Gibran melajukan tunggangannya dengan ugal-ugalan. Tak mempedulikan orang-orang yang berteriak atau melontarkan sumpah serapah padanya, yang penting Gibran bahagia. Pemuda itu menajamkan pandangannya ketika merasa melihat seorang gadis berdiri di jembatan dengan posisi kaki yang bisa dibilang hanya menempel pada tepi jembatan tersebut. Ini sekedar halusinasi atau gadis itu memang benar ada dan tengah berniat bunuh diri?
Gibran menghentikan motornya, helmet yang dikenakannya dilepas, ingin melihat lebih jelas. Sontak saja kelopak matanya melebar, dan dengan segera ia berlari menghampiri gadis itu setelah merasa yakin kalau gadis itu nyata bukan halusinasi semata. "Woy! Jangan bunuh diri, kata Bunda nanti Tuhan marah!" teriak Gibran sambil menarik lengan gadis itu hingga keduanya terjungkal.
Aura meringis ketika sikutnya membentur aspal. Ia melemparkan tatapan sinis pada pria yang juga terjatuh di sampingnya—laki-laki yang sangat ia kenal, "Siapa yang mau bunuh diri? Lo kebanyakan nonton sinetron tahu nggak!"
Gibran tersenyum kikuk. Baru kemarin ia membicarakan gadis itu dengan Fauzi, hari ini ia malah berulah lagi dan yakin kalau Aura malah akan benar-benar jijik terhadapnya. "Sorry, tadi Gibran pikir Aur bakal bunuh diri. Kalau enggak, ngapain coba nempel-nempel di bibir jembatan? Bikin orang ngeri aja."
"Gue masih cukup waras!" Aura bangkit lalu meninggalkan orang yang menurutnya setengah gila itu. Ya, Aura tahu betul siapa Gibran karena kenakalannya, dan alasan lain tentu saja karena kelas sepuluh kemarin mereka sekelas.
"Aur tunggu Gibran."
"Aur.. Aur. Aur-auran! Astaga, itu laki Alay banget!"
"Aur kenapa, sih? Kok sebel gitu sama Gibran?"
"Nama gue Aura. Kalau lo nggak mampu mengucapkan nama gue dengan benar lo bisa panggil nama lain gue. Belva kek, Naila kek, Shafa kek. Terserah lo!"
"Nggak enak. Aur habis nangis, ya? Kok matanya bengkak?"
Aura benar-benar geram dengan sikap Gibran yang sok manis ini, "Mau lo apa, sih? Jangan ngikutin gue terus. Gue mau balik, dan lo nggak berhak tahu apa pun tentang gue."
"Gibran cuma bingung kenapa Aur kayak benci sama Gibran?"
"Gue nggak benci sama lo. Satu lagi, bisa gak lo berhenti manggil diri lo dengan nama? Biasanya juga gue-lo, kenapa sekarang jadi Aur-Gibran. Jijik."
"Kalau nggak benci berarti Aur cinta? Yes. Aura cinta Gibran."
"Sungguh gila!" Aura menghentikan laju sebuah angkutan umum dan bergegas pulang, sebelum orang itu kembali mengikutinya.
Gibran menyunggingkan senyum tipis seraya menatap kepergian Aura. Gadis yang membuat rasa penasarannya membuncah. Ah... mungkin bukan hanya penasaran, tapi benar-benar sudah jatuh cinta. "Gue pasti bisa dapetin lo. Catat."
***
Aura kembali ke rumah dengan keadaan yang mengerikan. Rambut acak-acakan, mata sembab, kucel karena debu-debu jalanan. Sang mama yang melihat itu tentu tak tinggal diam, segera saja ia menghampiri anak gadisnya lalu bertanya, "Aura kamu kenapa, Sayang?"
"Mama," Aura menghambur ke dalam pelukan sang mama, berharap dengan demikian bebannya bisa sedikit berkurang.
"Mau cerita? Mama siap mendengar."
Aura mengangguk. Ia menceritakan semua fakta yang baru diketahuinya hari ini. Semua kenyataan menyedihkan tentang Raka—kekasihnya. Sesekali ia menangis, dan mamanya berusaha memberi ketenangan. "Aku benci cowok, Ma. Mereka jahat, mereka bohongin aku," Aura berujar lirih di sela-sela isakkan.
"Jangan begitu, Nak. Raka punya alasan untuk itu, diantaranya tidak ingin kamu sedih."
"Kebohongan dalam bentuk apa pun atau dengan alasan apa pun nggak bisa dibenarkan, Ma. Aku benci pembohong!" sentak Aura. Gadis itu berlari ke kamarnya, kemudian melanjutkan aksi menangisnya di sana. Tak bisa dipungkiri, apa yang dilakukan Raka dan Adi memang keterlaluan. Satu tahun lebih Adi bersandiwara karena Raka, dan satu tahun lebih juga Aura dibohongi. Karena terlalu lama menangis perlahan rasa lelah menyergapnya, membuat matanya mulai tertutup.
***
Gibran melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Pukul 04.01 WIB, sebentar lagi subuh, dan jika Gibran tidak pulang maka habislah dia. Begitulah Gibran jika sudah bermain. Terlalu fokus sampai melupakan segalanya.
Beberapa pesan sang Bunda yang tadi diabaikan, kembali dibukanya. Gibran nyaris hafal di luar kepala pesan apa yang mungkin dikirim sang bunda padanya.
From : Bunda
GIBRAN KAMU DIMANA? INI SUDAH JAM BERAPA?
————————————————
From : Bunda
Kalau Gibran nggak pulang juga, mulai besok uang jajan Gibran Bunda potong!
————————————————
From : Bunda
GIBRAN BUNDA SERIUS.
————————————————
From : Bunda
Bunda capek nungguin Gibran. Terserah mau pulang atau enggak!
————————————————
Gibran langsung menyambar kunci motornya sebelum sang Bunda benar-benar murka, "Gue balik dulu, Ji. Bunda gue udah nyiapin golok di rumah," pamitnya.
Fauzi terbahak, "Siap-siap dah besok lo tewas."
"Kadal ya kamu!"
Gibran buru-buru keluar dari rumah sahabatnya. Ia sudah siap jika pulang nanti sang bunda akan memecahkan gendang telinganya. Gibran sudah kebal.
Hanya butuh waktu beberapa menit untuk sampai ke rumah, mengingat jarak rumahnya dan rumah Fauzi tidak terlalu jauh. Begitu sampai, Gibran turun dari motor lantas berjalan gontai ke depan pintu.
Tokk... Tokk... Tokk
"Bunda," Gibran menyandarkan tubuhnya di pintu, "buka, di luar dingin," imbuhnya.
"Rasain! Siapa suruh jadi anak bandel," teriak sang Bunda dari dalam.
Gibran menghela napas panjang, "Bunda maafin Gibran. Janji gak nakal lagi."
Cklek
Pintu terbuka, rengekannya membuahkan hasil. Bundanya luluh bukan? Tapi karena sang bunda terlalu tiba-tiba membuka pintu, nyaris saja Gibran jatuh sebab sebelumnya ia bersandar pada pintu, "Aduh kenapa Bunda buka pintunya dadakan, sih? Kalau Gibran jatuh gimana? Muka nyium tembok gimana? Nggak ganteng lagi gimana? Fans mabur gimana?"
"Berisik. Sana masuk! Nggak pakai jaket lagi. Tahu rasa nanti."
"Bunda kok gitu? Udah nggak enak gini, masa disumpahin juga," Gibran memasang wajah semelas mungkin sembari melangkah masuk.
"Mau makan dulu, nggak?"
"Mau bobo."
"Gibran kali ini Bunda maafin, ya. Kalau nanti begini lagi Bunda nggak akan maafin kamu," ancam Inka.
"Yaampun Bunda, kalau Gibran yang pulang pagi di omelin. Giliran Ayah yang pulang pagi nggak ditanyain. Gimana kalau Ayah selingkuh? Punya istri lagi?"
"Kamu ini... " Inka benar-benar gemas pada putranya. Ia menghadiahkan sebuah jeweran pada kuping Gibran karena ucapan anak itu yang seenaknya. Selingkuh bagaimana, kesibukan suaminya di kantor saja sudah tidak terkontrol, apalagi tambah istri. Mulut Gibran terkadang memang suka keterlaluan.
"Ampun Bunda, ampun. Pedes."
"Untung Ayah kamu lembur, jadi kamu selamat. Kalau Ayah pulang bisa-bisa kamu di gantung di taman belakang."
Ayah Gibran memang galak, ah... bukan galak, tegas tepatnya. Sangat berlainan dengan bundanya yang begitu memanjakan Gibran. Mungkin karena itulah Gibran selalu berbuat semaunya karena selalu mendapat pembelaan dari sang bunda ketika dimarahi ayahnya.
Gibran memutuskan untuk tidur daripada terus menerus jadi sasaran amukan Bundanya itu.
***
Pagi-pagi sekali Gibran sudah kembali terjaga, bukan karena apa-apa tapi ia mendadak diare, entah untuk ke berapa kalinya Gibran keluar masuk toilet, "Ahh, gila mules."
"Gibran, sudah siang. Cepat bangun!"
"Siang apanya? Baru jam 6," batinnya mencelos.
"Aku udah bangun, Bunda."
Cklek
Inka meyembulkan kepalanya dari balik pintu, "Sumpah? Demi apa Gibran udah bangun? Nggak biasanya. Ini langka dan harus dilestarikan."
Gibran berdecak kesal mendengar celotehan sang Bunda, "Perut aku sakit, Bunda."
"Gibran sakit?"
Gibran menjawab dengan anggukan pelan.
Inka berubah cemas. Wanita itu duduk si samping putranya seraya memberikan usapan pelan pada punggung Gibran, "Mau sekolah, nggak? Kita ke dokter aja, ya?"
"Sekolah, dong. Nggak ketemu pacar nanti kalau gak sekolah."
"Emang Gibran punya pacar? Jangan pacar-pacaran, langsung nikah aja daripada dosa. Nanti jangan lupa pakai jaket, ya? Bunda nggak terima bantahan."
"Iya, Bun."
***
Aura jauh lebih diam dari biasanya. Bukan tanpa alasan, kejadian kemarin tentu saja berdampak besar pada hidupnya. Ditinggalkan karena maut, dan dibohongi. Kurang sempurna apa hidupnya?
Sedari tadi Dania gatal ingin bertanya perihal keanehan Aura, tapi ia tahan. Prinsipnya, mereka yang percaya akan bicara tanpa diminta. Selama ini Dania selalu berusaha menjadi teman yang apa adanya, tidak menuntut ini itu. Keduanya pun pernah saling mengikrarkan untuk berteman tanpa menekan. Namun semakin lama ia penasaran juga ingin tahu, "Lo kenapa, Aura? Gue kayak nggak ngelihat lo tahu, nggak? Badan lo di sini, tapi entah kenapa pikiran lo kayak gak di sini. Ini bukan lo banget."
Aura menggeleng.
"Oke. Gue tunggu sampai lo siap cerita."
"Hai Aur," Gibran yang baru saja datang langsung menghampiri Aura. Ia menarik kursi kosong di samping bangku Aura lantas duduk sambil bertopang dagu memperhatikan wajah cantik Aura.
Aura mengalihkan pandangannya ke arah lain. Moodnya sedang tidak dalam keadaan baik. Kalau nekat meladeni sosok seperti Gibran, bisa-bisa otaknya meledak menahan emosi.
"Sejak kapan kalian berdua jadi dekat?" tanya Dania penuh selidik.
"Sejak Aur jadi pacar Gibran," Gibran menaik-turunkan alis tebalnya membuat Dania gemas ingin mencubit.
"Gemes gue pengen cubit alis lo yang kayak ulet bulu."
"Dania aja gemes apalagi Aur, iya kan?"
"Najis," Aura menimpali.
"Eh Gibran, lo emang cakep, tapi kalau mau ngajak pacaran sama yang statusnya single. Aura udah punya cowok."
"Aura udah punya cowok? Serius, Dan? Gue sumpahin lo berjodoh sama Uji kalau bohong."
"Kenapa lo bawa-bawa si ayam kate sih? Bikin mood gue rusak aja pagi-pagi."
"Dan, serius?"
"Serius Gibran."
"Yah, sakit hati Gibran, Aur udah punya laki," ujarnya dengan wajah sok sedih.
"Amit-amit, ya, lo Gibran. Jijik gue lihat lo," Aura bangkit lantas meninggalkan Gibran dan Dania.
"Salah gue apa coba, Dan? Aura kayak benci banget sama gue?"
"Kenapa lo jadi curhat sama gue? Dari mana lo menyimpulkan kalau Aura benci sama lo? Orang deket aja kagak!"
"Cewek selalu benar dan Gibran selalu salah. Kalau cewek salah balik lagi ke peraturan pertama. Ah kadal! Udah kayak senior-senior gila hormat gue," Gibran meracau sendiri dalam hati.
***
Fauzi melangkah gontai menuju kelasnya. Tiba-tiba di pertengahan jalan teriakan seseorang memaksanya berhenti.
"Fauzi!"
Fauzi berbalik dan mendapati Bu Nadine sudah berdiri di belakangnya.
"Hai, Bu. Eh astagfirullah, maksudnya selamat pagi, Bu."
"Masuk ke ruangan saya!"
"Lah, saya salah apa sama Ibu?"
"Jangan sok polos. Buka sepatu kamu!" suruh Bu Nadine.
"Yah, Ibu. Ini baru dua hari saya pakai. Masa tega, sih?"
"Peraturan dibuat bukan untuk dilanggar Fauzi Andriansyah."
Dengan sangat terpaksa Fauzi membuka sepatunya. Sepatu itu baru dibelinya sebelum liburan habis, dan sekarang harus dengan sukarela ia serahkan pada guru super kejam ini. "Punya Gibran kok nggak diambil, Bu? Ah... iya, Gibran kan Cucu pemilik sekolah. Uji mah apa atuh," ujarnya sambil melangkah pergi.
Bu Nadine hanya geleng-geleng. Ucapan Fauzi memang ada benarnya. Terkadang ia segan untuk memberi hukuman pada Gibran yang notabene Cucu dari pemilik sekaligus Kepala sekolah di sini, meskipun Gibran sendiri selalu menantang diberi hukuman, karena ia tidak suka dispesialkan di sekolah.
***
Gibran menekan tombol flush usai mengeluarkan isi lambungnya. Setelah perbincangan singkat dengan Aura dan Dania tadi, Gibran tiba-tiba merasa perutnya tidak nyaman. Entah karena apa, tapi sepertinya angin malam memang berdampak besar pada kesehatannya, begitulah Gibran. Ia membasuh wajah, merapikan rambut sejenak lalu kembali ke kelas karena mendengar bel berbunyi.
"Dari mana lo? Curang, sepatu lo masih awet, lah punya gue udah diambil sama singa itu," begitu sampai ke kelas Fauzi langsung mengomeli sahabatnya.
"Ya, nasib lo aja yang gak mujur," Gibran menjawab sekenanya. Jujur saja ia sedang enggan bercanda.
"Payah!"
Gibran melirik sekilas bangku Aura. Rupanya gadis itu juga sudah berada di kelas. Seulas senyum dilemparkan, namun Aura dengan bengis malah memalingkan wajahnya.
"Hhh... Gibran sabar kok orangnya."
Fauzi terkekeh geli. Perlu diketahui, biarpun begitu Gibran sama sekali belum pernah pacaran. Ia dingin terhadap perempuan kebanyakan, kecuali perempuan yang dikenalnya. Catat : perempuan yang ia kenal, bukan yang mengenalnya.
Bersambung...