Rayhan makan sambil menatap istrinya yang tengah menunduk. Sebenarnya ia juga heran sama Aira, masa makan sambil nunduk, ntar kalau salah masukin ke lobang hidung bagaimana.
“Ra, kalo makan itu jangan nunduk terus, salah masuk ke lobang hidung tau rasa lo.”
Aira menatap Rayhan sekilas. Tiba-tiba bayangan Rayhan yang menciumnya tadi siang kembali berkelebat. Sekilas Rayhan tampak mengernyit melihat Aira yang langsung menunduk dengan rona kemerahan dipipinya.
“Oh... Gue tahu sekarang, lo malu ya Ra, gara-gara tadi abis gue cium. Acie...cie yang malu-malu kucing, untung gak malu-malu t*i kucing.” Rayhan mulai menggoda istrinya.
“Apaan sih, Han. Udah makan sana. Abis itu belajar! Ntar kemaleman.”
“Belajar apa Ra?” Rayhan mengangkat kedua alisnya, kalau sudah begitu pasti ada niat terselubungnya tuh.
“Ya belajar buat persiapan UN lah, bentar lagi kan kamu UN.”
“Udah bosen, Ra, gue. Tiap hari belajar itu-itu mulu. Masa malemnya belajar itu lagi. belajar yang lain napa.”
“Emang kamu mau belajar apa?”
“Hehehe, tapi ini belajarnya kudu sama lo, bukan yang lain.”
“Ya udah mau belajar apa, ntar aku temenin.”
“Beneran? Ntar kalau makan lo makin nyungsep lagi gara-gara nemenin gue belajar.”
“Aduh, Han. Kalau ngomong nggak usah ribet deh. Emang kamu mau belajar apa, tinggal ngomong, nggak usah berbelit-belit kaya kentut hansip!”
‘Set dah, istri gue sok tahu banget, kayak pernah lihat kentut hansip aja, mana kalau ngomong gitu amat lagi, masa ucapan suami disamain kaya kentut hansip, kan nggak elit banget.’
“Han! Malah bengong, kamu mau belajar apa?”
“He...he...he... Lo yakin mau nurutin Ra?”
“Bawel ah, cepetan ngomong, mau belajar apa?”
“Gue mau lo nemenin gue belajar buat anak, Ra. Gimana? asyiik nggak tuh olah raga malem-melem.”
Aira yang mendengar pernyataan Rayhan wajahnya langsung menegang, dan rona merah kian menghiasi wajahnya. Ia hanya melongo menanggapi tawaran Suaminya itu.
“Udah, Ra. Nggak usah ditanggepin. Bercanda gue. Iya kali, besok masih ada ujian mau buat anak, yang ada gue nggak konsen lagi, gara-gara inget desahan lo nanti, hahaha”
Aira langsung melotot tidak terima dengan perkataan Rayhan, dan melempar tulang ikan kearah suaminya. Walau sebenarnya pipinya sudah terasa panas karena mau, eh? Malu maksudnya.
***
Aira memasuki kamar dengan membawa segelas kopi pesanan suaminya.
“Makasih ya, Ra” Rayhan tersenyum sekilas menatap istrinya yang meletakkan kopi.
Aira mengannguk, kemudian duduk di pinggir ranjang, sambil membuka baju, eh? Salah, buku maksudnya.
“Han, kamu UN nya kapan sih?”
“Bentar lagi, ini juga try out yang terakhir kok.” Rayhan menjawab tanpa mengalihkan pandangannya dari buku yang tengah ia geluti itu.
“Han, emm.... sebenarnya ada yang ingin aku omongin sama kamu.” Aira memilin ujung bajunya gugup saat ingin mengutarakan maksudnya.
“Ngomong aja, asal jangan pake bahasa isyarat kagak paham gue.”
“Siapa juga yang mau ngomong pake bahasa isyarat, emang aku nggak bisa bersuara apa.” Aira menggerutu kesal.
“Ha...ha...ha... Bercanda atuh, Ra. Emang mau ngomong apa sih?” Rayhan masih fokus dengan garapannya, karena besok Mapel yang akan ia perangi adalah matimatika.
“Emm, gini Han, sebenarnya emm...emmm.”
“Jangan amm-emmm-ammm-emm terus, Ra. Lo itu bukan Nissa Sabyan.”
“Ihh, serius tau nggak sih, Han!”
“Kalau gue nggak serius, nggak mungkin lo sekarang jadi istri gue, Ra.”
“Rayhan! Ya Allah!” Aira mulai kesal dengan suaminya yang diajak bicara serius namun malah melantur kemana-mana.
Lelaki yang tengah berkutad di meja belajar itu hanya terkikik melihat sang istri yang mulai kesal. “Iya-iya, ya udah mau ngomong apa? Gue dengerin nih.”
“Gini Han, emm... Mengenai ucapanmu tadi, soal... soal anak. Emm... Maksud aku, kalau kamu mau minta hak mu sebagai suami nggak apa-apa kok. Tapi paling nggak, setelah kamu lulus ya, lagian aku bentar lagi juga wisuda.” Aira menunduk, sebenarnya ia sangat malu mengucapkan hal itu pada Rayhan. Bagaimana tidak, ia masih ingat betul saat pertama kali bertemu Rayhan. Karena tidak hanya sekali saja ia berkunjung ke rumah orang tua Nabila. Malah saat itu ia pernah menyuruh Rayhan mengambil minum.
“Eh dek..dek. Adiknya Nabila kan?” Tanya Aira saat Rayhan lewat dihapannya.
Rayhan hanya menoleh dan mengangguk dengan muka datarnya, dia memang seperti itu kalau sama orang yang nggak begitu dikenalnya.
“Dek, tolong ambilin minum ya. Soalnya kalau aku masuk nggak sopan banget gitu... Nabila tadi langsung masuk, lupa belum bawain minum. Kalau aku teriak, nggak sopan juga kan, tolong ya.” Saat itu Aira memang belum tahu nama adik Nabila siapa, ditambah lagi waktu itu dia benar-benar haus.
Sebenarnya Rayhan malas, dia sudah ada janjian main sama temen-temen strongnya. Tapi mau bagaimana lagi, masa tamu kehausan dibiarin aja. Akhirnya tanpa kata dan hati setengah ikhlas ia balik badan menuju kamar mandi, eh? dapur maksudnya untuk ngambil minum.
“Nih kak.”
“Makasih.” Balas Aira saat Rayhan meletakkan air minum di hadapannya. Rayhan tidak menjawab perkataan Aira, dan langsung pergi meninggalkannya.
“Ra... Maaf ya, tadi— Eh? Siapa yang ngambilin kamu minum?” Nabila mengernyit heran saat ada gelas minum didepan sahabatnya, karena ia tahu, kalau temannya itu tidak akan berani mengambil sendiri.
“Adik kamu Bil. Dia irit banget ya ngomongnya?”
“Itu mah kalau belum kenal, kalau udah mah beda."
Aira hanya manggut-manggut, toh nggak ada hubungannya juga sama dia.
Tapi itu dulu, ia tidak tahu kalau lelaki yang sempat dipanggilnya ‘dek’ itu bakal jadi suaminya. Dan ternyata orangnya ngeselin. Oke balik ke masa sekarang.
Rayhan membalikkan badannya menatap istrinya yang tengah menunduk.
“Nggak usah dipikirin, Ra, omongan tadi. Gue Cuma bercanda kok, lagian gue juga mau fokus UN dulu, biar nggak malu-maluin kalo lulus, yah... walaupun gue udah laku juga sih.”
“Tapi aku serius loh, Han.”
“Gue juga misterius eh serius, maksudnya. Udah ah, dari tadi bahas anak mulu, mending lo tidur deh, gangguin gue belajar tau nggak.”
Aira berdecak kesal, lagi-lagi sifat menyebalkan Rayhan kumat. Tanpa menjawab perkataan Rayhan, Aira melangkah menuju saklar lampu dan mematikannya. Sontak saja Rayhan yang tengah serius belajar jadi buyar konsentrasinya.
“Aira! Kenapa lampunya dimatiin?”
“Katanya suruh tidur, yaudah aku matiin, kan nggak enak kalau tidur lampu masih nyala.” Jawab Aira kesal.
“Iya, tapi kan gue lagi belajar.”
“Tinggal nyalain lampu belajar kan, gitu aja susah!”
“Gue nggak suka, Ra. Cepetan nyalain lampunya!”
“Nggak!”
“Nyalain!”
“Nggak!”
“Humaira, nyalain!”
“Nggak mau!” Aira masih kekeh tidak mau menyalakan lampu, padahal Rayhan sudah memanggil namanya hampir lengkap.
“Nyalain lampunya, atau lo yang gue tidurin?!” Ucap Rayhan semakin geram dengan istrinya.
Aira hanya menghembuskan napas kesal, lalu menyalakan kembali saklar lampu yang tadi sempat ia matikan. Kemudian berjalan menuju tempat tidur, lalu menarik selimut sampai menutupi seluruh tubuhnya. Rayhan hanya memperhatikan tingkah istrinya itu, tanpa mau menegur, kemudian ia kembali berkutat dengan bukunya.
‘Heran, udah tua juga sifatnya kayak anak-anak. Suka ngambekan lagi. Untung aja wajahnya imut.’ Rayhan membatin dalam hati.
***