Bab 7

2292 Kata
Ruangan kelas yang kini hanya tersisa 2 oranh anak manusia itu kini sedikit lengang. "Apa sih Kak!?" kesal Dean menyeru. "Omong-omong kenapa ditolak cewek cantik tadi?" tanya Dean pada laki-laki tadi yang tidak lain adalah Alva. "Hahaha kan gue udah bilang gue sukanya sama lo," jawab Alva santai. Dean menghela panjang nafasnya, "Tapi gue tidak," jawab Dean sambil berdiri dari duduknya dan langsung menyandang tas, menatap Alva tajam. "Moodnya udah baik?" tanya Alva, menyunggingkan bibirnya, tersenyum tipis. "Makin buruk!" jawab Dean sambil beranjak pergi dari kelasnya meninggalkan Alva sendirian kini. Saat di depan pintu Dean berpapasan dengan Zen yang sedang membawa banyak buku tebal di tangannya, Dean tidak menghiraukan Zen dan terus melangkah ke ruangan basket. "Mau aku bantu?" Nada suara yang ada dibelakangnya itu membuat Dean menolehkan kepalanya kembali ke belakang. "Hah katanya suka sama gue, tapi masih aja gangguin cewek populer di sini, udah punya pacar tuh lagi cewek. Eh tadi gue gak salah dengarkan? Kak Alva manggil 'aku'? Yah... bodo amatlah, toh gak urusan gue," gumam Dean sambil melanjutkan langkahnya. *** "Kamu beneran memang pacaran sama anak kelas tadi?" tanya Alva pada Zen. Zen menganggukkan kepalanya. "Ada masalah Kak?" tanya Zen langsung digelengkan oleh Alva, tidak ada masalah. "Oh omong-omong kenapa Kakak ada di kelas tadi? Cariin siapa?" tanya Zyantia penasaran. "Teman," jawab Alva, "oh iya, bagaimana kondisimu?" tanya Alva. Zen menggelengkan kepalanya. "Kata Kak Qirhan, paling cepatnya minggu depan aku akan operasi," jawab Zen, menghela nafas dengan raut muka yang langsung berubah sedih. "Hah!? Berapa persentase keberhasilannya?" tanya Alva kembali, nampak cukup kaget. "20%" jawab Zen, menggeleng-gelengkan kepalanya karena kemungkinan berhasil dari operasi yang mereka bicarakan itu tipis. "Kamu yakin bakal melakukannya?" tanya Alva khawatir. Zen kembali menganggukkan kepalanya. "Lebih baik aku lakukan bukan? Daripada tidak sama sekali Kak," jawab Zyantia. "Jadi kamu tidak akan mengikuti ujian semester?" tanya Alvaro digelengkan oleh Zen. "Pacarmu tau?" tanya Alva kembali digelengkan oleh Zen. "Dan kamu akan membiarkan dia tidak tau untuk selamanya? Apa sih yang menyebabkan kamu bisa pacaran sama dia? Aku dengar kamu yang menembak dia? Apa yang membuat kamu bisa tertarik sama dia?" tanya Alvaro kembali, benar-benar bingung. Zen hanya diam tidak menjawa pertanyaan Alva, mereka sampai di perpustakaan dan Zen meletakkan kembali buku yang dibawanya dari tadi ketempatnya semula. "Terima kasih telah Zen Kak, aku duluan ya," pamit Zyantia sambil tersenyum tipis pada Alva, langsung bergegas meninggalkan perpustakaan itu. "Zen! Mohon kerjasamanya untuk pidato besok!" seru Alva menyorak di perusahaan yang kebetulan tidak ramai. Penjaga perpustakaan melotot kesal, sampai akhirnya kembali fokus pada buku yang ada di hadapannya. Zen menganggukkan kepalanya dan kembali tersenyum tipis. *** "Lah? Kak Alva-nya kemana?" tanya Rini sambil menengadah kiri kanan, melihat Dean seorang diri. "Lagi sama cewek," jawab Dean cuek, Dean melempar tasnya dan merebut bola basket yang ada di tangan Rini. "Lah kok lo biarin aja sih?" tanya Rini nampak kesal. "Lah emang hubungannya sama gue apa?" tanya Dean sambil memasukkan bola ke dalam ring basket dan kembali berlari kecil sambil mengiring bola yang dipantulkan nya. "De! Lo jangan menyia-nyiakan emas demi samp-- maksud gue jangan sia-siakan Kak Alva yang sempurna itu demi Ardio dong! Lo tau kan kak Alva suka sama lo!? Dan Lo tau sendirikan bahwa Dio udah pacaran sama Zen!?" seru Rini. "Hei! Gue bilangin ya Rin! Jangan mentang-mentang karena kita deket lo jadi bisa seenaknya ngomong gitu ke gue! dan apa maksud lo tadi bilang Ardio sampah ha!? Di mata gue lo lebih sampah daripada Ardio! Dan satu lagi, sampai kapanpun gue gak yakin Ardio dan cewek itu pacaran! Bye!" seru Dean melotot sempurna ke depan wajah Rini, Dean kembali menggambil tasnya dan pergi meninggalkan ruangan basket itu, ditatap heran oleh anggota basket lainnya. "De--" "Untuk beberapa hari ini jangan berbicara sama gue! Dan satu lagi, gue kayaknya gak ikut pertandingan basket untuk minggu besok, semuanya gue serahkan ke lo... wakil ketua!" ujar Dean lalu melangkahkan kakinya dengan cepat meninggalkan ruangan bakset itu. Rini terdiam mendengar ucapan Dean tadi, seakan tubuhnya mematung. "Gue gak salah ngomong kan?" gumam Rini sambil terus melantunkan bola basket yang ada di sebelahnya. "Rin! Dean kenapa kesel banget tadi? Ada apa?" tanya Alva yang tiba-tiba berdiri di hadapan Rini. "Eh Kak Alva! Hahaha enggak ada apa-apa kok," jawab Rini sambil tertawa cengengesan. "Gak usah menghelakkan fakta Rin, jadi ada apa dengan Dean? Hari ini kayaknya moodnya hancur banget," tanya Alva penasaran. "Hah... gini kak, Kakak tau sendirikan bahwa nilainya Dean belakangan ini jadi menurun karena fokus sama klub basket, jadi guru jurusan kami meminta Dean untuk berhenti dulu dari klub dan fokus pada nilainya agar bisa naik kelas, jadi jika nilai Dean masih tidak ada kemajuan maka untuk pertandingan minggu depan Dean gak akan bisa ikut," jelas Rini, menutupi fakta bahwa mood Dean semakin buruk karenanya. "Tapi bukan itu kan yang membuat moodnya semakin hancur? Tolong Rin... katakan ke gue apa yang sebenarnya dialami Dean!" seru Alva memelas. Rini menghela nafas setelah melihat tatapan kesungguh ingin tau-an Alba. "Kakak janji jangan bilangin ke Dean kalau ini dari gue ya?" ujar Rini diangguki oleh Alvaro. "Gue tau Dean dari dulu Kak, dia pastinya akan tetap menyeimbangkan pelajaran dan basket. Tapi semenjak Ardio sahabat sekaligus tetangga Dean pacaran dengan Zen, belakangan Dean jadi malas belajar, di kelas dia hanya terus menatap Ardio, sadar atau tidak apa yang dilakukannya gue pun gak tau kak, dalam minggu ini nilai Dean langsung merosot jatuh, jadi sejak gue tau kalau Kakak menyukai Dean, gue pikir dengan gue mendukung hubungan kalian, maka Dean bisa melupakan Ardio... Tapi parahnya malah gue yang kena semprot," keluh Rini sambil membuang panjang nafasnya. "Dean suka sama cowok bernama Ardio itu?" tanya Alva memastikan. "Iya Kak, Jadi kalau bisa... Sebelum janur kuning melengkung masih ada kesempatan untuk Kakak menikung. Gue harap kakak bisa membuat Dean melupakan perasaannya pada Ardio, dan fokus pada dirinya sendiri," pinta Rini. "Hahaha perumpamaan lo cukup jelek ya," ledek Alvaro. "Eh!?" kaget Rini. "Cinta Dean kan cuman sepihak, jadi belum tentu janur kuning mereka bakal ada," canda Alva, tertawa kecil. "Eh... ? Iya ya?" heran Rini nampak bingung sendiri dengan ucapannya. "Ya udah Rin, thanks atas infonya!" ucap Alva sambil meninggalkan ruangan basket, melambai tangan dari belakang pada Rini. "Padahal perumpamaan itu gue siapin untuk Dean, tapi gapapa lah, toh sama aja kalau untuk kak Alva mah," gumam Rini sambil kembali bermain basket, menyoraki teman-temannya di lapangan sebelah untuk segera berlatih tanding di ruangan itu. *** Dean menghempaskan tubuhnya ke kasur sambil memandangi langit-langit kamarnya. "Hah... gini bener hidup gue," gumam Dean sambil kembali beranjak dari ranjangnya dan membuka buku pelajaran. oOo Dean diam sejenak sambil menatap luar dari luar jendela kamarnya rumah Ardio. Dean langsung turun ke lantai bawah sambil membungkus baju-baju dan bukunya ke dalam tas. "Ma! Dean minggu ini nginap rumah teman ya!" sorak Dean. "Eh nginap di rumah siapa nak?" tanya mama Dean. Dean kembali diam. 'Waduh! Gue nginap di rumah siapa ya? Teman deket gue cuman Rini lagi, gue sendiri yang bilang sama Rini kalau jangan ngobrol sama gue dulu, masa gue makan perkataan gue sendiri!? Nebeng tempat adik kelas di klub gak mungkin dong, Ya udahlah intinya keluar dulu! Gue harus tebal muka nih sama Rini!' bathin Dean. "Di rumah Rini Ma!" ujar Dean, langsung keluar dari rumah. oOo Setelah mobil online yang dipesannya telah sampai ke di depan rumah saat Dean sudah menginjakkan kakinya keluar dari teras, Dean langsung masuk ke dalam mobil. "Sesuai maps Kak?" tanya abang-abang supir mobil online itu. "Iya Mas," jawab Dean, lalu mengeluarkan ponselnya dari dalam tas. Mobil terus melaju dengan cepat menjauhi rumah Dean sampai ke depan gerbang sebuah rumah berwarna kuning yang ada di pertigaan itu. "Ini Mas," ujar Dean sambil menyodorkan lembaran uang 20.000 rupiah dan 10.000 rupiah. "Jangan lupa bintang 5 nya ya Kak," ucap abang-abang sopir tadi, tersenyum tipis. "Siap Mas!" jawab Dean sambil menyunggingkan bibirnya, balas tersenyum. Mobil online tadi pergi meninggalkan Dean yang kini berdiri di depan gerbang rumah berwarna kuning itu, rumah Rini. "Eh? Dean?" tanya suara seorang gadis yang membuat Dean tersentak kaget. "Oh hai Rin! Gue mau minta maaf! Maaf perkataan lancang gue tadi! Gue gak ada maksud ngatain lo kek gituh," ujar Dean sambil membungkukkan tubuhnya berulang kali dihadapan Rini, menyesal. "Hahaha santai aja kali, kayak sama siapa aja lo, lagian emang gue duluan yang mulai kok, gue juga minta maaf ya udah ngejelekin Ardio dan memaksakan kehendak gue sama lo, ya udah ayo masuk! Lo mau nginapkan?" tanya Rini sambil menyunggingkan senyumannya. "Aduh! Lo benar-benar teman terbaik gue Rin! Terima kasih!" seru Dean sambil memeluk erat Rini. "Iya! Gue tau gue baik kok! Udah jangan peluk-peluk ah! Entar dikira gue lesbi lagi!" seru Rini nampak kesal. "Hehehe gue nginap seminggu ya," ucap Dean sambil tertawa cengengesan. "Anda ratunya tuan putri," jawab Rini sambil membuka pagar rumahnya. Dean mengikuti langkah Rini masuk ke dalam rumah sampai kamarnya. "Bokap sama nyokap lo pulang malam?" tanya Dean. "Gak bokap sama nyokap kemaren baru terbang ke luar negri, katanya pulang minggu depan," jawab Rini. "Owh Kakak lo mana?" tanya Dean kembali. "Palingan lagi molor di kamar," jawab Rini cuek sambil mengeluarkan buku-buku yang ada di dalam tasnya dan ditarok di atas meja belajar. "Kayak biasanya ya Rin, lo rapi mulu" ucap Dean. "Gue gak suka aja liat barang berantakan, lo kan tau sendiri kalau kebersihan itu sebagian dari iman," jelas Rini. "Halah! Kek orang bener aja lo!" ledek Dean. "Hahaha emang gue orang bener," jawab Rini menyombong. "Jadi apa alasan lo gak mau di rumah? Takut liat Dio? Lo masih gak bisa move on sama orang yang udah punya pacar itu? Malah pacarnya lebih cantik dan lebih pintar dari lo lagi, gak mungkin deh Dio bakal ngelirik lo," canda Rini. "Apaan sih lo! Gue tabok juga nih!" kesal Dean. "Hahaha gue bercanda doang kok," jawab Rini. "Gue gak tau sama perasaan gue sendiri Rin, di satu sisi gue sangat suka sama Ardio, gue udah tahan-tahan tuh rasa cemburu saat Dio lebih mentingin berduaan dengan tuh cewek daripada gue yang udah lama temanan sama dia, gue ngerasa belakangan ini Dio makin jauh dari gue," ujar Dean sambil memain-mainkan tali dari karpet Rini. "Kenapa gak lo bilang aja sama Dio tentang perasaan lo?" tanya Rini. "Lo gila apa?! Mana mungkin gue bakal ngomongin hal yang memalukan itu ke sahabat gue dari kecil sendiri!? Entar kalau gue ditolak mau dikemanain nih muka!?" seru Dean sambil menunjuk-nunjuk mukanya. "Iya muka lo tetap di kepala lah," canda Rini. "Hah... Lo anggap bercandaan mulu sih Rin, padahal gue lagi serius nih," keluh Dean. "Iya orang ko yang aneh, kak Alva jelas-jelas suka sama lo, tapi lo malah sukanya sama si Dio," jelas Rini. "Gue gak ada perasaan sama sih tu Alva, malahan tadi dia godain si cewek populer itu," sambung Dean. "Ha!? Gak salah lo kak Alva godain Zen?" kaget Rini. "Gak tuh, tadi gue liat pakai mata kepala gue sendiri, dan terlebih gue ngerasa gak cocok aja sama kak Alva," jelas Dean. "Lah emang lo ngerasa cocok sama Dio?" tanya Rini kembali. "Iya lah!" seru Dean ngengas. "Hah... Lo liat aja masa depan De, gak tau gue harus ngomong apa sama lo, intinya sekarang lo harus belajar dulu! Awas aja kalau lo gak ikut pertandingan minggu depan!" seru Rini mengingatkan, atau lebih tepatnya mengancam. *** Aula ruangan sekolah kini nampak indah karena dekorasi oleh anggota OSIS, guru-guru sudah pada duduk di kursi khusus bagian depan, sedangkan pada murid di bagian belakang. Setelah pembukaan dari ketua osis SMA Darma Nasional yang dilanjutkan oleh sambutan dari kepala sekolah dan beberapa guru-guru lainnya, kini waktunya giliran pidato oleh perwakilan murid tiap kelas. Perwakilan pertama adalah perwakilan dari kelas 10. Seorang gadis berdiri tegas di atas mimbar aula sekolah itu, raut matanya nampak tegas tanpa ada kecemasan, seperti dia hanya tengah menatap banyaknya orang di ruangan ini sebagai lautan saja yang perlu dia ratapi. Gadis kecil itu mengetuk mic-nya, mengecek apakah mic telah hidup atau belum, dia melambaikan tangannya dan memberi salam dengan lantang. "HALO SEMUANYA! SALAM HANGAT DARI SAYA NAOMI PUTRI ARDITA PERWAKILAN DARI KELAS 10! SAYA BERASAL DARI KELAS 10 IPA 1, PERTAMA SEKALI TERIMAKASIH ATAS KESEMPATAN YANG DIBERIKAN..." Sambutan dan pidato dari murid kelas 1 itu berlalu dengan lancar disoraki tepuk tangan meriah dari semua orang. Osis kembali ditempat, untuk melanjutkan penyampaian penampilan selanjutnya dari perwakilan kelas 11. Tepukan tangan kembali terdengar meriah, saat seorang siswi cantik berjalan naik ke atas mimbar, banyak sorakan heboh dari murid laki-laki yang segera ditangani oleh OSIS. "HALO SEMUANYA! SENANG DAPAT SAMBUTAN MERIAH DA..." sebelum selesai mengucapkan kata pembuka, Zen terkapar dan jatuh pingsan di atas mimbar, membuat semua orang sempat diam sejenak, tak cukup beberapa detik, mereka baru menyadari apa yang terjadi. Semua orang jadi riuh, Alva yang tadi berdiri di belakang layar untuk menunggu penampilan selanjutnya langsung menggendong Zen keluar dari panggung aula itu. "Dio! itu bukannya pacar lo!? Kok malah diam aja sih!?" tanya Rini pada Ardio yang sedari tadi masih diam dengan ekspresi yang jelas syok dari wajahnya. Dean segera beralih dari kursinya dan langsung lari cepat menuju belakang panggung tadi. Semua guru dan OSIS sibuk menghentikan murid-murid yang berdesakan ingin membantu Zen. "Ayo!" seru Rini sambil menarik tangan Ardio agar ikut melihat situasi yang ada dibelakang panggung itu. "Hei! Tetap disini!" seru salah seorang anggota OSIS. "Kak! kakak tau dia kan!? Dia pacarnya Zen loh, masa gak boleh liat keadaan pacarnya sih?!" tanya Rini dengan nada ngengas. "Hah... Baiklah, tapi jangan buat kericuhan!" tegas anggota OSIS itu. Rini mengangguk paham dan kembali menarik Ardio. "Kak!" seru Dean pada Alva yang masih mengendong Zen yang tengah pingsan, jelas sekali seragam putih yang dikenakan Alva bercampur dengan darah Zen yang keluar dari siku tangan dan kakinya. Dean menatap kaget pemandangan itu, Zen mengeluarkan banyak darah walau jatuh hanya di mimbar. "Ayo ikut gue Kak!" seru Dean panik, ingin membantu Alva, meninggalkan ruangan belakang panggung dengan cepat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN