Aura merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Tugas sekolah yang menumpuk membuatnya merasa sangat lelah. "Kenapa nggak ada liburan tambahan, sih? Gila baru juga masuk tugas udah numpuk aja," seloroh Aura pada atap-atap kamarnya yang seakan menjadi lawan bicaranya.
Sedang asik mengomel, ponsel yang tak sengaja tertindih oleh tubuhnya tiba-tiba bergetar, membuat Aura terlonjak kaget. Dengan gerakan cepat, ia mengambil ponselnya.
From : 081220002916
Selamat malam Aura :)
____________________
To : 081220002916
Sp?
____________________
From : 081220002916
Gibran. Jutek banget :(
____________________
To : 081220002916
B aja.
____________________
From : 081220002916
Lagi apa?
____________________
To : 081220002916
Kepo!
____________________
From : 081220002916
Gibran lagi sakit loh Aur :)
____________________
To : 081220002916
Trs gue peduli?
____________________
From : 081220002916
Tuhan L
Teleponan yukk Aura :)
____________________
To : 081220002916
Ga
____________________
From : 081220002916
Aura ayolah. Save nomor Gibran, ya, please.
___________________
Aura langsung menyimpan nomor Gibran, walaupun sebenarnya enggan.
To : Gibran
Mls. Dah
____________________
From : Gibran
Btw Aur pake hp yang bayarnya per karakter ya? Singkat bgt L
Auraaa pleaseeeee
____________________
To : Gibran
Ssg. Ga.
____________________
From : Gibran
Ssg apaan?
Please sekali ajaa :)
____________________
To : Gibran
Oke terserah
____________________
From : Gibran
Oke siap angkat ya peri cantik ;)
____________________
Aura bergidik, ada-ada saja tingkah lelaki satu ini. Tidak lama kemudian, permintaan sambungan telepon pun muncul. Aura memasang headsetnya lalu menerima panggilan dari Gibran dengan menekan lambang gagang telfon berwarna hijau pada ponselnya.
Di sisi lain...
Tubuh Gibran bergetar saat mendengar suara Aura dari seberang telepon. Entah karena ia benar-benar jatuh cinta atau justru karena perutnya lapar sedari tadi tidak ada asupan makanan. Gibran memang belum makan sejak pagi tadi karena rasa mual yang menyeruak hebat. Laki-laki itu berbaring dengan ponsel yang menempel di telinga.
"Hai... "
"Mau ngapain sih? Kurang kerjaan banget ngajak gue teleponan malam-malam."
"Galak banget, sih, Non. Lekas tua nanti."
"Sebodo amat. Buruan mau ngapain?"
"Mau dengar suara Aur aja, kan tadi kita gak ketemu."
"Alay. Makanya jangan kebanyakan bolos."
"Gibran sakit."
Gibran tak mendengar tanggapan dari gadis itu. Ia menjauhkan ponselnya untuk melihat apakah masih tersambung, atau memang Aura sudah memutuskan sambungan teleponnya. Ternyata masih terhubung. "Suara Gibran juga beda 'kan Aur?"
"Makanya, hidup yang normal-normal aja."
Gibran tak pernah sekalipun berpaling dari gadis itu. Mendengar Aura yang sekedar mengomel atau marah-marah, menjadi daya tarik tersendiri baginya.
"Heh, ngajakin teleponan cuma buat diem doang. Buang-buag pulsa aja."
"Lemes."
"Ya tidur!"
Mendengar suara Aura yang tak kunjung melunak, terus menerus dengan volume tinggi membuat Gibran jengah sendiri. Mungkin kali ini Aura sedang tidak ingin diganggu, jadi Gibran memutuskan untuk menyudahi acara teleponan mereka. "Aur, Gibran tutup dulu, ya? Maaf kalau Gibran ganggu. Do'in Gibran cepat sembuh, biar bisa ketemu Aur lagi."
"Ya."
"Dadah... Aur."
"Hm... "
***
Aura menatap ponselnya. Telepon dari Gibran baru saja di putus. Sebenarnya Aura sadar kalau Gibran sering memperhatikannya dari kelas sepuluh, tapi karena waktu itu ia masih bersama Raka, jadi benar-benar tidak ada tempat untuk Gibran. Lain halnya dengan sekarang, Raka sudah tidak ada, dan rasanya sulit untuk membuat Aura kembali mempercayakan hatinya pada seseorang, terutama pada orang seperti Gibran. Kalau orang seperti Raka yang dianggapnya sempurna saja bisa dengan mudah membuat Aura hancur, apalagi anak nakal seperti Gibran.
Aura mengetik sebuah pesan yang ditujukan pada Gibran.
To : Gibran
Cepat sembuh anak nakal.
____________________
Raka tak hanya pergi dengan meninggalkan tumpukan luka, tertinggal pula rasa takut untuk kembali jatuh cinta. Raka sudah sangat dalam mencederai hatinya. Pergi tanpa mengucapkan selamat tinggal, dan membuatnya terbodohi karena kebohongan-kebohongan yang sengaja dihadirkan.
"Gue emang bodoh!"
Aura memilih menumpahkan keluh kesahnya pada sebuah buku, menulis apa pun yang mungkin ia tulis, berharap dengan demikian beban yang dipikul memudar dengan sendirinya.
Pernah kutanam tumbuhan bernama cinta di dalam sepetak tanah yang kuyakini itu hati. Dipupuknya dengan harapan juga perhatian agar kelak tumbuh indah terawat dan takkan berbalik menyakiti. Namun tumbuhan liar merambat bernama dusta, tertanam tepat di samping tanaman cinta saat ini. Membuat cinta terluka dan perlahan nyaris mati.
Setidaknya kalimat-kalimat melankolis itulah yang sanggup digoreskan Aura, untuk mewakili perasaannya.
Drt... Drtt... Drtt...
From : Gibran
Terimakasih. Om titip Gibran, ya.
____________________
Aura melotot membaca balasan dari Gibran. Benarkah pesan itu dikirim oleh ayah Gibran? Atau itu hanya bentuk tipuan Gibran semata? Aura tidak tahu, dan tidak mau tahu. Toh hanya membuat pusing saja.
***
Gibran melangkah gontai menuruni anak tangga. Entah bagaimana keadaan tubuhnya, yang jelas ia harus dapat bangkit. Semalam karena kondisi Gibran cukup mengkhawatirkan, akhirnya Devan memanggil dokter. Dokter menjelaskan bahwa Gibran harus melakukan cek darah jika keadaannya semakin memburuk. Tentu saja Gibran tidak bersedia melakukan hal itu karena itu artinya ia harus berurusan dengan makhluk kecil menyakitkan bernama jarum. Itulah sebabnya kini Gibran berusaha terlihat baik-baik saja. "Selamat pagi, Bunda," sapa Gibran seraya membenarkan dasi abu-abunya.
"ASTAGA GIBRAN FEBRIAN!" pekik Inka melihat putranya yang sudah berpakaian rapi, mengingat semalam bocah itu sempat demam tinggi bahkan muntah sampai terkulai lemas.
"EMERALDI UTAMA," sambung Gibran melengkapi nama panjangnya.
Inka melotot, "Kamu mau sekolah?"
"Iyalah, Bun. Masa mau dugem. Jep ajep ajep," seloroh Gibran sambil menarik kursi makan dan duduk disana, "Ayah mana?" tanyanya.
"Sudah berangkat. Kasihan Ayah semalam gak bisa tidur jagain Gibran," jawab Inka sambil membereskan piring bekas Devan sarapan tadi. Melakukan hal kecil seperti itu bagi Inka tidak harus dibebankan pada asisten rumah tangganya.
"Terus salah Gibran?" sewot Gibran, ia merasa kalau sang bunda tengah menyalahkan dirinya.
Inka diam, pura-pura tidak mendengar.
"Gibran ngambek. Gak mau tahu ngambek pokoknya ngambek, titik!" Gibran merajuk.
"Uh, anak Bunda. Jangan ngambek dong, Nak. Gibran gak usah sekolah, ya? Bobo aja di rumah, Bunda buatin sup jagung kesukaan Gibran, mau?" bujuk Inka yang langsung dibalas dengan gelengan, "Gibran, sayang," bujuknya lagi.
"Bye, Bunda. Bye."
Gibran bangun dan langsung melangkah pergi dengan ransel yang tersampir di kedua bahunya.
"Gibran sarapan dulu, ini buburnya dimakan!"
"Gak mau usah siang. Nanti kesiangan, terus dijemur, jadi item jelek, kuyu. Ew... "
"Emang Gibran pernah ganteng?"
"Ganteng dong! Gibran bawa motor ya, Bunda? Dadaahhh."
"GIBRAAAAANNNN ..."
***
Gibran berjalan dari arah parkiran menuju kelasnya. Tangan laki-laki itu tak lepas menekan-nekan perut bagian atasnya yang terasa nyeri. Entah sudah berapa banyak obat pereda nyeri lambung yang ia minum, namun tak ada satupun yang membuatnya lebih baik.
"Gibran!"
Dania berlari menghampiri Gibran.
"Kenapa?"
"Hari ini gue belum ketemu Aura. Tadi Chika bilang kalau dia lihat Aura dibawa sama Tiffany ke arah gudang sekolah. Gue takut Tiffany macem-macem," ujar Dania.
"Ya udah, lo ke kelas aja. Biar gue yang susul Aura." Gibran langsung melanjutkan langkahnya. Ada sedikit kekhawatiran mendengar nama Tiffany, pasalnya perempuan itu begitu nekat jika merasa tidak suka akan sesuatu hal.
Sementara itu ...
Brakkk
Tiffany mendorong tubuh Aura hingga membentur pintu gudang sekolah. "Heh, lo jangan sok kecakepan deh. Mentang-mentang Gibran minta nomor lo, terus lo merasa penting?" Tiffany mencengkram kuat leher Aura, hingga gadis itu meringis tertahan.
"Ma... maksud lo apa?"
"Jangan sok polos lo! Gibran itu seleranya tinggi. Mana mungkin Gibran suka sama cewek super rata kayak lo. Jadi please kurang-kurangin!" Vina, sahabat Tiffany turut bicara.
"Terus hhh... kalian pikir Gibran bakal suka sama cewek model cabe-cabean kayak kalian?" ujar Aura.
Plakkk
Tiffany tanpa rasa kasihan langsung melepaskan satu tamparan keras pada pipi mulus Aura, membuat gadis itu merintih sakit. "Lo jauhin Gibran, atau lo... "
"Atau apa?"
Tiffany mematung seketika mendengar suara yang begitu dikenalnya.
Tap... Tap... Tap
Seorang laki-laki melangkah mantap semakin dekat ke arahnya.
"Engh... i... ini nggak seperti yang lo lihat," ujar Tiffany dengan terbata-bata.
Laki-laki itu menarik lengan Aura untuk berlindung di belakangnya. "Kalau lo sentuh dia, atau bahkan lo sakitin dia, gue pastikan nama lo bakal tercoret dari daftar siswa/siswi SMA Emerald!" sentaknya. Seseorang yang sedari tadi membuat Tiffany tak berkutik memanglah Gibran.
Gibran tak sengaja melihat Aura tengah dikerjai oleh salah satu fans fanatiknya. Laki-laki itu langsung membawa Aura menjauh dari mereka. "Maafin Gibran, ya, Aur," Gibran berujar lembut.
"Sekarang lo puas, kan? Gara-gara lo yang deketin gue nggak jelas mereka jadi hampir celakain gue. Untung aja salah satu dari mereka gak ada yang bawa pisau terus nusuk gue," Aura menggembungkan pipinya karena kesal.
Gibran yang melihat hal itu kemdian menyunggingkan seulas senyum, "Itu nggak akan terjadi, karena sebelum mereka sempat menyentuh Aur, Gibran pastikan kalau mereka yang lebih dulu ngerasain itu. Kebanyakan nonton sinetron nih Nona Aur. Fans Gibran nggak seganas itulah. Dan Aur tahu, hari ini sikap Aur bikin Gibran jatuh cinta untuk kesekian kalinya."
"A... paan, sih, Lo. Nggak jelas!" Aura menyentakkan tangannya yang semula dalam genggaman Gibran lantas berlalu dari hadapan laki-laki itu.
Gibran berusaha menahan tawa melihat pipi Aura yang tiba-tiba memerah. Aura sangat lucu dan menarik. Selalu ada saja yang membuat Gibran jatuh cinta pada Aura setiap harinya.
Gibran tak pernah merasakan hal semacam inisebelumnya. Biarpun termasuk kategori orang tampan dan famous diEmerald, tapi Gibran tak pernah sekalipun berpacaran. Menurutnya pacaran hanyabuang-buang waktu dan uang. Lebih baik waktu dan uangnya ia habiskan bersamasahabatnya. Lagi pula bundanya dan Bi Inah pernah bilang, kalau kita tidak bisamengontrol diri, pacaran itu hanya akan menjerumuskan pada lubang dosa
Bersambung...