Curhat colongan

1719 Kata
Dari jam pelajaran pertama sampai jam kedua Gibran menelungkupkan kepalanya di atas meja. Fauzi memperhatikan sahabatnya itu dengan saksama, dan merasa ada yang aneh. Biasanya jika tidak bolos Gibran akan mengerjai guru habis-habisan. Seperti menempelkan permen karet di kursi guru tersebut, atau yang paling sering yaitu berbuat gaduh di dalam kelas, tapi lihat sekarang anak itu tidur? Tidur di kelas bukan kebiasaan Gibran. "Gibran," Fauzi berucap pelan memanggil sahabatnya. "Gibran, woy!" sekali lagi ia memanggil, dan sekarang disertakannya sebuah sikutan. Panas. Karena penasaran Fauzi mengangkat tangannya lantas meletakan punggung tangannya pada kening Gibran. "Gibran lo panas banget!" Fauzi sedikit berteriak hingga membuat bangkunya juga Gibran menjadi pusat perhatian, bahkan sampai membuat Gibran terbangun. "Apaan, sih, Ji?" Gibran bertanya dengan mata yang masih terpejam. "Lo sakit, ya? Kok panas banget?" Bu Vania-guru yang kebetulan tengah mengajar di kelas itu berjalan menghampiri keduanya. "Kenapa Fauzi?" "Gibran panas, Bu." Dengan sangat terpaksa Gibran mengangkat kepala, ketika Bu Vania menghampiri mejanya, "Kayaknya saya sakit deh, Bu," lapor Gibran. "Masa, sih?" karena tidak percaya Bu Vania pun menyentuh dahi Gibran, "benar, sepertinya kamu demam Gibran. Lebih baik sekarang kamu istirahat di ruang kesehatan," imbuhnya. Bu Vania pun tak ingin kena teguran karena membiarkan cucu kepala sekolah yang sedang sakit tetap berada di kelasnya. Gibran mengangguk, lantas berjalan hendak menuju ke ruang kesehatan. Para gadis yang berada di kelasnya langsung berbisik-bisik membicarakan dirinya. Terakhir kali ia sakit sampai mengharuskan Gibran dirawat itu sewaktu kelas sepuluh, siswi-siswi SMA Emerald berbondong-bondong menjenguknya, membuat kegaduhan di rumah sakit sampai keluarga Gibran ditegur. Belum lagi bawaan mereka seperti boneka, makanan, buah-buahan dan lain-lain yang hanya membuat penuh ruangannya. Sekarang Gibran tidak ingin kejadian itu sampai terulang lagi. Pintu baru saja dibuka, namun pandangannya berubah kabur. Gibran diam sejenak, kemudian memejamkan mata, berharap dengan begitu pandangannya kembali normal. "Gibran, lo mau ke... " Brukkk Belum sempat Aura menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba saja lelaki itu tumbang dengan kepala membentur pintu. Aura yang baru saja kembali dari ruang guru untuk mengambil absensi siswa langsung terkejut, karena Gibran pingsan tepat di depannya. Aura berjongkok, "Eh Gibran lo kenapa? Jangan bercanda deh." "Fauzi, Ardi, tolong kamu angkat Gibran ke ruang kesehatan sekarang! Aura tolong kamu jaga Gibran di sana sampai dia sadar." "Tapi, Bu... " "Tidak ada tapi-tapian." Aura mengangguk pasrah, namun didalam hati ia menggerutu, "Nyusahin mulu sih lo." *** Setelah dikabari oleh pihak sekolah bahwa putra tunggalnya pingsan, Inka Nauradilla Ibunda Gibran bergegas ke sekolah untuk melihat keadaan Gibran. Jalanan yang macet kontan membuat kekesalannya memuncak, "Macet banget, sih!" dengus perempuan itu sembari mengambil ponselnya lantas menelepon seseorang. "Hallo, Pa." "Hallo, ada apa? Ini masih jam sekolah." "Papa, tolong lihat Gibran. Gibran tadi pingsan." "Papa sudah tahu. Jangan terlalu dimanjakan. Dia begitu karena kenakalannya sendiri, bukan?" "Papa kalau Gibran kenapa-kenapa gimana?" "Dia laki-laki. Kalau lemah bukan laki-laki namanya." "Papa, tolong... " "Iya, nanti Papa lihat." Inka memutuskan sambungan teleponnya. Papa mertuanya memang selalu seperti itu. Ia tidak pernah membiarkan Inka atau pun mama mertuanya memanjakan Gibran, padahal Gibran anak satu-satunya dan berarti Gibran juga cucu satu-satunya. *** Aura baru saja selesai menutup luka di pelipis Gibran yang tadi terbentur pintu. Bocah itu memang sering bertindak abnormal, tapi ketika sedang terlelap seperti ini Aura membenarkan sepenuhnya bahwa Gibran sungguh tampan. "Lo cakep tapi banyak tingkah, pecicilan, seenaknya, dan gue nggak suka itu." Aura menunduk dalam usai berbicara demikian. "Pernah hadir seseorang yang berarti banget buat gue. Dia baik, dia sempurna, tapi lo tahu? Akhirnya dia nyakitin gue juga. Dan itu yang bikin gue sekarang benci sama lo. Lo nakal dan pasti bukan cuma satu atau dua orang yang lo sakiti. Gue benci orang yang suka nyakitin orang lain!" kata Aura pelan. Entah mengapa Aura tiba-tiba saja menumpahkan seluruh isi hatinya. Cklek Aura langsung berdiri ketika mendapati seseorang masuk ke ruangan tersebut. Orang itu adalah Pemilik serta Kepala sekolah SMA Emerald. "Siang, Pak," Aura menyapa sembari menundukan kepala sebagai tanda hormat. "Siang. Bagaimana keadaan anak itu?" tanya Darell. "Emh... Gibran masih belum sadar, Pak," jawab Aura. "Yasudah. Kamu tunggu di sini sampai bunda Gibran datang. Kalau belum sadar juga mungkin Gibran akan langsung dibawa ke rumah sakit." "Baik, Pak." Setelah itu Pak Darell langsung pergi meninggalkan ruangan tersebut. "Kakek lo sebenarnya nggak terlalu manjain lo, tapi kenapa lo kayak gini, ya? Heran gue." Aura kembali duduk di samping ranjang tempat Gibran berbaring. "Ngh... " sebuah lengguhan kecil terdengar keluar dari bibir Gibran, dan perlahan Gibran mulai membuka mata, "Shh... gue dimana?" "Jangan berlagak amnesia deh. Ya di sekolah!" Aura menyahuti dengan nada juteknya. "Masih galak aja. Oh iya, ini pelipis Gibran kok pakai plester gini, Aur?" tangan Gibran terangkat menyentuh pelipisnya. "Lagian lo nyusahin banget. Kenapa coba mesti pingsan pas depan gue? Jadi kan gue yang disuruh ngurusin lo. Ketinggalan pelajaran deh gue jadinya. Kepala lo kejedot pintu," Aura melemparkan tatapan sinis pada laki-laki itu. "Gibran bakal ganti waktu Aur yang kebuang buat ngurusin Gibran," Gibran bertutur lembut, tak lupa sebuah senyum manis disertakannya membuat Aura mematung seketika. Itu senyum pertama yang terlihat begitu tulus. Biasanya Gibran memang sering mengumbar senyum, tetapi kali ini berbeda. "Aur terpesona 'kan sama senyum Gibran?" kalimat yang terlontar dari mulut Gibran sontak membuyarkan lamunannya. "Pede, lo. Jangan sok... " Brakkk "Gibran kamu nggak apa-apa? Kita ke rumah sakit, ya sekarang? Tadi udah dibilang jangan berangkat, malah maksain, demi pacar. Sekarang mana pacar kamu? Nggak ada, 'kan?" Inka datang dengan wajah panik, sepanik-paniknya. "Bunda apaan, sih? Gibran nggak apa-apa," Gibran mengelak menghindari sentuhan bundanya. Tentu saja laki-laki itu gengsi dengan perlakuan sang bunda yang demikian di depan Aura. "Lah memang betul, kan." "Tuh, yang berdiri di pojokan itu pacar Gibran. Cantik 'kan? Baik, pinter, ah... pokoknya sempurna," ujar Gibran panjang lebar. Aura melotot. "Benar kamu pacar Gibran?" tanya Inka. "Bu... " "Aduh kepala aku sakit, Bunda," Gibran mengaduh untuk mencegah Aura bicara yang sejujurnya. "Mana yang sakit?" Inka menyentuh kepala putranya. "Ini Bunda," Gibran memegangi kepalanya. Tidak sepenuhnya sandiwara, memang kepala Gibran sedikit sakit karena benturan tadi. "Tadi kenapa kamu bisa pingsan?" "Nggak tahu. Nggak enak badan. Aku demam, tadi juga muntah, terus pusing dan tiba-tiba udah collapse aja." "Besok-besok nggak usah pulang. Main PS aja terus sampai pagi. Bunda pusing sama Gibran yang nakalnya ampun-ampunan," tuturnya. Inka melirik Aura sekilas, "Hei, siapa nama kamu?" "A... Aura, Tante," jawab Aura dengan sedikit gugup. "Aura tolong Gibran diingetin. Jangan suka main kelewatan sampai lupa tidur, lupa makan, lupa segalanya, jangan begadang terus." "I... iya, Tante." "Kok kamu gugup gitu sih? Tante nggak gigit kok. Tante cuma gigit anak nakal sejenis Gibran ini," kata Inka sambil melirik sinis putranya. "Yaallah maafkan Aura. Mimpi apa bisa ketemu Tante-tante seperti ini,"Aura membatin. "Sekarang kamu mau apa? Mau pulang atau tetap disini?" "Pulang." "Yasudah. Bisa jalan sendiri nggak?" tanya Inka lagi. Gibran mengangguk. *** Seorang laki-laki berjongkok di depan sebuah pusara. Raka Chriatian, nama yang tertera pada batu nisan tersebut. "Ka, lo tahu gue udah berhasil melakukan dengan baik permintaan lo yang terakhir. Gue kirim dia bunga, kabarin dia, sampai akhirnya kemarin gue benar-benar ketemu dia." Adi menghela nafas sejenak, sebelum akhirnya melanjutkan kembali kata-katanya, "Lo benar. Dia gadis yang sangat cantik, polos, dan siapapun yang melihat senyumnya pasti nggak rela senyum itu tiba-tiba pudar. Gue ngerasain itu, Bro." Adi membuka kacamata hitam yang dikenakan, lantas mengusap air matanya. Penyesalan kian dalam kembali menyeruak, karena dirinya Raka pergi, dan karena dirinya pula Aura gadis yang dicintai Raka kini berbalik membenci sepupunya. "Gue nggak akan tinggal diam. Gue bakal bikin dia maafin lo. Semoga lo selalu bahagia disana." Adi langsung bangkit dan meninggalkan tempat peristirahatan terakhir sepupunya. *** Jam yang terpatri di dinding kamarnya menunjukan pukul 21.00 WIB. Sudah cukup larut, namun Gibran masih belum bisa terpejam. Sejak sore tadi, rasa nyeri di perutnya tak juga hilang. Gibran memang memiliki riwayat sakit maag, tapi tidak pernah separah ini jika kambuh. Meski tak terlalu parah, namun harus Gibran akui dalam enam bulan terakhir penyakit itu cukup merepotkan. Dengan sedikit tertatih, Gibran menuruni satu per satu anak tangga hendak mengambil obat di kotak P3K yang ada di lantai bawah. T-shirt putih polos yang dikenakannya sudah banjir dengan keringat dingin. Rumah sudah nampak sepi seperti biasa. Sang bunda kemungkinan sudah tidur, dan ayahnya bisa dipastikan sama sekali belum pulang. Gibran begitu merindukan ayahnya. Ia ingin bisa melakukan kegiatan-kegitan sederhana yang biasa dilakukan ayah dan anak ketika bersama. Misalnya nonton bola, atau yang lain. Gibran membuka kotak P3K, mengambil sebuah tablet berwarna hijau serta menguar bau mint yang ia yakini merupakan obat sakit maag. Setelah obat itu berhasil tertelan, Gibran membaringkan tubuhnya di sofa, menunggu obat itu bereaksi. Tak berselang lama, Gibran mendengar pintu utama rumahnya terbuka, dan tanpa melihat pun Gibran sudah tahu siapa yang masuk. Ayahnya. Setiap hari sang ayah memang membawa kunci sendiri, supaya ketika pulang tak harus menyusahkan siapa pun. Gibran pura-pura tidur, ingin tahu apa yang akan dilakukan ayahnya. Devan melangkah masuk ke dalam rumah, dan mendapati putranya tertidur di sofa. Helaan napas berat terdengar. "Gibran, kenapa tidur di sini? Pindah ke kamar!" Jujur Devan sangat menyayangi putra tunggalnya itu, tapi belakangan ini nilai Gibran terus saja merosot bahkan ia sering mendapat panggilan dari sekolah karena kenakalan-kenakalan Gibran. Biar pun SMA Emerald milik Darell-ayahnya, tetap saja mereka semua harus bersikap profesional. Alasan mengapa Devan sering marah-marah adalah karena ia merasa putus asa menghadapi Gibran. Dinasehati tidak bisa, ditekan justru semakin berontak. Entah harus bagaimana ia bersikap. Mungkin sikap Gibran yang demikian karena tadinya terlalu dimanjakan. "Gibran!" Devan terpaksa setengah berteriak. Gibran terlonjak kaget, dan langsung bangkit dari posisinya semula. Anak laki-laki itu beringsut takut melihat tatapan nyalang sang ayah. Apalagi salahnya? Gibran hanya tidur dan tidak melakukan apa pun, tapi tetap saja ayahnya marah. "Pindah ke kamar! Ayah lelah, tidak ingin berdebat dengan kamu." "Gibran salah apa, Yah? Kenapa Ayah marah lagi?" Devan tak mengindahkan pertanyaan Gibran. Ia melangkah begitu saja meninggalkan putranya. Hari ini Devan memang sangat lelah, banyak masalah di kantor, dan ketika melihat Gibran, tak tahu kenapa ia jadi semakin emosional. "Turuti apa yang Ayah bilang, Gibran! Ayah hanya meminta kamu pindah ke kamar, bukan mengajak berdebat," titah Devan tanpa berbalik. "Ayah aja yang sensi! Aturan lihat anak ketiduran di sofa itu dibangunin baik-baik, jangan teriak dan marah-marah. Lekas tua nanti!" Gibran mengeluarkan unek-uneknya, kemudian bergegas ke kamarnya. Devan yang mendengar hal itu, menggeram kesal. Gibran benar-benar tumbuh jadi anak kurang ajar. Bagaimana mungkin dengan lantang Gibran melawan ucapannya? Tidak sopan. Bersambung...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN