Bab 8

2310 Kata
Dean menyingkirkan barang-barang yang bertumpukan di belakang aula panggung itu dengan kakinya sambil membantu membuka pintu keluar. "Kak! Mana kunci mobilnya!?" tanya Dean yang telah duluan sampai ke parkiran tepat di depan mobil Alva. Alvaro melempar kunci mobilnya pada Dean, Dean langsung menyambut dengan baik lemparan kunci mobil Alva. Masuk segera ke dalam mobil, duduk di kursi kemudi, melirik Alva yang sedang membopong Zen. Dean segera menanjak gas setelah Alva menutup pintu. "De! Ke rumah sakit Hati Bunga ya!" seru Alva nampak cemas dengan kondisi Zen sekarang yang masih belum sadarkan diri, sedangkan darah Zen masih bercucuran keluar. Dean melirik ke arah kotak P3K yang ada di jok depan mobil itu. "Kak! Hentikan dulu pendarahannya!" seru Dean sambil melemparkan kotak P3K itu kebelakang dengan tangannya kirinya yang tetap masih fokus menyetir. "Dean... Terima kasih," gumam Alva yang jelas kedengaran di telinga Dean. "Hahaha kayak sama siapa aja kak," jawab Dean sambil sekali-sekali melirik dari balik kaca spion depan aksi yang dilakukan Alva dalam membalut luka Zen. 'Apes! Gue gak punya SIM!' bathin Dean cemas. *** "Lah!? Dean sama kak Alva mana?!" kaget Rini yang hentakan nafasnya masih ngos-ngosan. "Woi Dio! Kok lo bengong aja sih!? Lo gak tau kemana mereka pergi? Lo gak tau sesuatu tentang pacar lo?" tanya Rini dengan sedikit mengeraskan nada suaranya pada Ardio yang nampak diam dari tadi. "Maaf Rin... Gue pulang duluan ya," ucap Ardio terdengar lirih sambil melanjutkan langkahnya lewat gedung belakang aula itu. Rini menatap kaget sekaligus heran tentang perlakuan Ardio kini, "Tu anak kenapa sih?!" gumam Rini nampak kesal. *** Dean ingin menanyai apa hubungan Alva dan Zen, namun dalam situasi seperti ini, rasanya tidak layak dan tidak tepat jika dia harus menanyakan hal itu. Dean menatap Alva yang berlari sambil menggendong Zen masuk ke dalam rumah sakit, jelas sekali wajah Alva nampak cemas, dan itu ekspresi pertama kali yang pernah dilihat Dean dari wajah senior basketnya itu. Seorang pria muda dengan seragam putih yang menunjukkan jelas bahwa dia dokter di rumah sakit itu ikut cemas setelah melihat Alva membawa Zen. Di papan namanya tertera jelas Dr. Qirhan Verila. Sepertinya dia juga berasal dari keluarga Verila, diliat dari Zen yang hanya anak tunggal kemungkinan besar dokter muda itu adalah kakak sepupu Zen. Begitulah pikiran Dean kini tentang apa yang dilihatnya kini. Zen langsung dibawa ke ruang UGD, langkah Alva terhenti tepat di depan pintu UGD, jelas sekali nafas Alva ngos-ngosan, matanya memerah seperti menahan tangis. Dean memilih duduk di kursi tunggu sebelah ruangan UGD itu, berbeda dengan Alva yang memilih menyenderkan tubuhnya di dinding rumah sakit. Alva melirik ke arah Dean yang bermenung sedari tadi seperti juga tengah memikirkan sesuatu. "De, terima kasih udah bantuin gue tadi," ucap Alva sambil duduk di sebelah Dean. "Hahaha kan udah gue bilang gak masalah, emang lo lagi kayak sama siapa aja sih," jawab Dean, tertawa kecil, kembali melamun. "Nggak De! Gue benar-benar berterima kasih, jika gak ada lo tadi, gue gak yakin bisa membawa Zen sampai di sini seorang diri dalam jangka waktu yang tepat," jelas Alva, benar-benar berterima kasih. Dean tersenyum tipis mendengar penjelasan Alva. "Omong-omong kalau gue boleh tau? Zyantia sakit apa kak? Kok jatuh dari mimbar tadi langsung berdarah gitu sih?" tanya Dean. Alvaro tadi nampak cukup kaget mendengar ucapan Dean lalu dia menghela sejenak nafasnya. "Lo ada masalah dengan Zen?" tanya Alvaro. "Eh? Maksud Kakak apaan ya?" tanya Dean nampak bingung. "Semua anak-anak di sekolah bahkan semua guru memanggil Zen dengan panggilan akrabnya, tapi baru kali ini gue dengar ada yang manggil Zen dengan Zyantia?" tanya Alvaro, sedikit tersenyum. "Lah? Orang namanya memang Zyantia kan? Emang kalau gue nyebut Zyantia berarti gue gak suka sama dia?" tanya balik Dean. "Hahaha enggak... Enggak gue gak ada maksud gitu, tapi jujur memang baru kali ini gue dengar orang manggil Zen dengan nama Zyantia," ucap Alva, mulai tertawa kecil. "Hmmm," gumam Dean menanggapi perkataan Alva. "Lo jangan bilang siapa-siapa ya?" pinta Alva diangguki oleh Dean, memastikan. "Zen itu... Mengidap leukemia masuk stadium 3," ungkap Alvaro, "sebenarnya dia akan operasi minggu depan, tapi karena situasinya sekarang, sepertinya dia akan operasi langsung hari ini," sambung Alva sedikit menunduk. Dean terdiam kaget mendengar penjelasan Alvaro, "Eh? leukimia stadium 3!?" Dean sempat tak percaya, tapi karena mendengar hal itu dari mulut Alva langsung, dan setelah melihat kondisi Zen, Dean mulai khawatir. Alva mengangguk sambil memasukkan mukanya ke dalam telepak tangannya. "Kak... Jangan bilang kalau operasi ini bisa saja berhasil atau bisa saja membua--" "Iya! Bisa membuat Zen pergi untuk selamanya, persentase keberhasilannya hanya 30%," ujar Alva menyambung kalimat yang mau disampaikan Dean. Dean terpana kaget sampai dia jadi melupakan beban pikirannya tadi, "Jadi... Lo pasti bakal terpuruk banget ya Kak?" tanya Dean. "Eh!?" Alva menatap kaget Dean sekaligus bingung. "Lo suka kan sama Zyantia?" tanya Dean. "Hahaha maksud lo apaan sih?" tanya Alvaro tertawa kecil dengan raut mata sayu. "Hah? Bukannya iya? Kok pas Zyantia pingsan tadi lo cemas banget?" tanya balik Dean. "Aduh De! Lo benar-benar lucu deh, kan udah gue bilang gue sukanya cuma ke lo doang, Zen itu mantan tunangan gue, udah gue anggap kayak adik sendiri, ya jelaslah gue cemas sama kondisinya," jelas Alva, mengelus lembut kepala Dean. "Hah? Mantan tunangan!?" kaget Dean. "Haduh... gue gak bilang ya? Jadi keluarga gue dan keluarga Zen itu udah lama temanan, karena itu kami sebagai anak-anak mereka dijodohkan sama nyokap dan bokap masing-masing, tapi karena suatu alasan keluarga gue meminta pertunangan dibatalkan." Alva kembali menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. "Alasannya?" tanya Dean penasaran. "Leukimia. Zen mengidap penyakit leukimia, keluarga gue gak ingin gue berumah tangga sama orang yang sakit parah dan gak jelas batas waktu hidupnya, hahaha gue akui itu cukup menjijikkan karena alasan itu yang membuat keluarga gue membatalkan tunangan, miris bukan? Gue tau setelah ini lo pasti juga bakal benci sama gue dan keluarga," sambung Alva, masih menutupi wajahnya. Wajah betapa dia marah dan malu akan dirinya dan keluarganya sendiri. "Gak kok, mereka melakukan hal itu kan demi kebaikan lo sendiri juga Kak, apalagi kalian masing-masing tidak punya rasa suka kan? Terlebih keluarga Zyantia sendiri mau menerima hal itu dengan baik," Dean tersenyum tipis, membuat Alva terkejut. Refleks Alva memeluk Dean. "Makasih De... Baru kali ini ada yang bilang hal kayak gitu ke gue, orang-orang memandang keluarga kami menjijikkan, tapi... Tapi gue benar-benar gak nyangka lo bisa berpikir kayak gitu, gue benar-benar gak salah jatuh cinta sama cewek kayak lo," ucap Alva terharu. "Kak... hue bukan cewek loh," ujar Dean tiba-tiba. "Ha!? Maksud lo apaan?!" kaget Alva. "Gue perempuan, bukan cewek," canda Dean. Alva menghela panjang nafasnya, sempat panik. "Hahaha pasti tadi lo jadi ilfil sama gue kan Kak?" tawa Dean puas. "Gak gue malah tambah sayang kok," jawab Alva yang langsung membuat tawa Dean terhenti, memandang aneh laki-laki yang ada di hadapannya itu, sama sekali tidak malu mengatakan kata 'sayang' "Dean? Alva?" suara serak dan basah itu mengangetkan Dean dan Alva yang masih sibuk bercanda atas nama cinta. "Pa-- Papa!? Kok bisa ada di sini!?" kaget Dean melihat lelaki paruh baya yang kini ada di hadapannya. "Owh, halo Om Ari," sapa Alva sambil menyalami lelaki yang dipanggil Dean papa tadi. Dean kaget melihat Alva mengenal papanya. "Papa kok udah kembali dari luar negri gak ngabarin Dean?" tanya Dean pada papanya penasaran. "Hahaha rencana tadi Papa mau bikin surprise, eh habis turun dari pesawat teman Papa nelpon karena anaknya masuk UGD, ya jadi sebagai sahabat, sesama orangtua, Papa ikut membesuk deh, omong-omong kenapa kalian di sini?" tanya papa Dean kembali. Seorang laki-laki paruh baya lagi dan seorang wanita dewasa berlari kecil dengan nafas ngos-ngosan menuju ruangan UGD itu. "Alva! Gimana keadaan Zen!?" tanya wanita dewasa itu pada Alva sambil menarik pelan nafasnya. Alva menggeleng. "Dokter belum keluar dari tadi, mereka bilang akan langsung melakukan operasi, Tante," jelas Alvaro. "Di mana Qirhan?" tanya lelaki paruh baya yang tadi barengan sama orang yang dipanggil Alva dengan tante. "Kak Qirhan sedang menangani kondisi Zen Om," jawab Alva. Dean menyingut sedikit lengan Alva, "Mereka siapa?" bisik Dean. "Mama sama papa-nya Zen," jawab Alva ikut berbisik. "Ari... Terima kasih telah menyempatkan datang kesini ya," ucap papa Zen sambil merangkul bahu papa Dean. "Hahaha gak masalah Niel," jawab papa Dean sambil tertawa kecil, "Semoga operasi putrimu berjalan lancar ya," sambung papa Dean diangguki oleh papa Zen, tersenyum pada sahabatnya itu dengan sorot mata sayu. "Oh iya perkenalkan, ini anak pertamaku, namanya Dean kebetulan dia juga bersekolah di tempat yang sama dengan anakmu dan Alva hahaha," jelas papa Dean, memperkenalkan Dean pada papanya Zen. "Owh kamu yang namanya Dean itu? Papa kamu sering bilang kamu sering menonjoknya, apakah itu benar?" canda papa Zen yang nampak baik-baik saja setelah bercakap dengan papa Dean tadi. Dean melotot tajam pada papanya, membuat lelaki paruh baya itu malah merinding. "Hahaha gak kok Om, mana mungkin aku sedurhaka itu," jawab Dean sambil tertawa kecil. Ekspresi mama Zen masih terlihat sangat cemas, dia tidak tau apa yang akan terjadi pada putri semata wayangnya itu nanti, "Sudah Tante... percayakan saja semuanya pada Tuhan, kak Qirhan pasti melakukan segalanya demi keberhasilan operasi Zen," ucap Alva pada mama Zen mencoba menenangkan. "Kamu tidak bisa berkata seenaknya begitu Alva! Kamu tidak tau bagaimana Tante mencemaskan anak Tante! Dia anak Tante satu-satunya!" kesal mama Zen yang air matanya terus jatuh membasahi wajah cantiknya itu, lepas kendali. Alva terdiam mendengar ucapan dari mama Zen, Alva memilih mundur perlahan dari posisi berdirinya kini. Papa Zen nampak mencoba menenangkan istirnya itu, "Alva... Dan Dean... Terima kasih ya telah membawa cepat Zen ke rumah sakit, jika tidak ada kalian, kami tidak tau apa yang akan terjadi pas Zen nantinya, untuk sekarang kalian pulang lah dulu, biar kami yang menemani Zen," jelas papa Zen, tersenyum tipis. Alva hanya memalingkan wajahnya tanpa menanggapi perkataan papa Zen, Dean yang menyadari kekacauan suasana hati Alva kini menundukkan wajahnya sebenar. "Om... Tante, boleh Dean tetap menunggu di sini? Dean juga ingin menemani dan mengetahui keadaan Zyan-- keadaan Zen saat ini," jelas Dean. Papa dan mama Zen saling bertatapan dan kemudian mengangguk pada Dean. Dean tersenyum sumringah mendapatkan persetujuan dari orang tua Zen. "Kak Alva... lo pulang duluan aja ya? Sepertinya suasana hati lo sedang tidak baik, gue akan ngabarin kondisi Zen setelah dapat informasi," bisik Dean pelan pada Alva. Alva mengangguk dan mengambil jaketnya yang ada di atas kursi. "Om... Tante, Alva pergi dulu ya," pamit Alva sambil menyalami mama-papa Zen dan papa Dean. Dean menghela panjang nafasnya sejenak. "Oh iya Nak, apa Dio masih sering main ke rumah dan memakai piano?" tanya papa Dean yang membuat Dean tersontak kaget. "Eh iya Pa," angguk Dean. "Owh syukurlah kalau begitu, Papa pikir setelah kejadian itu dia berhenti untuk selamanya," gumam papa Dean sambil menundukkan pandangannya dengan rasa bersalah. "Dio? Siapa Ari?" tanya papa Zen penasaran. "Dia anak tetanggaku," jawab papa Dean diangguki oleh papa Zen. "Ada kejadian apa sampai dia berhenti untuk selamanya? Dan berhenti apa?" tanya papa Zen kembali penasaran. "Hahaha gak ada apa-apa kok, memangnya kenapa kamu sampai penasaran seperti itu Niel?" tanya papa Dean. "Owh gak ada juga kok hahaha," tawa papa Zen. "Aku dengar-dengar putrimu suka baca puisi ya? Kebetulan Di--" "Eh Pa! Temani Dean beli air minum dong, pasti Om sama Tante juga haus kan?" tanya Dean memotong ucapan papanya tadi. "Eh?" heran papa Dean. "Ayo Pa!" seru Dean sambil menarik tangan papanya agar menjauh dari tempat itu. Mereka berjalan ke kantin rumah sakit untuk membeli air minum, ekspresi papa Dean masih nampak bingung sekaligus heran. "Perasaan Papa aja, atau memang kamu tadi sengaja memotong pembicaraan Papa?" tanya papa Dean langsung. "Hahaha perasaan Papa aja kali, intinya jangan coba-coba ya Papa memberi tahukan tentang Dio ke orang-orang! Awas aja kalo aku dengar! Aku beneran bakal nonjok papa loh!" ancam Dean diangguki lemas oleh papanya. *** "Ini Tante! ini Om!" ujar Dean sambil menyodorkan minuman pada papa mama Zen. "Makasih ya Dean," ucap papa mama Zen diangguki dengan senyuman oleh Dean. "Oh omong-omong tadi kamu mau bilang kebetulan apa Ari?" tanya papa Zen pada papa Dean. Papa Dean terperanjat kaget dan langsung menatap Dean yang kini melotot kearahnya. "Hahaha kebetulan di Internet puisi banyak ya sekarang?" tanya papa Dean. "Owh iya sih," jawab papa Zen yang langsung membuat papa Dean membuang nafas tegangnya. "Pa... Kok lama banget sih?" tanya mama Zen pada suaminya dengan ekspresi yang masih cemas. "Tenang Ma... doakan saja operasinya berjalan lancar," jawab papa Zen sambil merangkul istrinya itu. Mama Zen sedari tadi masih terus berbolak-balik disana sambil menatap terus pintu UGD itu. "Tante... duduk dulu yuk!" ajak Dean sambil memegangi pundak dan pinggang mama Zen untuk duduk di kursi. Mama Zen mengikuti ajakan Dean dan ikut duduk di kursi. "Tante... Dari pada mencemaskan hal ini, lebih baik kita berdoa yang terbaik untuk Zen aja Tante. Oh iya, aku mau ceritain nih gimana Zen disekolah, Tante mau dengar gak?" tanya Dean sambil menyunggingkan bibirnya, tersenyum. Mama Zen mengangguk pelan. "Tante tau? Zen itu sangat disenangi oleh semua teman-temannya di sekolah, gak ada seorang murid pun di sekolah yang gak kenal dengan Zen, Zen itu baik, ramah, pintar dan asik tante, oh iya tante... tadi Zen juga berpidato untuk ulang tahun sekolah loh, walau pada akhirnya malah seperti ini, tapi semua murid dan guru-guru mencemaskan keadaan Zen Tante, dan untung saja saat itu kak Alva langsung menggendong Zen untuk segera keluar dari ruangan itu. Kak Alva benar-benar menyayangi Zen seperti adiknya sendiri Tante, jadi Tante gak perlu khawatir, setelah Zen sembuh nanti, aku, kak Alva, dan teman-teman yang lain akan selalu ada untuk Zen," jelas Dean sambil tersenyum mengenggam tangan mama Zen. "Terima kasih Dean... Kamu benar-benar anak yang baik, Tante harap kamu dan Zen bisa jadi teman dekat untuk selamanya ya," ucap mama Zen. Dean terdiam mendengar ucapan mama Zen, kemudian tersenyum tipis dengan sorot mata sayu. "Tentu Tante!" angguk Dean. Cklek! Bunyi pintu terbuka itu langsung membuat mereka berempat refleks menoleh dan berdiri ke arah pintu. Dr. Qirhan tersenyum tipis pada mereka semua. "Han! Bagaimana keadaan Zen!?" tanya mama Zen menatap cemas Dr. Qirhan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN