Chapter 02

1395 Kata
Dalam diam Evrard menikmati hidangan santap malamnya seorang diri. Semenjak Lavender mulai menginjakkan kaki di rumahnya, mereka tidak pernah sarapan atau makan malam bersama. Ya. Memang dirinya yang sengaja menjaga jarak dan tidak ingin berinteraksi dengan istrinya tersebut. Sebenarnya rumah yang kini mereka tempati sekarang, dulunya ia persiapkan untuk Chelsea. Perempuan yang mempunyai tempat istimewa di hatinya dan sangat dicintainya. Sayangnya, kini hubungan mereka sebagai sepasang kekasih terpaksa disudahi sejak ia mendapat titah untuk menikahi seorang gadis buta yang merupakan korban kecelakaan. Andai saja yang menjadi pelaku tunggal dalam kecelakaan itu bukan sang adik kesayangan, sudah pasti dengan lantang Evrard akan menentang keras titah tersebut. Tidak mungkin baginya lebih menerima titah konyol tersebut daripada harus mengorbankan kebahagiaannya bersama perempuan yang sangat dicintainya. Apalagi ia dan sang pujaan hati telah menjalin kasih selama beberapa tahun. Untung saja, meski hubungannya bersama Chelsea telah berakhir, perempuan tersebut masih tetap bersedia menjalin komunikasi dengannya. Bahkan, sesekali Chelsea masih menyempatkan diri berkunjung ke rumahnya untuk sekadar mengobrol. Kadang Chelsea juga mengajak Lavender mengobrol karena mantan kekasihnya tersebut merasa sangat iba terhadap keadaan perempuan asing di rumahnya itu. Setelah menghabiskan makanan kesukaan yang disiapkan oleh Leyna, Evrard memanggil asisten rumah tangga kepercayaannya tersebut. Evrard ingin mengetahui hal-hal yang dilakukan oleh Lavender selama beberapa hari terakhir. Sudah tiga hari Evrard melewatkan informasi mengenai aktivitas Lavender selama tinggal di rumahnya, karena ia selalu lupa menanyakannya. Ia memang sengaja menugaskan Leyna untuk mengawasi Lavender tanpa sepengetahuan siapa pun. “Tuan, tadi siang Nyonya tidak menghabiskan makanan yang saya hidangkan. Nyonya juga hampir seharian berada di dalam kamarnya,” Leyna langsung memberi tahu sang majikan seperti tugasnya selama ini tanpa diminta. “Kamu tahu alasan kenapa makananmu tidak dihabiskan olehnya?” tanya Evrard sambil bersidekap dan menatap datar Leyna. “Mungkin Nyonya mulai bosan dengan masakan saya, Tuan,” beri tahu Leyna dengan nada mencicit. Evrard hanya manggut-manggut. “Sebaiknya tanyakan apa makanan kesukaannya. Jika sudah tahu, kamu langsung buatkan,” sarannya. “Sebelumnya saya minta maaf, Tuan. Saya sudah pernah menanyakannya langsung kepada Nyonya, tapi Nyonya hanya diam. Bahkan, Nyonya terkesan mengabaikan pertanyaan saya, Tuan.” Leyna menunduk. Ia tidak berani menatap sorot mata dingin milik Evrard. “Coba tanyakan pada pengasuhnya. Ia pasti tahu, mengingat mereka hampir 24 jam bersama,” Evrard kembali memberikan sarannya. “Baik, Tuan. Nanti saya akan menanyakannya pada Wendy,” jawab Leyna patuh sambil mengangguk. “Ada lagi yang ingin kamu laporkan menyangkut Lavender kepada saya?” Evrard bertanya sebelum meneguk sisa air putih di dalam gelasnya. Melihat gelengan kepala Leyna, Evrard hanya memberi isyarat kepada asisten rumah tangganya tersebut untuk pergi dari hadapannya. Evrard langsung beranjak dari duduknya dan meninggalkan meja makan saat mendengar telepon rumahnya berdering. *** Di dalam kamar yang tidak terlalu banyak ada furniture, Lavender membiarkan Wendy menuntunnya berjalan mencapai ranjang agar ia bisa duduk. Keinginannya tadi yang mendasarinya keluar kamar terlupakan begitu saja karena perkataan menyakitkan dari tuan rumah tempatnya tinggal. Bahkan, ia membuat Wendy mendapat ultimatum dari laki-laki tersebut. Tanpa ia ketahui, Wendy kini sedang meneteskan air mata karena perasaan iba terhadap keadaannya. “Wen,” panggil Lavender dengan nada serak setelah bokongnya menyentuh permukaan kasur yang empuk. “Maafkan aku. Gara-gara aku, kamu sampai dimarahi oleh Tuan,” pintanya sambil meraba-raba tangan Wendy agar bisa dipegangnya. Dengan cepat Wendy menyusut air matanya walau Lavender tidak bisa melihatnya sedang menangis. “Tidak usah dipikirkan, Nyonya. Lagi pula sudah berlalu,” ucapnya menenangkan. “Oh ya, apakah Nyonya sudah merasa lebih baik?” tanyanya mengalihkan topik pembicaraan. Usai makan siang tadi Lavender hanya ingin berbaring di atas kasurnya karena merasakan kepalanya pusing. Menjelang sore, tubuh Lavender pun mulai panas. Saat mengetahui perubahan kondisi sang majikan, dengan sigap Wendy mengambil termometer dan mengukur suhunya. Setelah mengetahui hasilnya, ia pun langsung memberikan obat penurun panas sehingga majikannya tersebut bisa beristirahat. “Sudah jauh lebih baik, Wen. Terima kasih banyak ya,” ucap Lavender tulus walau suaranya masih terdengar sangat parau. Ia memundurkan duduknya agar bisa bersandar pada kepala ranjang. “Sudah menjadi kewajiban saya, Nyonya,” Wendy menanggapinya seadanya. “Oh ya, tadi Nyonya keluar ingin mencari apa?” tanyanya sambil menyelimuti kaki Lavender. “Aku ingin mengambil air minum karena haus,” Lavender menjawabnya dengan jujur. Tadi Lavender tiba-tiba merasa tenggorokannya sangat kering sehingga membuatnya terbangun dari tidurnya. Saat mengambil botol air yang biasa Wendy letakkan di atas nakas, ternyata isinya sudah habis. Makanya ia memutuskan keluar kamar untuk memanggil Wendy agar dibawakan air minum. “Kalau begitu sekalian saja sekarang saya ambilkan makanan untuk Nyonya.” Wendy melirik jam berbentuk persegi yang tertempel menghiasi dinding di atas meja rias. “Jam makan malam sudah lewat dua jam,” desahnya dalam hati. “Ambilkan aku air minum saja, Wen. Aku belum lapar,” tolak Lavender dan mencoba menggapai tangan Wendy. “Setelah mengambilkan aku air, kamu makan malamlah dulu,” imbuhnya sambil tersenyum setelah berhasil menjangkau tangan Wendy. Ia berkata jujur. Mendengar perkataan menyakitkan Evrard membuat perutnya tidak lapar. “Nyonya harus makan karena sekarang sudah malam. Jam makan malam pun sebenarnya sudah lewat dua jam. Lagi pula saat makan siang tadi Nyonya juga tidak menghabiskan makanannya,” balas Wendy dengan lembut. “Jangan menyiksa diri terus-menerus, Nyonya,” batinnya menambahkan. Wendy benar-benar prihatin terhadap kondisi majikannya saat ini. Dari pengamatannya ia melihat tubuh Lavender semakin hari kian kurus saja. Apalagi belakangan ini kondisi kesehatan Lavender pun tidak stabil, sehingga memengaruhi nafsu makannya. Walau ia tahu Evrard tidak mencintai Lavender, tapi sedikit pun tuannya tersebut tidak memedulikan keadaan sang istri. “Makanlah sedikit saja, Nyonya,” Wendy kembali membujuk Lavender agar bersedia mengisi perutnya dengan makanan. Bahkan, ia sengaja membuat nada bicaranya memelas. “Baiklah,” Lavender akhirnya menyetujui karena tidak tega mendengar nada memelas dari suara Wendy. “Tunggu sebentar ya, Nyonya. Saya ambilkan dulu,” ucap Wendy dengan nada ceria yang dibuat-buat, padahal ia sedang tersenyum getir. “Sedikit saja, jangan banyak-banyak,” Lavender mengingatkan saat merasakan Wendy telah menjauhi ranjangnya. Saat ini ia benar-benar sedang tidak ada nafsu makan. *** “Wendy,” Evrard memanggil Wendy saat melihat batang hidung pengasuh Lavender tengah membawa nampan dari dapur. “Ada apa dengan hari ini? Kenapa aku terus saja dipanggil oleh Tuan?” batin Wendy bertanya-tanya. Suara Evrard berhasil membuat bulu kuduknya merinding seketika. “Iya, Tuan,” jawabnya mencicit. Ia menatap takut sang tuan yang kini sedang berjalan ke arahnya. “Makanan untuk siapa?” tanya Evrard menyelidik, walau sebenarnya ia sudah mengetahui jawabannya. “Untuk Nyonya, Tuan.” Berhadapan dengan Evrard selalu saja membuat Wendy ketakutan, apalagi tadi dirinya mendapat ultimatum langsung. Evrard menaikkan satu alisnya saat menatap piring berisi nasi yang diperkirakan hanya tiga sendok makan tersebut. “Katakan padanya, jangan lebih menyusahkan orang lain dengan melakukan tindakan yang tidak jelas tujuannya. Lagi pula tidak akan ada yang tertarik dengan bentuk tubuhnya,” ucapnya datar. Ia menduga Lavender sengaja makan sedikit karena perempuan tersebut sedang diet, seperti yang sering dilakukan oleh sang adik dan mantan kekasihnya. “Maksudnya, Tuan? Saya kurang mengerti,” Wendy spontan menyuarakan pertanyaan di kepalanya. Setelah menyadari kelancangannya ia langsung menelan salivanya karena takut mendapat omelan lagi. “Bukankah makanan masih tersedia cukup banyak?” Evrard mengabaikan ekspresi wajah Wendy. Untung saja otaknya dengan cepat bekerja ketika mendengar kata makanan, walau saat ini dirinya dalam situasi ketakutan. “Nyonya sedang tidak kurang sehat, makanya beliau hanya ingin makan sedikit saja, Tuan,” beri tahunya dengan nada mencicit. “Sejak kapan?” Evrard bertanya cepat. “Pantas saja tadi aku perhatikan wajahnya sangat pucat dan kuyu,” batinnya menambahkan. “Sejak menjelang sore, Tuan. Nyonya pun tadi siang hanya makan sedikit,” Wendy memberi tahu Evrard dengan nada takut-takut. Walau sudah mengetahui kondisi Lavender yang sebenarnya, Evrard tetap memasang ekspresi wajah datar di hadapan Wendy. “Jika besok kondisinya tak kunjung membaik, kamu langsung saja bawa ia ke rumah sakit. Biar saya instruksikan Frankie untuk mengantar kalian,” ucapnya. “Sekarang pergilah.” Evrard mengibaskan tangannya setelah memberi perintah. Wendy mengangguk patuh. “Saya permisi, Tuan,” pamitnya sopan. Setelah beberapa langkah menjauh dari tuannya yang bersikap sangat dingin, akhirnya Wendy bisa bernapas lega. “Bukannya langsung melihat keadaan istrinya, malah menyuruh orang lain untuk mengantarnya periksa ke rumah sakit. Sungguh tega dan kejam sekali sebagai seorang suami. Buat apa memiliki paras tampan dan harta berlimpah, tapi tidak berhati? Bahkan, sedikit kepedulian pun tak punya,” gerutunya dalam hati sambil terus berjalan menuju kamar Lavender.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN