Mentari pagi dengan gagah menampakan sinarnya, menyebar kehangatan pada seluruh penjuru dunia. Namun semua yang disuguhkannya tak mampu membuat si penghuni kamar bernuansa hitam putih itu terjaga. Gibran masih bergulung dengan selimut tebalnya. Bukan tidur, justru terdengar rintihan-rintihan kecil yang lolos dari bibirnya.
Ia terlihat tak nyaman dalam tidurnya, bergerak gelisah dengan tangan yang tak pernah lepas mencengkram titik rasa sakitnya. Sedari tadi tangan Gibran memberikan remasan kuat pada bagian perutnya yang terasa amat sakit. "Shh... "
Brakkk
Pintu dibuka dengan kasar hingga menimbulkan dentuman keras. Seorang laki-laki berkemeja biru dengan dasi yang tersampul di kerah kemejanya, serta dilapisi jas, masuk tanpa permisi. Devan menarik tubuh putranya dari tempat tidur secara paksa membuat Gibran terhenyak kaget.
"Bangun anak malas! Pintar tidak, sekolah jarang, mau jadi apa kamu?" cerca Devan seraya menyeret putranya masuk ke kamar mandi. Ia menghantamkan tubuh kecil Gibran ke dinding sampai membuat anak laki-laki itu mengerang tertahan. Devan langsung mengguyur Gibran dengan air. "Kamu itu maunya apa, Gibran? Apa salahnya sehari saja tidak membuat Ayah marah? Bangun pagi, sarapan, berangkat sekolah, dan belajar dengan baik. Buat Ayah merasa kalau kamu memang layak jadi anak Ayah."
Byurrrr
"Di... ngin, Yah."
"Mas!" sentak Inka. Wanita itu bergegas menghampiri putranya sebelum Devan kembali mengguyur Gibran, "gila kamu!" tambahnya.
"Pergi!" titah Devan.
"Mau kamu apakan anak kita? Gibran lagi sakit! Kamu gak tahu 'kan kalau kemarin Gibran sampai pingsan di sekolah? Ya, kamu nggak tahu karena kamu gak pernah mau peduli!"
"Dia sakit juga jelas karena ulahnya. Jangan terlalu dimanjakan! Anak seperti ini memang pantas diberi pelajaran!"
Inka menggeleng, benar-benar tidak mengerti dengan pola pikir suaminya. Mengapa Devan begitu tega melontarkan kata-kata seperti itu? Suaminya memang tak punya hati. "Kalau kamu tidak tahu apa pun sebaiknya diam, dan aku minta kamu pergi sekarang!"
Devan melangkah keluar meninggalkan anak istrinya. "Manja!"
"Di... ngin, Bunda," lirih Gibran. Matanya menatap sang bunda pilu, seolah tengah meminta perlindungan.
Inka merengkuh tubuh Gibran, membantunya bangkit, lantas menuntunnya kembali ke kamar. "Maafin Ayah, ya, Sayang. Mungkin Ayah lagi capek dan banyak pikiran."
***
Sekolah digegerkan dengan ketidakhadiran Gibran, terlebih mereka yang sempat melihat Gibran dijemput bundanya kemarin karena sakit. Tak paham mengapa berita itu bisa menyebar dengan cepat.
"Yaampun pokoknya gue hari ini mau ke rumahnya, mau bawain makanan kesukaan dia."
"Emang lo nggak takut sama Pak Darell?"
"Kenapa harus takut? Gue kan mau jengukin Cucunya. Lagian 'kan Gibran nggak serumah sama Pak Darell."
Begitulah percakapan beberapa siswi yang samar-samar terdengar oleh Aura. Gadis itu hanya geleng-geleng tanpa berniat ikut campur. Dari dulu memang seperti itu reaksi yang ditunjukan oleh perempuan-perempuan itu, padahal jika mereka sakit Gibran belum tentu akan balik memperhatikan mereka.
"Aura!"
Aura menghentikan langkahnya lalu berbalik.
"Eh... lo tahu Gibran sakit? Emang kemarin gimana aja di UKS? Lo kan yang nemenin dia." Dari nada bicara Dania, nampak jelas kalau gadis itu penasaran.
"Biasa aja sih setahu gue. Si Gibran aja yang manja," Aura menanggapi dengan santai pertanyaan Dania.
Sementara di kelas Fauzi terus mengoceh karena para gadis itu menghujaninya dengan parsel, coklat, dan lain-lain. "Lama-lama gue buka lapak juga nih, jualan parsel. Lagian banyak amat deh fans lo, Gibran. Padahal masih cakepan juga gue."
"Eh... Fauzi, awas aja kalau parsel gue nggak sampai ke Gibran. Gue pastiin hidup lo nggak bakal selamat," ujar salah satu siswi.
"Udah panen parsel, panen ancaman pula. Maafin Gibran Yaallah," Fauzi menghela napas panjang.
Dania dan Aura yang baru masuk kelas tak bisa menahan tawa melihat bangku Fauzi yang penuh dengan titipan. "Pau lo mau jualan? Gila banyak banget," selain Fauzi yang hobi mengganggu Dania, Dania pun kadang usil pada Fauzi.
"Kok kamu gitu, sih, Yang. Ah iya mau coklat? Nih Abang kasih satu," ujar Fauzi seraya menyodorkan coklat berukuran besar pada Dania.
"Heh, Fauzi itu coklat gue! Kasih sama Gibran. Kalau lo mau PDKT modal dikit kenapa?" Salsa yang tak lain salah satu fans berat Gibran langsung mencak-mencak melihat coklat dengan pita merah mudanya malah diserahkan pada orang lain.
Fauzi menyimpan kembali coklatnya, "Takut ada sianidanya, jadi gue kasih Dania dulu."
"Heh, maksud lo apa? Biar gue mati duluan?" Dania bertolak pinggang sambil marah-marah.
Fauzi mengerucutkan bibirnya, lal mencoba menjelaskan, "Bukan gitu, Yang. Ih nggak ngerti banget apa yang Abang ucapkan."
"Ck,"
***
Inka menatap nanar, Gibran yang kini sudah kembali berbaring. Ia baru sadar kalau tubuh Gibran terlihat lebih kurus dari sebelumnya. Mungkin salahnya juga Devan yang selalu sibuk sampai baru menyadari hal itu. Sebagai orang tua, harusnya Inka lebih peka dengan kondisi putranya. Ia kadang berlama-lama di butik, mengurusi ini itu, dan baru pulang ketika sore menjelang. Suaminya apalagi. Devan kadang berangkat sebelum Gibran bangun, dan pulang larut malam saat semua sudah tertidur.
Tit
Bunyi khas sebuah alat pengukur suhu tubuh membuyarkan lamunannya. Inka langsung menarik benda yang sebelumnya diselipkan di ketiak Gibran, lantas melihat angka yang tertera di sana. Betapa terkejutnya Inka begitu mendapati suhu tubuh putranya di atas normal. 38,6° angka yang cukup tinggi.
"Gibran, kita ke dokter, ya, Nak? Badan Gibran panas banget," tutur Inka sembari mengusap penuh sayang puncak kepala putranya.
Gibran memang merasa sakit, tapi kalau ia mengiyakan ucapan sang bunda, ayahnya akan semakin leluasa mengatainya manja. Gibran tidak ingin itu terjadi. Lebih baik ia menahannya saja, semoga tidak semakin buruk. "Nggak, Bunda."
"Jangan pikirin apa kata Ayah. Gibran butuh dokter sekarang karena Gibran sakit, bukan manja," ujar Inka. Ia paham betul isi kepala putranya. Belakangan suaminya memang sering meledak-ledak seperti hari ini. Mungkin karena pekerjaan, tapi tidak seharusnya 'kan anak jadi pelampiasan?
Gibran tetap menggeleng.
"Gibran, kenapa badan Gibran sekarang kurusan? Gibran gak pernah makan, ya, kalau Bunda gak ada?" tanya Inka.
Gibran diam saja. Ingin membenarkan, tapi takut dimarahi. Sudah dibilang bukan, kalau enam bulan terakhir ini sakitnya sering merepotkan. Telat makan sedikit langsung terasa. Gibran mudah merasa kenyang meskipun makanan yang masuk baru sedikit, belum lagi sering timbul nyeri yang disertai mual, padahal jelas-jelas Gibran sudah mengisi perutnya. Terang saja itu semua membuat Gibran jadi malas makan. Wajar kalau berat badannya menyusut.
"Kok nggak dijawab, Sayang?" Inka bertanya lagi.
"Gak pa-pa, Bunda."
"Gibran jangan terlalu banyak pikiran. Makan yang benar, biar gak sakit. Bunda sayang sekali sama Gibran. Mulai besok Bunda janji nggak akan kemana-mana, tapi Gibran juga harus janji jangan nakal lagi."
"Gibran tahu Bunda sangat suka sama pekerjaan Bunda sekarang. Gibran gak pa-pa kok. Di rumah 'kan ada Bi Inah. Gibran udah biasa sama Bibi."
"No. Bunda lebih mencintai anak Bunda," tegas Inka.
Gibran tersenyum tipis, namun detik berikutnya mata Gibran kembali terpejam. Rasa sakit itu datang lagi. Gibran mengubah posisi tidurnya, jadi menyamping membelakangi sang Bunda kemudian menekuk lututnya. Tangan yang semula bebas, kini tertahan di perutnya.
"Gibran kenapa?"
"Ngantuk, Bunda. Mau tidur."
"Ada yang sakit? Coba lihat Bunda."
"Nggak Bunda. Aku ngantuk mau tidur, lebih baik Bunda keluar. Gibran gak bisa tidur kalau bunda ajak ngobrol terus."
Inka terkekeh pelan, "Ya sudah, Gibran tidur sekarang. Bunda keluar, ya."
Gibran hanya terlihat menganggukkan kepala tanpa bersuara. Setelah yakin bundanya keluar, Gibran kembali meluapkan rasa sakitnya. Wajahnya yang sudah putih semakin putih saking pucatnya.
"Argh... "
***
Fauzi lebih banyak diam. Bisa dibilang hari ini sedikit membosankan karena tidak ada Gibran si tukang onar. Biasanya Gibran yang berulah, dan Fauzi yang menikmati hasilnya.
From : Gibran
Ji, minta nomor Aura.
___________________
Baru saja ia memikirkan bocah itu, ternyata sudah ada satu pesan darinya. Rupanya Gibran benar-benar gencar pendekatan, sampai ketika sakit pun hanya Aura yang ada di otaknya.
To : Gibran
Lo sehat? Peak. Sekolah kagak, tiba-tiba sms minta nomor Aura.
____________________
From : Gibran
Bicik. Buruan, gue mau diperhatiin.
____________________
To : Gibran
Ya tunggu. Kayak Aura bakal perhatian aja.
____________________
"Dania," panggil Fauzi.
"Apa?" tanya Dania.
"Minta nomor Aura dong," Fauzi memasang tampang melas.
"Minta sama orangnya langsung," Dania berujar keras, agar Aura mendengar.
Fauzi melengos, kemudian bertanya, "Aura minta nomor lo dong."
"Buat apaan?" Aura mengernyit heran.
"Gibran yang minta."
"Ogah!" Aura langsung menolak mentah-mentah.
"Ayolah, semalam dia sakit parah gitu. Kalau tiba-tiba mati gimana? Nanti dia penasaran karena gak sempat dapat nomor lo gimana? Lo di gentayangin, mau?"
Aura mempertimbangkan permohonan Fauzi, tapi salah satu diantara pertimbangan itu adalah ibunda Gibran yang sedikit bawel. Aura takut jika penolakannya akan berujung urusan panjang tante-tante itu. Aura merobek secarik kertas lalu menuliskan nomor ponselnya di sana. "Itu nomor gue. Jangan macem-macem!" seru Aura sambil menyerahkan kertas itu.
"Nomor cantik nih."
Aura tak menjawab, karena menjelaskan tentang semua itu hanya akan membuka luka lamanya. Dulu nomor itu dibelikan oleh Raka. Nomornya dengan nomor Raka hanya berbeda satu digit.
To : Gibran
081220412124 itu nomornya.
____________________
From : Gibran
Terimakasih, Uji :*
Btw nomornya cantik, ya kayak orangnya.
____________________
To : Gibran
Najis cium-cium. Maafkan Gibran Yaallah, bukan Uji yang homo :)
Iyain aja biar cepet.
____________________
From : Gibran
Cih. Ji bilang makasih sama Aur. Nomornya udah gue save.
____________________
To : Gibran
Oke. Ntar gue bilangin.
____________________
Fauzi langsung menoleh, "Aura, kata Gibran makasih. Nomor lo udah Gibran save."
Siswa perempuan yang tak sengaja mendengar langsung heboh,"What? Gibran minta nomor Aura?"
Aura melotot ke arah Fauzi, "Fauzi Andriansyah lo bikin gue dalam masalah besar!"
Aura yakin setelah ini hidupnya akan menjadi lebih buruk. Ia harus bersiap menerima teror-teror dari fans Gibran.
Fauzi menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Ia lupa kalau sahabatnya itu memiliki beberapa fans fanatik yang mungkin melakukan apa saja kalau dilanda cemburu, termasuk menyakiti gadis yang tengah didekati Gibran. Fauzi mendesis pelan, "Sorry."
Bersambung...