Part 9

1334 Kata
Aira bangun dan mengucek kedua matanya. Diliriknya jam yang ada di nakas, sudah setengah 5. Kemudian beralih melirik kearah sofa, dan mendapati Rayhan yang meringkuk di sofa tanpa selimut. Aira jadi merasa bersalah, semalem kan ia lagi kesal sama suaminya dan lupa nggak ngasih selimut buat Rayhan, karena selimutnya udah keburu dikekepin di bawah bantal. ‘Kok Rayhan nggak bangunin aku sih semalem. Kalau gini aku ngerasa nggak guna banget jadi istri.’ “Han, bangun, sholat subuh yuk” Aira menepuk pipi Rayhan pelan. Sebenarnya kalau nggak ditepuk agak keras, Rayhan susah banget dibangunin, kayak pas pagi pertama jadi suami istri waktu itu. Tapi Aira nggak enak kalau bangunin orang dengan kasar, kecuali kalau bener-bener susah banget buat bangun. “Han, bangun. Kamu nggak mau subuh apa?” “Nggak, Ra. Aku lagi dapet.” “Hah? Dapet? Dapet apa? Kamu jangan aneh-aneh deh, Han.” Rayhan tidak memperdulikan kebingungan istrinya, ia malah merapatkan tubuhnya semakin meringkuk. Pasalnya Rayhan juga baru tidur, semalam ia belajar sampai jam 12, gara-gara ada soal yang ia nggak paham-paham dan juga efek kopi buatan istrinya. Terus baru tidur sebentar, bel rumah berbunyi. Ternyata itu adalah mertuanya yang baru pulang dari resepsi pernikahan anak temannya. Setelahnya, ia jadi nggak bisa tidur, dan baru bisa tidur setelah sholat subuh tadi. “Han, bangun. Gimana mau punya anak, kalau bangun subuh aja susah banget.” Rayhan membuka matanya sedikit, kemudian menyunggingkan senyum. “Kalau mau punya anak ya buat lah, Ra. Kalau nggak buat ya nggak bakalan punya.” Rayhan kembali memejamkan mata, kemudian menyahut lagi. “Aku udah subuh tadi, ntar aja kamu bangunin aku, kalau udah setengah enam. Udah sana subuh, udah gedhe gitu kok masa minta disuruh.” Aira memutar bola matanya jengah. Nih bocah emang selalu bisa ya buat Aira kesal. Tanpa memperdulikan Rayhan yang sudah memasuki alam mimpinya lagi, ia segera beranjak menuju kamar mandi untuk mengambil wudhlu dan melaksanaka sholat subuh. Setelah aktifitas subuhnya selesai, Aira segera beranjak menuju dapur untuk memasak sarapan pagi. “Lho, Bun? Kok udah dirumah, kapan sampainya?” Aira mendekati Bundanya yang tengah berkutat dengan bumbu dapur. “Semalam, Ra. Rayhan yang bukain pintu. Terus juga Bunda perhatiin, dari semalam suamimu itu bolak-balik ke dapur. Mau Bunda tegur, tapi nggak jadi, mungkin dia nggak bisa tidur semalam.” Aira hanya manggut-manggut. ‘Pantesan dibangunin susah banget.’ “Mau masak apa, Ra?” “Terserah, Bun.” “Kamu nggak tanya suamimu gitu, mau dimasakin apa?” Aisyah memindahkan sayur yang tadi ia cuci kedalam bak kecil untuk dipotong. “Nggak pernah, Rayhan apa aja pasti doyan Bun.” “Lain kali ditanya dong, Ra. Mungkin aja dia sungkan, mau ngutarain maksudnya.” Aira hanya nyengir lebar, padahal hatinya sudah membatin ‘Sungkan apaan, orang kalau ngomong nggak pernah di filter.’ Setelah setengah jam membantu Bundanya membuat sarapan pagi, Aira segera beranjak untuk membangunkan Suaminya. “Bun, aku bangunin Rayhan dulu ya” “Lho, Rayhan belum bangun?” “Belum Bun, tadi habis subuh dia tidur lagi, ngantuk berat katanya.” Aisyah hanya ber-oh ria menanggapi ucapan anaknya. “Ya udah sana gih, bangunin, nanti telat sekolah.” Aira hanya mengangguk dan beranjak pergi menuju kamarnya. “Han, ayo bangun. Udah jam 6 lho, ntar kamu telat.” Rayhan mengerutkan alisnya, dan membuka matanya perlahan, dilihatnya wajah sang istri yang berhadapan dengannya. “Jam berapa?” Tanya Rayhan dengan suara serak, khas orang bangun tidur. “Jam 6. Maaf ya baru bangunin. Kata Bunda kamu semalem nggak bisa tidur ya? Makanya bolak-balik ke dapur.” “Kok Bunda Tahu?” “Iya, mungkin kebetulan Bunda lagi ngambil minum.” Rayhan merentangkan kedua tangannya keatas dan bangun perlahan sambil memegang punggungnya yang pegal, karena harus tidur meringkuk. Semua itu tidak lepas dari pandangan Aira, ia sangat tahu, kalau suaminya itu tidur tidak nyaman. Dalam hati sebenarnya ia kasihan, mungkin besok ia harus berbagi tempat tidur dengan Rayhan. Lagi pula ia juga harus membiasakan diri dengan keberadaan Rayhan disampingnya. “Han, jangan lupa bawa handuk.” Aira mengingatkan, saat Rayhan hendak menuju kamar mandi dan tidak membawa handuk. Rayhan pun berbalik sambil menggaruk tengkuknya dan menguap lebar, lalu mengambil handuk dan beranjak menuju kamar mandi. “Jangan ketiduran di kamar mandi lho, Han.” Canda Aira sambil menahan tawa. “Bawel ah.” Sambil menunggu Rayhan selesai mandi Aira menyiapkan baju seragam Rayhan, setelahnya ia kembali kebawah untuk membantu Bundanya lagi. “Rayhan udah bangun, Ra?” “Udah, Bun. Lagi mandi orangnya.” “Kamu harus sabar ya, Nak, kalau nanti dihadapkan dengan sifat kekanakan Rayhan, dia itu masih remaja, masih labil-labilnya, walaupun sifat kamu juga kadang-kadang masih kekanakan dan labil. Tapi kalian harus saling mengerti, dia sudah jodoh kamu, Nak, diterima saja, Allah sudah menggariskan apa yang terbaik buat hambanya.” Aisyah menasehati putrinya yang tengah menata lauk diatas meja. “Iya, Bun. Makasih nasehatnya.” Setelah semuanya siap, Aira melihat jam ternyata udah jam 6:40, dan Rayhan belum turun kebawah juga. “Nih anak, kok nggak turun-turun sih, jangan-jangan ketiduran lagi di kamar mandi.” Karena menunggu Suaminya yang tak kunjung turun akhirnya Aira memilih untuk kembali lagi keatas. ‘Lama-lama makin kurus aku, bolak-balik turun tangga.’ “Han, kamu udah siap?” “Udah.” “Trus kenapa nggak turun-turun.” “Ini juga baru selesai Ra. Kayak ada yang lupa, tapi apa ya?” Rayhan mencoba meningat-ingat hal yang dirasa lupa olehnya. “Pearsaan kamu aja paling. Udah ah, cepetan turun sarapan, udah mau jam 7 lho.” “Hah?! Gue nggak usah sarapan deh, kalau gitu. Ntar telat lagi. Gue langsung berangkat aja ya.” “Ya udah, kalau gitu, aku siapin bekal ya.” “Emm?! Ra—” Rayhan hendak mencegah istrinya, tapi tidak sempat, karena Aira keburu keluar dari pintu. Akhirnya ia pun segera menyusul istrinya kebawah, sambil menenteng tas, yang ia selipkan disalah satu pundaknya. “Kamu nggak sarapan Han?” “Nggak, Yah, takut telat hehehe.” “Ya udah belajar yang bener ya.” “Iya, Yah. Pamit ya, Yah, Bun.” Rayhan mencium kedua tangan mertuanya dan berjalan menuju keluar rumah. “Nih bekal kamu, hati-hati dijalan ya, jangan ngebut.” Aira menyodorkan kotak bekal pada Rayhan. Sebenarnya suaminya itu enggan menerima, lagian di kantin juga ada yang jualan makanan. Tapi Rayhan tetap menerimanya. ‘Alamat bakal dibully gue ama anak-anak strong yang nggak ketulungan.’ Baru kemudian Aira mencium punggung tangan Rayhan. Setelah Rayhan berangkat, Aira segera menuju kekamarnya lagi, untuk mengambil gunting yang dipesan Bundanya tadi. “Lho ini bukannya alat tulisnya Rayhan ya. Kok bisa ketinggalan sih.” Aira mengamati alat tulis berupa pensil dan penghapus yang tergeletak disamping buku belajar suaminya itu. ‘Pantesan tadi katanya ada yang lupa, kalo begini ia mau mengerjakan pake apa, masa pake upil dia gitu buat nandain jawaban.’ “Bun, ini guntingnya. Aku mau nyusul Rayhan kesekolah dulu ya, soalnya alat tulisnya ketinggalan.” Tanpa menunggu persetujuan dari orang tuanya Aira segera berlari menuju garasi untuk mengeluarkan motornya. Karena jika tidak segera, ia takut Rayhan keburu masuk. *** Aira mengamati gerbang sekolah yang mulai ramai. Bingung, apa harus masuk atau bagaimana, hingga ia akhirnya memilih bertanya pada salah satu siswa saja. “Eh... Dek-dek, mau tanya.” Aira mencekal baju seragam anak SMA yang hendak melewatinya itu. Karena tidak mungkin jika harus mencekal lengannya. Sekilas orang yang dipanggilnya dek itu mengernyitkan dahi. ‘Dek? Emang kelas berapa sih dia, kecil begitu panggil gue dek.’ “Iya ada yang bisa saya bantu.” “Emm, tahu yang namanya Rayhan nggak?” “Rayhan? Muhammad Rayhan Aditya? Si kutu kupret itu?” “Hah?! Kalau Muhammad Rayhan Aditya benar, tapi kalau si kutu kupret aku nggak tahu.” Aira menarik hijabnya kebelakang, karena tadi sempat melorot kedepan. “Ha...ha...ha... Iya maksud saya itu. Emang ada urusan apa ya, sama Rayhan?” “Oh... ini alat tulisnya ketinggalan, kalau gitu boleh dititipin aja ya. Tolong—” “Eh, Han! Ada yang nyariin nih.” “Siapa?” Aira langsung menoleh kesumber suara yang ia kenal itu. “Aira? Kok lo bisa disini sih?” “Ini alat tulis kamu ketinggalan, tadinya mau aku titipin ke temen kamu, tapi nggak jadi udah ada kamu soalnya.” Rayhan menerima alat tulis yang disodorkan istrinya, dan mengucapkan terima kasih. “Harusnya Lo nggak usah kesini, Ra. Disini juga ada kok yang jualan, tapi makasih ya, aku tadi juga nggak sadar kalau ini ketinggalan.” “Eh... Tunggu deh Han, ini siapanya lo ya? Perasaan wajah Kak Nabila nggak gini deh.” Satria bingung melihat cewek yang tengah berdiri dihadapannya itu. Siswa yang tadi di tanyain Aira adalah teman suaminya, Satria. “Dia ini—” “Saya temennya, Nabila. Ya udah Han, aku pamit ya. Assalamu’alaikum.” “Wa’alaikumsalam.” Aira segera pergi meninggalkan Rayhan dan Satria yang tengah menatapnya bingung. Ia sangat tahu kalau Rayhan belum siap menerima siapa dirinya di depan teman-temannya, karena ia sadar kalau Rayhan masih ingin menikmati masa mudanya tanpa adanya status istri disampingnya. “Jelasin ke gue dia siapa. Kenapa dia bisa nganterin alat tulis lo.” “Bangke lo, udah dibilangin temannya Kak Nabilla juga.” “Gue nggak percaya, pasti ada sesuatu yang lo sembunyiin kan? Gue tahu Han, siapa lo. Mending lo jelasin deh ke kita, gue tunggu setelah selesai Tryout ntar. Awass Kalau kabur, gue cukur bulu ketek lo.” Satria pergi meninggalkan Rayhan yang tengah mengacak rambutnya. ‘duh.. ketahuan deh’ ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN