Awal patah hati

2072 Kata
Fauzi mengetuk-ngetukan jarinya ke meja sembari menunggu Gibran membereskan alat tulis. Ulangan matematika di jam terakhir sangat tidak menyenangkan. Otak mulai lelah, badan apalagi, panas, lapar, bagaimana mungkin sanggup berkonsentrasi? Sesekali Fauzi terdengar menggerutu, "Gue mending makan bakso pakai sambel enam sendok daripada belajar matematika. Kenyang kagak, mules iya," seloroh Fauzi. Gibran melengos, "Lo bakal lebih mules kalau makan sambel sebanyak itu." "Kenapa di dunia ini harus ada matematika, ya? Matematika itu rumit tahu nggak." "Iya serumit cinta gue ke Aura." Fauzi melirik sahabatnya, "Lo beneran kejatuhan lope, ya?" Gibran meringis, "Ish... bahasa lo sok asik bener. Iya kayaknya, Ji. Sumpah cewek itu tuh beda banget." Fauzi tersenyum penuh arti. Selama enam tahun mereka bersahabat, tak pernah sekalipun ia melihat Gibran bertingkah seperti sekarang. Terkadang Fauzi mati-matian menahan tawa jika melihat Gibran sudah berhadapan dengan Aura. Sahabatnya itu bisa tiba-tiba gugup, dan berbuat sesuatu yang menurutnya malah membuat Aura jengkel atau bahkan ilfeel. "Kalau lo cinta sama dia, harusnya mikir gimana caranya bikin dia tertarik sama lo, bukan terus-terusan berulah dan akhirnya bikin Aura risih." "Gue deketin dulu aja kali, ya? Nanti temenan terus jadian," kata Gibran. Ia bertutur demikian tanpa beban, seolah mendekati, berteman, dan jadian dengan Aura itu semudah memakan kuaci. "Enteng banget itu mulut. Jangan main kode, nggak semua cewek bisa baca kode kita walaupun sebenarnya mereka juga suka kode-kode dan berharap kita peka. Tunjukin keseriusan lo." "Lo kok bisa tahu gitu sih? Kita kan sama-sama jomblo, tapi kayaknya lo mahir banget dalam urusan percintaan." "Iya dong. Gue jomblo juga sering searching sana-sini untuk memahami perasaan cewek. Supaya gue bisa menaklukan cewek galak semacam Dania." "Lo udah ditolak berkali-kali masih nggak nyerah, Ji? Heran gue, malu lo dimana?" Fauzi mendesis sinis, "Gue jadi gak tahu malu semenjak suka sama Dania." "Bukannya lo gak tahu malu dari dulu, ya?" "Lupain! Pokoknya gue dukung lo sama Aura." Gibran mengangguk semangat. Mulai sekarang ia bertekad untuk terang-terangan mendekati gadis itu. "Karena otak lo lagi encer, hari ini lo gue traktir." "Kadal ya kamu." Gibran tergelak begitu melihat reaksi yang ditunjukkan Fauzi. Persahabatan mereka memang terbilang unik. Keduanya tak segan adu mulut jika salah satu ada yang salah, main fisik pun pernah namun tak berlebihan. Intinya mereka tahu betul makna persahabatan. Saling mengingatkan ketika salah, saling menghibur ketika terluka, turut tertawa ketika sahabatnya bahagia. *** Keesokan harinya, Aura kembali menerima buket bunga dari Raka. Untunglah ini tanggal merah, jadi Aura tidak usah terburu-buru seperti biasa. Baru masuk sekolah sehari dan sudah libur lagi, tentu menyenangkan. Namanya juga pelajar, dengan tugas seabrek terkadang membuat mereka ingin menikmati liburan lebih lama. Seperti biasa Aura membawa bunga itu ke kamar. Entah sudah berapa banyak bunga yang dikirim Raka untuknya, tak terhitung pula berapa banyak kerinduan yang tersisip disetiap kelopaknya. LDR yang masih bisa bertelepon-ria saja tetap sering diterpa rasa rindu, apa kabar yang dekat tapi tak bisa berjumpa dan hanya bisa saling bertukar tulisan? Selamat pagi Nona Au. Semoga hari ini lebih baik dari sebelumnya. -Raka- Gadis itu menatap lekat-lekatnote di tangannya, lalu duduk di bibir tempat tidur, "Kalau kirim bunga ini aja Kakak sempat, kenapa ngobrol sama aku nggak sempat?" Aura tertunduk lesu. Ia begitu merindukan kekasihnya. Terakhir bertemu ketika ia masih duduk di kelas sepuluh semester pertama dan Raka baru akan masuk Universitas. Jangan tanya bagaimana mereka bertemu, takdir tentu selalu punya cara untuk mempertemukan insan-insan di muka bumi ini. Setelah itu mereka tak pernah bertemu lagi. Jangankan bertemu, mengobrol via telepon saja sudah tidak pernah. Aura mengambil ponselnya. To : Kak Raka Kak, bisa telepon aku skrg? ---------------- Tidak langsung ada jawaban. Seperti biasa juga Aura harus menunggu lama untuk mendapat balasan dari Raka. Drrtt... Drtt... Drtt... From : Kak Raka Nggak bisa. Aku lagi banyak tugas. ---------------- Aura menghela napas panjang. Hubungan ini semakin aneh. Bertemu sudah tidak pernah, mengobrol juga tidak pernah, hanya berkirim pesan, itupun jika kekasihnya sempat. "Apa gue nekat aja ke rumahnya?" gumamnya. Raka pernah melarang Aura pergi ke rumahnya, dengan alasan orang tuanya akan marah karena tahu Raka tidak fokus kuliah dan malah pacaran. Tapi ah... masa bodoh. Aura ingin tahu seperti apa orang tua Raka sampai-sampai Raka sebegitu takutnya. *** Gibran baru saja terjaga. Dengan muka bantal, ia turun ke lantai bawah untuk mengambil minum karena merasa tenggorokannya kering. Di dapur Gibran berpapasan dengan pembantunya, "Bunda kemana, Bi?" Bi Inah yang semula sibuk dengan setumpuk piring kotor lantas menghentikan aktivitasnya sejenak, "Nyonya lagi belanja, Den. Ada apa? Ada yang perlu Bibi bantu?" "Nggak. Nanya aja," sahutnya. Gibran memang sudah terbiasa seperti ini. Kadang bundanya baru pulang ketika menjelang sore, sedangkan sang Ayah selalu pulang larut malam. "Bi aku mau pergi. Mungkin pulang agak malam, nanti tolong bilangin sama Bunda." "Aduh Aden mau kemana lagi? Nanti teh Tuan marah kalau Den Gibran main-main terus." Gibran menyandarkan kepalanya di bahu Bi Inah, kemudian berujar pelan, "Kalau Ayah mau kasih sedikit perhatian dan di rumah terus kayak Bibi, aku juga gak bakal keluar-keluar, Bi." Jika sudah begitu Bi Inah tak berani menyahut lagi. Gibran memang sangat manja, baik padanya atau pada majikannya. Di rumah ini hanya Tuan besarnyalah yang tak pernah memanjakan Gibran. Jangankan memanja, memperhatikan pun bisa terbilang jarang saking sibuknya dengan pekerjaan. Hari libur seperti sekarang ini, biasanya Gibran akan pergi seharian. Entah itu untuk bermain PS dengan Fauzi atau nongkrong-nongkrong bersama temannya yang lain. Punya ayah galak tak lantas membuat Gibran jengah berulah. Baginya semakin ia nakal, sang ayah akan semakin perhatian dan tidak melulu sibuk dengan pekerjaannya. *** Seorang laki-laki terlihat tengah kebingungan. Ponsel dalam genggamannya terus berdering. Hampir satu tahun ia bersandiwara menjadi orang lain, dan itu semua demi sepupunya. Semua kejadian satu tahun silam masih terekam jelas dalam memorinya. "Di." "Hmm..." laki-laki bernama Adi menghentikan kegiatannya menyeruput secangkir kopi. "Gue mau minta tolong sama lo." "Minta tolong apa?" "Kalau seandainya nanti gue nggak ada, gue mohon lanjutin apa yang sering gue lakuin." "Nggak ada? Lanjutin apa?" Adi mengernyit bingung. "Ya, kan seandainya. Bahagiain cewek gue." "Gila! Punya sepupu kok otaknya geser. Kalau emang lo nggak cinta sama dia, ya lo putusinlah. Kenapa nyuruh gue yang bahagiain dia?" "Justru karena gue cinta sama dia. Gue ingin lihat dia selalu bahagia." "Ya kenapa harus gue? Kan lo bisa." Laki-laki yang tengah bersama Adi tersenyum tipis, "Nggak tahu kenapa gue ngerasa kalau gue bakal pergi jauh dari dia," ujarnya kemudian. "Konyol!" "Namanya Belva Aura Naila Shafa, dia suka novel dan bunga mawar putih. Dia baru kelas sepuluh, anaknya polos, manja, cantik, dan senyumnya tulus. Gue nggak akan sanggup lihat senyum itu lenyap." "Tunggu. Gue makin nggak ngerti deh. Kenapa senyum itu lenyap? Maksud lo apa?" "Lo pegang HP gue. Pasti suatu saat lo butuh, kasih kabar dia terus. Gue udah bilang sih kalau setelah kuliah gue bakal super sibuk jadi lo nggak perlu sering-sering berhubungan sama dia." "Raka! Lo mau kemana? Kenapa lo seenaknya mengalihkan tanggung jawab lo ke gue?" Adi terlihat kesal karena merasa jika pembicaraan sepupunya ini mulai tidak normal. "Panggil dia Nona Au. Dia pasti seneng. Itu panggilan sayang gue buat dia. Lo cuma perlu jadi gue, sampai dia tahu dengan sendirinya." "Gak waras!" Adi menyambar jaket yang tersampir di kursi, lantas pergi meninggalkan sepupunya itu. "Adi!!" Adi mendengar Raka meneriakkan namanya berkali-kali, namun tak digubrisnya . Hingga Adi tiba di seberang jalan, tempat motornya terparkir. Kafe ini memang punya lahan parkir sendiri di sebrang jalan, karena area parkir di depan kafe tersebut kurang memadai saking ramainya pengunjung. Ia baru naik ke atas motor, tiba-tiba saja bunyi benturan keras memaksanya berhenti sejenak. Brakkkk Bughh Adi menoleh. Terdengar jeritan orang-orang yang berada di sekitar kafe. Kini mereka sudah membentuk kerumunan, dan Adi yakin baru saja terjadi kecelakaan. Awalnya Adi tak mau melihat, namun didorong oleh rasa penasaran yang kuat serta perasaan tidak enak ia kembali ke dekat kafe tersebut. "Misi, Mas, misi," Adi berusaha menerobos kerumunan, dan betapa terkejutnya ia ketika melihat sepupunya tergolek lemah bersimbah darah. "Rakaaa!" pekiknya. Raka yang melihat kehadiran Adi berusaha terseyum, kemudian laki-laki itu mengacungkan kelingkingnya, meminta Adi berjanji. "Panggil ambulance woy cepat!" teriak Adi. "Gue... mo... hon," susah payah kalimat itu terlontar dari bibir Raka. "Uhukkk," darah merah kehitaman menyembur dari mulutnya membuat siapapun ngeri melihatnya. "Lo harus hidup, lo sendiri yang bakal buat dia bahagia!" Sia-sia, mata itu kini terpejam sempurna, denyut nadinya tak bisa dirasakan lagi, hembusan napasnya pun sudah tidak ada. "Rakaaa!!" Adi kembali berteriak. Dengan tangan bergetar, ia menautkan kelingkingnya pada kelingking Raka, "Gue janji." Adi tersadar dari lamunannya saat seseorang menepuk bahunya dari belakang, "Eh... Om." "Ada apa, Di? Kenapa melamun?" seorang laki-laki paruh baya bertanya. Nathan Christian-ayah dari mendiang Raka menghampirinya. "Aku cuma inget sama Raka, Om," jawab Adi. "Sudahlah, Raka sudah tenang di sana." "Tapi, Om gara-gara aku... " "Tidak baik terus menerus menyalahkan diri sendiri. Ini sudah ketentuan Tuhan," potong Nathan cepat. Adi mengalihkan pandangannya pada perempuan paruh baya yang duduk menatap kosong layar televisi. "Tapi Tante jadi... " Belum sempat Adi melanjutkan kalimatnya terdengar bel rumah itu berbunyi. Nathan bangkit hendak membuka pintu, namun sang istri lebih dulu berdiri, "Biar Mama saja, Pa." Shinta yang tak lain adalah ibunda Raka bangkit, kemudian berjalan santai ke arah pintu. Cklek "Siang, Tante." Shinta menautkan alisnya seolah bertanya, "Kamu siapa?" "Kak Rakanya ada? Aku Aura temannya Kak Raka." Reaksi yang ditunjukkan perempuan itu sungguh di luar dugaan, Shinta langsung menjerit histeris meneriakan nama putranya, "Rakaa... Rakaa... Rakaaa jangan pergi, Nak. Ini Mama," teriaknya sambil menjambak rambutnya sendiri. Aura tentu saja kebingungan dengan reaksi yang ditunjukan perempuan paruh baya itu. Ia mulai berpikir, apa ini alasan mengapa Raka melarangnya ke rumah? Karena Ibunya depresi, lantas Raka malu? Tapi mengapa Ibunya itu berbicara, "Jangan pergi, nak. Ini Mama." Nathan juga Adi berhamburan keluar, ingin melihat apa yang terjadi. Adi terbelalak melihat siapa yang datang karena ia memang sempat melihat foto Aura di ponsel sepupunya. "A... Aura." Aura semakin tak mengerti. Siapa orang itu? Kenapa tahu namanya? Atau mungkin Raka yang sering menceritakannya pada orang itu. Nathan membawa istrinya masuk, semantara Adi mengajak Aura duduk di halaman belakang. "Kakak siapa? Temannya Kak Raka, ya? Atau saudaranya?" "Gue Adi, sepupunya." Aura mengangguk paham, "Kok Kakak tahu nama aku? Jangan-jangan Kak Raka sering cerita tentang aku. Dia cerita apa? Bukan cerita yang nggak-nggak 'kan?" Mendengar celotehan gadis di hadapannya dengan raut wajah yang begitu polos membuat Adi takut mengungkapkan kejadian sebenarnya, "Raka cuma bilang kalau Aura gadis yang cantik, polos, manja, suka mawar putih, dan punya senyum yang tulus." Pipi Aura memanas seketika. Ternyata Raka begitu mengagungkannya. Terbukti dari apa yang baru saja diutarakan sepupu kekasihnya itu." Kak Raka suka berlebihan. Oh iya, terus tadi kenapa Mamanya Kak Raka jerit-jerit gitu?" "Tante Shinta begitu semenjak Raka nggak ada," Adi berucap pelan tanpa melihat gadis itu. Deg "Emang Kak Raka kemana, sih? Dia kabur? Apa kemana?" Adi bingung bukan main. Kali ini bagaimana caranya mengungkap kebenaran ini. Jujur saja ini bukan hal mudah bagi Adi, mengingat betapa berbinarnya Aura ketika membicarakan Raka. "Kak?" lagi-lagi Aura memanggil. "Raka sudah tidak ada." "Ma... maksud Kakak?" "Hampir satu tahun yang lalu Raka kecelakaan. Tabrak lari tepatnya, dan... " "Nggak mungkin, Kak. Tadi pagi Kak Raka masih kirim aku bunga. Dia juga masih balas sms aku, jadi gimana bisa Kak Raka meninggal!" mata Aura sudah memerah, air mata sudah menggenang dan siap tumpah. Ia buru-buru menyela karena mulai paham kemana arah pembicaraan Adi. "Ini?" Adi menyodorkan sebuah ponsel pada gadis itu. Ponsel yang begitu Aura kenali, "gue yang balaschat, lo," lanjutnya. "Nggak! Kakak bohong! Kakak sama Kak Raka mau ngerjain aku 'kan karena sebentar lagi aku ulang tahun? Tolong jujur Kak, aku janji nggak akan marah kalau Kakak jujur," Aura masih bersikeras menampik kebenaran yang baru saja terungkap. Benda berat seolah tengah menghimpit dadanya. Sesak. Adi tidak tega melihat gadis kecil itu menangis. Benar kata Raka, tidak akan ada orang yang tega melihat senyum tulus gadis ini lenyap. "Kak, please jawab aku." Akhirnya Adi mulai menceritakan kronologi kecelakaan Raka pada Aura, termasuk permintaan terakhir Raka. Aura mematung, tubuhnya terasa dingin. Ia tak tahu harus bereaksi seperti apa saat ini, yang jelas apa yang Raka lakukan benar-benar jahat. "Gue udah jawab. Raka udah nggak ada, dan yang balas chat juga kirim lo bunga itu gue, bukan Raka." "Kenapa? Kenapa Kakak bohong sama aku? Salah aku apa sama Kakak? Kita bahkan nggak pernah kenal sebelumnya." "Maafin gue. Ini permintaan Raka." Alasan klasik. Permintaan terakhir yang menyebabkan Aura dibombardir dengan kebohongan. Seandainya Aura tahu sejak awal, tidak akan sebenci ini jadinya. "Kalian jahat!" kata Aura seraya bangkit dari duduknya kemudian berlari meninggalkan kediaman Raka. Bersambung...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN