenapa nih!? Ya Tuhan kok malah lowbet di waktu penting kek gini sih!" Zen mendesis kesal sambil mencolokkan charger ke HP nya dan kembali menghempaskan tubuhnya ke kasur, menutup mata dengan lengan tangan bawah. *** "Lah kok tiba-tiba gak bisa dihubungi lagi sih? Ya udah deh besok aja di sekolah gue telepon," gumam Ardio sambil menekan perlahan tuts piano yang ada dihadapannya. Tadi Ardio berencana membuat Zen mendengar musik yang sedang dimainkannya. *** Pagi kembali menyambut kisah mereka secepat ini, Zen alias Zyantia siswi terpopuler di sekolah yang bak idol ini masih saja menjadi sorotan mata semua murid walau kabar nya dia telah berpacaran. Zen terus melangkah ke kelas sambil menyapa dengan senyuman ramah setiap orang yang dilewatinya. Selang beberapa detik sorotan mata kini kembali tertuju pada seorang cowok terpopuler di sekolah ini, gayanya yang keren dengan earphone yang dikenakannya dan handphone yang dipengangnya di tangan menambah kesan luar biasanya di mata para gadis-gadis, siapa lagi kalau bukan Alvaro Ranggana, murid kelas 3 yang perwatakan dan penampilannya bak seorang idol yang bisa membuat para wanita-wanita menjerit histeris. Dean yang memandang fenomena dengan efek bunga-bunga itu di balik jendela kelasnya, fenomena yang sudah menjadi konsumsi sehari-hari di sekolah mereka. "Benar-benar sesuatu," gumam Dean sambil berbalik ke tempat duduknya. "De! Kak Alva kemaren benaran lagi galau karena cewek?" tanya salah seorang teman Dean yang tidak lain juga wakil ketua klub basket yang kebetulan juga sekelas dengan Dean. Masih tidak percaya dengan perkataan Dean kemarin. Dean menolehkan pandangannya pada gadis itu, kebetulan saat ini gadis itu sedang flu makanya dia mengenakan masker dan wajahnya juga sedikit memerah, namanya Rini Yulianti, dia cewek tergenit dengan tampang polos yang pernah dikenal Dean. Dia sangat mengagumi Alva dengan sangat hebat dan ketat, malah sampai rela capek-capek untuk ikut 2 ekstrakurikuler sekaligus, dari anggota basket sampai menjadi anggota cheerleaders demi menyemangati Alva bermain setiap saat, tapi anehnya Rini ini malah selalu mendukung agar Alva bisa dekat dengan Dean. "Lo gak ada niat mengisi kegalauan hati kak Alva?" tanya Rini. "Kagaklah! Buat lo aja, kan lo biasanya juga ngembat cowok ganteng!" seru Dean tak peduli. "Hehehe gue udah punya 3 pacar, gak bisa main embat gitu aja, terlebih.. sayang banget kalau kak Alva ditigain," canda Rini. 'Bangk* nih anak!' bathin Dean kesal. "Kayak kak Alva-nya mau sama lo aja. Seterah lo dah! Gue ke toilet dulu!" Dean langsung berdiri dari duduknya, meneruskan langkah menuju toilet. "Hei Dio! Dean kenapa sih!? Kok dia marah-marah mulu?" tanya Rini pada Ardio yang sibuk dengan buku bacaanya. "Dia lagi PMS," jawab Ardio cuek, masih fokus dengan buku yang dibacanya. "Owh... Eh! Kok lo bisa tau Dean sedang PMS!? Udah kayak suaminya aja lo!" seru Rini menyelidik, menyikut-nyikut bahu Ardio, menyeringai. "Berisik ah! Sana balik ke kursi lo!" seru Ardio mulai kesal. "Ih! Salah gue apa sih!? Dari tadi di usir mulu!" cemberut Rini, melangkah menjauh dari Ardio, duduk di kursinya sendiri. "Au ah," jawab Ardio cuek. *** 11 IPA 1 'Kali ini aku harus nyerahin hadiah ini ke Ardio! Aduh... kemaren kenapa pakai acara lupa segala sih!?' bathin Zen yang sedang menepuk-nepuk ringan kepalanya sendiri karena lupa sesuatu. Bel masuk berbunyi dan proses belajar mengajar (PBM) pun dimulai. Dean masih sibuk menatap dirinya di depan kaca toilet walau dia sudah tau bel masuk telah berbunyi, saat hendak keluar dari toilet tanpa sengaja Dean berpapasan dengan Alva. Pintu masuk toilet memang dilewati oleh laki-laki dan perempuan, namun di pertengahan g**g nanti akan ada pemisahan toilet antara laki-laki dan perempuan. "Oh hai Kak, gue ke kelas duluan ya! Udah bunyi bel nih!" sapa Dean lalu pamit pergi. Alva cepat menangkap tangan Dean dan memojokkan Dean di tepi dinding yang gangnya sempit itu. Dean mengernyitkan keningnya mendapati tingkah Alva, kakak kelasnya itu, "Ada apaan sih kak!?" kesal Dean yang dari kemaren mood nya memang sudah tidak baik. "Dari selaman gue pikir-pikir sepertinya lo memang sengaja jauhin gue ya? Gue tanya sekali lagi, apa lo benar gak ada perasaan sama gue?" tanya Alva sambil mendekatkan wajahnya ke wajah Dean, menatap fokus mata Dean. Dean langsung menepis lengan Alvaro dan menyingkirkan nya dengan cepat, "Kak! Dengan ucapan gue ini dengan baik-baik! Gue... Dean Ranita Putri sama sekali gak ada perasaan sama lo Alvaro Ranggana, titik! Gak pakai koma. Paham!?" tegas Dean. "Tolong jujur sama gue, apa ada orang yang lo suka?" tanya Alva. "Ada! Dan itu bukan lo. Bye!" pamit Dean langsung pergi. "Dean! Gue pastikan gue Alvaro Ranggana akan membuat lo Dean Ranita Putri jatuh hati sama gue! Sebelum kelulusan gue di sekolah ini!" seru Alva dengan lantang. "Terserah lo dah kak," jawab Dean cuek. "Ok! Bakal gue pastikan!" seru Alva sekali lagi, berapi-api penuh semangat, nampak amat meyakinkan. oOo Kantin nampak sudah ramai karena jam istirahat, Ardio yang sudah membuat kesepakatan dalam pacaran pura-puranya dengan Zen untuk selalu bersama saat jam istirahat sampai rumor tentang mereka dianggap tidak penting lagi. Ardio terus menoleh ke arah pintu namun tidak kunjung mendapati sosok Zen yang datang seperti biasanya. Ardio berdiri dari duduknya dan bergegas keluar ruangan kelas. "Kemana?" tanya Dean yang sedari tadi juga tidak kunjung keluar kelas. "Tempat Zen," jawab Ardio. "Owh," angguk Dean sambil kembali menatap halaman samping sekolah dari balik kaca jendela. Ardio terus melanjutkan perjalannya ke kelas Zen. 'Tu cewek kenapa sih!? Tumben gak datang, jangan bilang dia sama temannya!? ' pikir Ardio, heran kenapa Zen tidak datang duluan ke kelasnya seperti biasa. *** Dean terus menatap pemandangan sepi dari balik kaca jendela itu, tiba-tiba mata Dean jadi terfokuskan melihat fenomana yang cukup langka bagi dirinya itu. Alva dan seorang gadis yang tidak dikenalnya kini saling berhadapan di halaman samping sekolah yang selalu kosong. "Owh... lagi ditembak cewek nih ceritanya? Hahaha baru kemaren nyatain perasaan ke gue, sekarang ditembak gadis imut," gumam Dean sambil terus menyaksikan kejadian itu. Selang beberapa menit nampak raut wajah gadis itu nampak kecewa dan sedih, lalu beberapa saat kemudian dia kembali tersenyum dan berlari meninggalkan Alva. "Eh!? Ditolak!? Olaaah padahal ceweknya imut-imut gitu loh?" kaget Dean. Dean langsung refleks menyembunyikan wajahnya saat Alva menengadahkan kepalanya ke kelas Dean. "Waduh! dia liat kagak ya? Eh kok gue ngumpet segala sih? Udah kayak penguntit aja," gumam Dean sambil kembali memunculkan kepalanya dari balik jendela. Alva melambaikan tangannya pada Dean sambil tersenyum lebar menatap Dean. 'Aduh dia beneran liat ternyata' bathin Dean sambil membalas lambaian tangan Alvaro, tersenyum canggung. *** Ardio menengok Zen dari balik kaca kelasnya, Zen masih sibuk dengan bukunya di dalam kelas seorang diri. "Hei!" sapa Ardio. "Owh... maaf Ardio, aku gak sempat ngabarin kamu kalau aku gak bisa ikut istirahat hari ini, owh iya kok kamu mau datang kesini sih? Biasanya kan ogah?" tanya Zen nampak heran. 'Eh!? Iya ya? Kok gue mau aja datang kesini sih?' pikir Ardio, baru sadar. "Gue penasaran aja lo sedang apa, omong-omong lo lagi bikin apa sampai gak bisa ikut istirahat?" tanya Ardio sambil menggeserkan buku yang ada di atas meja Zen ke arahnya. "Owh tugas pidato?" tanya Ardio diangguki oleh Zen. "Karena besok hari ulang tahun sekolah kita, aku ditugaskan untuk menyampaikan pidato sebagai perwakilan murid kelas 2," jelas Zen. "Jadi tiap tingkat akan menyampaikan pidato mereka?" tanya Ardio kembali diangguki oleh Zen. "Oh iya kebetulan kamu ada di sini, ini aku mau ngasih sesuatu untuk kamu," ucap Zen sambil mengeluarkan bungkusan kado yang ada di dalam tas hijaunya. "Eh apa ini? Gue kan gak lagi ulang tahun?" tanya Ardio nampak heran. "Hahaha cuman hadiah kecil dari aku kok, karena kamu sudah mau membantuku," ucap Zen. "Membantu?" heran Ardio. "Hehehe rahasia, udah sana kembali ke kelasmu, bentar lagi bel bakal bunyi loh," jelas Zen, mengingat. "Kalau gitu ini," ujar Ardio sambil menyodorkan mini book pada Zen. "Ini apa?" heran Zen menatap mini book pemberian Ardio.. "Ini isinya kumpulan puisi yang gue bikin. Nanti gue kirim deh rekaman gue main piano sambil baca puisi itu, kemaren lo gak bisa dihubungin, jadi ini gue kasih ke lo, semangat ya untuk pidatonya. Ya udah gue pergi dulu!" pamit Ardio sambil melambaikan tangannya dari belakang pada Zen. "Ah iya kemarin ponselku lowbat, jadi gak bisa ngangkat telepon kamu," jelas Zen, memasang ekspresi muka bersalah. "Tapi... Ardio! terima kasih ya!" seru Zen dengan senyuman lebarnya yang nampak bersinar di mata Ardio. Ardio terbelalak kaget melihat ekspresi wajah dan senyuman Zen, Ardio mengerutkan keningnya sambil tersenyum tipis pada Zyantia. 'Ah! Ternyata memang tidak bisa lama-lama!' bathin Ardio seakan berteriak. oOo 11 IPS 2 Guru jurusan masuk ke dalam kelas dengan postur tubuhnya yang berdiri tegak dan kekar, dia terus melangkah sampai ke meja guru. "Selamat siang anak-anak! Menyangkut ujian awal semester akan dimulai, maka Bapak berharap kalian bisa melakukan pembelajaran dengan lebih serius lagi!" seru guru tersebut. "Baik Pak!" jawab anak-anak dengan semangat. "Untuk kamu Dean! Jangan keseringan main basket! Saya perhatikan nilai kamu semakin lama semakin menurun, di pertandingkan basket untuk minggu besok kamu tidak saya izinkan main kecuali nilaimu naik!" Guru tersebut mengingat Dean. "Eh?! Tap--" "Tidak ada tapi-tapian Dean! Kamu akan naik kelas 3 sebentar lagi, jadi tidak untuk Dean saja! Untuk semuanya ini juga berlaku!" tegas pak guru. Semua murid kembali menjawab, "Baik Pak!" dengan lantang. Wajah Dean nampak jelas depresi berat. 'Aduh! Gimana nih!? Itukan juga pertandingan terakhir gue! Haaah... yang bisa dimintai tolong belajar gak ada juga lagi, Dio juga gak bisa diandelin!' pikir Dean yang lagi kacau. Setelah jam pelajaran berakhir dan bel pulang sudah berbunyi, murid-murid keluar kelas satu persatu. "Hei De! Jadi gimana sama pertandingan kita? Lo tau kan itu pertandingan terakhir untuk angkatan kita?" tanya Rini sambil melempar tasnya ke atas meja Dean agar menimbulkan kesan dramatis. "Ah! s**l! Lo kira sekarang gue gak lagi mikirin itu!? Aduh! Gimana ya?" tanya balik Dean pada Rini. "De... Lo masih ada acara setelah pulang ini? kalau ada gue balik duluan ya, tapi kalau sebenar aja bakal gue tungguin kok, gue juga gak bisa bantu lo belajar, lo tau sendirilah nilai gue kayak gimana?" jelas Ardio. "Iya iya! Gue juga gak mintak bantuan lo kok, entar malah makin turun nilai gue, lo pulang duluan aja deh Dio, kayaknya gue gak ada mood untuk pulang nih," jelas Dean. "Yakin? Kalau gitu gue duluan ya. Dah!" pamit Ardio. "Lo yakin ngusir dia? Bukannya sekarang lo lagi butuh-butuhnya sosok sahabat masa kecil lo itu?" tanya Rini meledek. Dean mengernyitkan keningnya ke Rini. "Jangan ngaco deh lo!" kesal Dean. "Lah...? Gue tau kok lo suka sama Dio kan? Hahaha tiap belajar aja yang lo tatap bukan papan tulis, tapi wajah si Dio tuh," ejek Rini. "Mending lo minggat juga deh Rin!" usir Dean. "Lah... Gue kan mau ngajak ke lapangan bareng," jawab Rini. "Gue lagi gak ada mood buat latihan, silahkan lo ambil alih pimpinan!" seru Dean. "Eh kok git-- Oh iya udah deh! Lo ketuanya! Gue pergi duluan ya! Semangat hehe!" seru Rini sambil mengambil tasnya kembali dan bergegas cepat meninggalkan ruangan kelas. "Napa sih tuh anak, kayak dikejar jin iprit aja," gumam Dean. "Hei! Siapa yang lagi dikejar jin iprit?" tanya suara laki-laki itu. Dean tersentak kaget melihat laki-laki yang kini duduk dihadapannya. "Ada apa!?" bentak Dean masih kesal. "Hahaha kayak biasanya ya? Lo ngengas mulu," canda laki-laki itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN