“Kok Mama gak bilang-bilang sih mau belanja. Nanti kan aku bisa bantuin. Mana lumayan banyak lagi.”
“Mau bantuin, atau pingin keluar? Bilang aja mau di jajanin sama Mama. Lagian ya, Bil, belanjaan Mama itu gak banyak, cuma sayuran dua kresek doang.” Riana mengangkat dua kantong kresek sedang yang bertengger di kedua tangannya.
“Makannya Kak, jangan jomblo, biar kalau keluar ada yang nemenin, ada yang jajanin, ada yang—”
Praakk!!!
Seketika remot yang tadi dipegang Nabila mendarat mulus dipelipis Rayhan, membuat sang empunya mendesis dan mengusap pelipisnya yang berdenyut.
“Bil, jangan gitu! Kasian adik kamu.” Riana menegur anaknya yang masih menggerutu kesal.
“Biarin Ma. Mentang-mentang udah nikah, Kakaknya diolok-olok, nggak ingat apa yang buat dia nikah muda siapa.”
“Sudah-sudah. Nabila kamu bantuin Mamamu ke dapur, dan Rayhan, ayo ikut Papa, jangan ganggu Kakakmu, mungkin tamu bulannya udah mau dateng.” Haris berdiri, dan berjalan menuju ruang kerjanya.
“Tamu bulanan? Emang siapa yang mau bertamu Pa? Perasaan Kak Nabila gak pernah dapet tamu deh.”
Haris segera melotot kearah putranya dan mengarahkan pandangannya pada Nabila yang tengah memegang pisau dapur.
“Disunat kamu nanti sama Nabila.”
Rayhan yang mendengar itu pura-pura bergidik, setelahnya ia nyengir lebar. Dia sangat tahu Papanya itu suka bercanda. Dia juga melihat sendiri kalau Nabila tidak sedang melihat kearahnya.
“Emang ada apa sih, Pa?” Rayhan yang baru duduk di kursi langsung menodong Papa nya dengan pertanyaan, dia masih saja penasaran perihal Papanya yang menyuruhnya datang kerumah.
“Han, sekolah kamu ada waktu luangnya?”
“Sebenarnya sih banyak Pa, tapi itu buat Rayhan belajar, apalagi bentar lagi udah mau UN. Kalaupun benar-benar free, ya hari Minggu. Kenapa sih Pa?”
“Gini, Papa mau kasih kamu kerjaan, sekarang kan kamu sudah jadi kepala rumah tangga, jadi sudah wajb memberi nafkah pada istrimu. Tapi karena kondisimu yang tidak memungkinkan, mungkin nanti saja kalau sudah lulus.”
“Sekarang juga nggak apa-apa kok, Pa. Hari Minggu dan Sabtu setelah pulang sekolah Rayhan benar-benar free. Kan lumayan nanti hasilnya bisa aku tabung.” Rayhan menjawab antusias.
“Kamu beneran mau nerima kerjaan ini? Agak capek lho, Han. Masih ingat kan, kamu sama ucapan Papa, nggak bisa langsung dapat jabatan, harus pelan-pelan.”
Rayhan mengangguk antusias, apapun pekerjaan yang diberiakan sang Papa akan ia terima.
“Baiklah kalau kamu setuju, Sabtu nanti setelah pulang sekolah kamu datang ke kantor Papa ya. Tapi kalau nantinya kamu nggak sanggup, bilang ke Papa, biar nanti Papa pecat dan diganti setelah kamu selesai UN.”
“Yang bener aja, Pa. Kerja aja belum udah bilang pecat. Emang sebenarnya pekerjaan apa sih yang Papa tawarin?”
***
Suara deru motor memecah keheningan yang dirasakan Aira. Pasalnya dia sedang berada dirumah sendirian, orangtuanya tengah menghadiri resepsi pernikahan anak temannya, diluar kota.
Ia pun segera meletakkan novel yang tadi sempat dibacanya untuk mengusir kesunyian, lalu berjalan kearah pintu keluar. Dibukanya pintu tersebut. Setelahnya, ia menemukan sosok Rayhan yang baru saja turun dari motornya dan berjalan kearahnya sambil melepaskan jaket.
“Kok baru pulang, Han?” Aira menyambut Rayhan, kemudian menyalimi tangan nya. Bagaimanapun lelaki yang berdiri dihadapannya kini adalah suaminya, jadi ia harus menghormatinya. Rayhan sempat terkejut, tapi dia membiarkan saja, lagi pula dia senang diperlakukan demikian.
“Iya, tadi mampir kerumah Papa dulu soalnya. Panas, Ra.” Rayhan merebahkan dirinya diatas sofa ruang tengah, melemparkan asal jaket yang tadi diambil dari rumah orangtuanya dan mengibaskan tangan untuk menghilangkan rasa gerah ditubuh.
“Ya udah tunggu, aku ambilin minum.” Aira segera bangkit untuk mengambil minuman didapur, tak lama kemudian dia kembali dan menyerahkan gelas berisi air minum kearah Suaminya. Rayhan menerimanya, mengucapkan terima kasih, kemudian meminumnya. Lalu meletakkan gelas diatas meja.
“Kok sepi? Bunda sama Ayah mana?” Rayhan celingak-celinguk, mencoba mencari mertuanya yang sepertinya tidak ada dirumah.
“Lagi keluar. Kamu itu jangan dibiasain jorok dong, Han. Kalau jaketnya udah nggak dipakai taruh di keranjang cucian, jangan di taruh sembarangan.” Aira mengambil jaket Rayhan yang teronggok di lantai karena diabaikan pemiliknya. Rayhan hanya nyengir lebar, mengabaikan gerutuan istrinya.
“Oh iya, Ra. Gue mau ngomong sesuatu. Penting.”
Aira mengerutkan kening. Penting? Emang sepenting apa sih kalau Rayhan ngomong.
“Apa?”
“Gue udah dapet pekerjaan.” Rayhan berkata antusias, berharap Aira akan senang dan memeluknya, tapi harapannya keliru, istrinya itu hanya ber-oh ria.
“Kok gitu sih, Ra, sambutanmu.” Rayhan memasang wajah kecewa didepan sang istri.
“Lha, emang aku harus apa? Ngumumin ke tetangga gitu kalau kamu udah dapat pekerjaan.”
“Sekalian aja Ra, bilangin ke sapi tetangga yang mau melahirkan, ‘Rayhan udah dapet pekerjaan, pi. Lo jangan sedih ya, biaya persalinan udah ditanggung sama Rayhan.’”
Aira mengerutkan keningnya heran. Hubungannya apa sapi tetangga yang mau melahirkan sama Rayhan yang sudah dapat pekerjaan?
“Kamu abis kejedot apa sih, Han? aneh banget, pelipis kamu juga biru.” Aira mencoba meraih pelipis Rayhan, tapi ditahan oleh sumainya.
“Nggak kenapa-napa. Lagian kamu sih Ra, nggak peka banget, kalau Suami dapat pekerjaan itu ya seneng, di peluk kek, disenyumin kek, di ci—” Rayhan berhenti, kok dia jadi ngelantur ya.
“Di apalagi, Han?” Aira mencoba menggoda Suaminya, sambil sesekali memainkan alisnya sedangkan Rayhan hanya diam tidak menyahut.
“Nggak diapa-apain. Udah ah gue capek, mau istirahat.” Rayhan langsung menyahut, hendak bangkit, tapi tangannya, ditarik Aira, sehingga dia kembali duduk.
“Yaudah sini aku senyumin.” Aira tersenyum kearah Rayhan, menampilkan barisan giginya. Lalu memeluk lengan Rayhan, hanya sebentar. Rayhan yang mendapatkan perlakuan itu pun tersenyum sebentar, lalu mengembalikan ekspresinya seperti semula, seolah dia biasa saja mendapatkan hal tersebut.
“Emang pekerjaan kamu apa sih, Han?” Aira bertanya penasaran dengan Rayhan yang terlihat antusias mendapat pekerjaan barunya.
“Lo mau tahu?”
Aira mengangguk. Lalu Rayhan menggerakkan jari telunjuknya, mengisyaratkan istrinya untuk mendekat.
“Lo jangan kaget ya.” Rayhan berbisik di telinga istrinya yang tertutup hijab. “Gue kerja jadi Office Boy. Alias OB dikantor Papa gue sendiri.”
“Apa?!” Aira berteriak kaget, tepat disebelah kuping Rayhan.
“Pengang, kuping gue, Ra. Kira-kira dong kalau teriak.” Rayhan menggosok kupingnya yang terasa berdenging, gara-gara teriakkan istrinya itu.
“Ya Allah, Han, aku kira kamu kerja jadi apa gitu sampai antusias banget, ternyata jadi OB toh.”
“Ya nggak apa-apa, yang penting halal dari pada ngrampok, mau lo punya suami rampok.”
“Naudzubillah, jangan sampai, kamu itu kalau ngomong jangan asal ceplos dong, Han.” Aira menatap suaminya galak, tidak suka dengan apa yang baru saja didengarnya.
“Reflek, Ra. Nggak lagi deh, beneran.” Rayhan nyengir lebar. “Eh, tapi beneran kan kalo Ayah sama Bunda lagi nggak ada dirumah?”
Aira kembali mengangguk untuk menjawab pertanyaan suaminya.
“Berarti cuma kita berdua dong yang ada dirumah.”
Aira mengerutkan keningnya, agak bingung dengan perkataan suaminya. Yaiyalah cuma berdua dirumah, emang sama siapa lagi? Sama sapi tetangga yang mau melahirkan? Nggak mungkin lah, ngapain juga main kerumah mereka.
“Emang kenapa kalau berdua doang dirumah?”
Rayhan sedikit menyunggingkan senyum, kemudian mendekatkan dirinya ketubuh Aira, membuat Aira jadi takut sendiri dan sedikit menggeser tubuhnya. Satu detik kemudian, ditariknya tubuh sang istri dan dirapatkan kedalam pelukannya.
“Ha...Han. Ka...Kamu mau ngapain?” Aira sedikit panik, takut Rayhan berbuat lebih, walau sudah halal, tetap saja ia masih belum terbiasa dengan sentuhan lelaki itu. Tadi saat ia memeluk Rayhan, ia masih merasa biasa kerena dirinya sendiri yang melakukan, tapi ketika Rayhan yang memeluknya entah kenapa ia menjadi takut sendiri.
“Emang lo mau gue apain?” Rayhan mengangkat sebelah alisnya, ia menatap Aira yang memandangnya takut. Dipegangnya pundak sang istri sambil tersenyum miring. Lucu sekali wajah istrinya jika begitu. Dahi yang terlipat di tambah lagi dengan sorot mata ketakutan. Hening beberapa saat hingga suara tawa Rayhan memecahkan semuanya.
“Jangan terlalu sering ngerutin dahi, Ra. Makin tua lo ntar. Lihat keriput lo udah nambah nih.”
Aira menepis tangan Rayhan yang tadi sempat bertengger di dahinya, dan mencebik kesal sambil monyongi bibirnya kedepan.
“Nggak usah dimonyong-monyongin, nggak bakal gue cium.”
“Dih, siapa juga yang minta dicium.” Aira menjawab sedikit nyolot.
“Dih nyolot lagi, dosa lo nyolot ama suami.”
“Kamu juga sama aja, dosa ngejailin yang lebih tua.” Aira segera bangkit dari duduknya lalu melemparkan jaket yang tadi diambilnya kearah sang suami, baru kemudian meninggalkan Rayhan yang terkekeh mendengar penuturannya.
“Lo marah ya Ra?” Rayhan menghampiri Aira di dapur yang tengah mengeluarkan bahan masakan didalam lemari es, pasalnya ini sudah sore, orang tuanya sepertinya tidak pulang malam ini, jadi ia harus masak untuk makan malam nanti.
Tidak ada jawaban dari Aira, ia masih sibuk dengan kegiatannya, memilah bahan masakan apa yang nanti akan ia masak.
“Ra?” Rayhan mencoba memangil Aira lagi, tapi tetap saja tidak ada jawaban.
“Ra, jangan diem bae. Sariawan lo kumat ya?”
Aira langsung menatap Rayhan tajam, emang ya si Rayhan itu nggak peka banget jadi orang, udah tau ngambek masih aja di tanya. Mana pake tanya sariawan lagi, siapa juga yang sariawan.
“Nggak usah gitu kalau natap. Nggak usah ngambek, ntar lo makin cantik lagi.”
“Receh.” Sahut Aira judes.
“Gue kan nggak ngamen Ra, jadi nggak punya uang receh.”
“Rayhaaan!!! Please deh kamu diem! Udah sana nggak usah gangguin aku, nggak aku kasih makan kamu ntar!” Aira mengangkat spatula yang akan digunakannya menggoreng telur kearah Rayhan. Tapi Rayhan tak perduli, ia terus melangkah mendekati Aira hingga....
Cup!
Rayhan mencuri ciuman dipipi istrinya, kemudian berlari menaiki tangga sambil tertawa. Sedangkan Aira tadi sempat terbelalak kaget mendapat perlakuan tiba-tiba dari suaminya, hingga ia tersadar karena suara tawa Rayhan yang menggema. Baru kemudian menatap bocah tengil yang sempat menciumnya tadi menaiki tangga sambil membawa tas dan jaketnya menuju kamar.