Part 4

866 Kata
** Ada stereotype 'Silence is Gold' yang sayangnya tidak ada pada beberapa manusia yang selalu banyak bicara, menyimpulkan sesuatu dari apa saja yang terlintas dimata mereka dan mulai menghembuskan sesuatu yang sangat tidak disukai oleh Liandra. Semua pelayan bahkan di lantai dua, dimana meja dan ruang private berada jelas sedang membicarakan Liandra dan si tampan beraroma Lemon yang bersama Reyhan Chef mereka entah sedang melakukan apa di ruangannya. Melakukan? Ei, kenapa itu terdengar seolah Liandra membenarkan rumor yang mulai menyebar seperti virus? "Benarkah?" "Tentu saja, aku yakin Liandra tahu hubungan Chef Reyhan dan Tuan Naetra." Naetra? Pria beraroma Lemon memabukkan dengan mata kelabu yang membuat Liandra hingga lupa cara bernafas? "Mungkin saja, mengingat bagaimana Liandra tahun lalu mengacaukan lantai dua saat ada tamu penting. Dia harusnya sudah di pecat." "Lalu, apa maksud Naetra tentang Liandra yang mengujinya?" "Ayolah, Liandra hanya mencoba menggodanya. Dia tampan, kaya dan seorang Pianis populer di eropa, siapapun jelas akan tergila gila pada pesonanya." Ah, dia seorang Pianis. "Sayang sekali, dia kekasih chef Reyhan." Tentu saja, pria jika bukan b******k mereka Gay! Lindra mengurungkan niatnya keruang loker, memilih kembali merapihkan meja meja kotor yang baru saja ditinggalkan para pelanggan. Nyaris memekik keras saat ia menoleh dan menemukan sepasang mata kelabu yang terlihat tenang seperti biasa. Yah, hanya menatap Liandra dan berlalu begitu saja menuju lantai dua Restoran dengan kaki panjang yang membuat gadis manapun ingin bergelantungan disana. Benar benar Bukankah ia seharusnya mimiliki banyak kesibukan? Seperti berbenah setelah pindah atau menghadiri gedung gedung orkestra atau.. Apapun itu! Setidaknya jangan berkeliaran dimana mana yang akan membuat Liandra terkejut setengah mati. "Liandra?" "Ya." Liandra menoleh dan ikut tersenyum saat menemukan Jenna yang tersenyum hangat padanya, satu satunya pekerja di Restoran ini selain Reyhan yang menatapnya seperti manusia. "Private room 02." Bisiknya pelan yang membuat Liandra meringis pelan, melihat wanita yang mengambil alih lantai dua dengan segala rahasia diatas sana menghampirinya seharusnya sudah menjelaskan segalanya. "Aku sedang tidak ingin ke lantai dua." Pertama, Reyhan baru saja kembali memberinya peringatinya. Kedua, Manusia beraroma lemon itu masih berada di atas. Ketiga, ia jelas tahu siapa yang sedang menunggunya. Peluang Liandra membuat masalah dilantai dua sayangnya terlalu besar. "Waktu berjalan." "Bukankah kau sudah mendengar aku baru saja membuat masalah?" "Chef Reyhan akan lebih tidak senang jika tamunya menunggu." Liandra berdecak kesal melihat senyuman manis menenangkan itu. Oh, Persetan. Liandra masih kesal setengah mati. "Aku ingin ke kamar mandi dan membutuhkan waktu yang lama." "Aliandra." "Terimakasih, Jeanna." Liandra segera berlalu menuju kamar mandi meninggalkan Jeanna yang hanya tersenyum kecil dan menggeleng pelan melihat tingkah gadis itu. Yah, menghindar seperti biasa. ** Naetra menghela nafasnya dengan berat sebelum mendorong pintu ruangan dimana manusia yang tidak ingin ia temui sedang menunggu, menghentikan langkahnya sejenak saat sepasang mata keemasan itu menemukannya. Menyambutnya dengan pelukan hangat dan kerinduan yang akan selalu meluluh lantakkan dirinya. "Kau berlebihan." "Aku juga merindukanmu. " "Kakak." Pria itu melepaskan pelukannya pada Neatra, tersenyum hangat dan menepuk bahunya dengan pelan. Nyaris saja mengusap kepalanya dengan gemas jika ia tidak menghindar, melemparkan tatapan kesal yang hanya disambut oleh tawa khas yang sialnya ia rindukan. "Kenapa kau selalu melakukan itu? Aku bukan lagi anak kecil!" "Ah, aku benar benar merindukanmu." Naetra hanya berdecak kesal sebelum menghempaskan tubuh tegapnya di sebuah sofa ditengah ruangan. Menatap wajah pria yang masih sama sejak mereka bertemu terakhir kali, tampan dengan tubuh tegap dan tatapan senduh yang akan membuat siapapun dengan mudah bertekuk lutut dibawah kakinya. Termasuk Naetra. "Kau tahu? Kau bisa saja langsung ke atas, ke Penthouse ku." "Penthouse itu milikmu?" Naetra menaikkan alisnya, menatap Kakak sulungnya disebrang meja yang menatapnya teduh menyesatkan dengan senyuman yang selalu mampu membuatnya resah. "Begitulah." "Lalu kapan kau pulang?" Suara berat itu terdengar lembut seperti biasa, Naetra mengangkat sudut bibirnya tersenyum miris. "Mungkin nanti." "Kapan? Setelah aku mati?" "Jangan bercanda!" Naetra melemparkan tatapan tajamnya, rahangnya mengeras saat lagi lagi pria itu hanya tertawa pelan menanggapinya. "Kalau begitu, pulanglah." "Bukankah, kau yang paling tahu? Seperti apa aku dimata Ayah dan Ibu?" Naetra menghela nafasnya gusar, terakhir kali ia bertemu Kakaknya adalah tiga tahun yang lalu. Namun, entah mengapa perdebatan melelahkan ini selalu saja menjadi agenda dalam pertemuan mereka. "Ada banyak hal yang membutuhkan perhatianmu, aku bahkan dengan senang hati memberimu sahamku." Apapun itu. Naetra tidak akan pernah pulang. "Bagaimana bisa hasil kerja kerasmu menjadi milikku?" "Apa aku harus berlutut, Naetra?" Naetra menghela nafasnya dan bergegas bangkit, menatap Kakaknya dengan tatapan keras kepala yang membuat pria itu diam diam mengepalkan jemarinya. "Tapi aku datang bukan untuk melihatmu berlutut." Netra berbalik, berniat melangkahkan kakinya sebelum suara itu kembali memenuhi kepalanya. "Apa kau akan tetap seperti ini?" Naetra menghela nafasnya dengan berat, memejamkan matanya sejenak sebelum kembali bersuara. "Sebaiknya kau berhenti atau aku tidak akan pernah lagi memanggilmu Kakak." "Naetra. " "Aku hanya tidak ingin mengacaukan apapun." Ujarnya pelan sebelum benar benar melangkah, meninggalkkan pria yang masih terduduk ditempatnya dengan jemari yang mengepal semakin kuat. Diam diam tersenyum, tahu semuanya berjalan seperti yang dia inginkan. "Maaf, Tuan." Pria itu menghela nafasnya dengan tenang saat seorang pelayan memasuki ruangan, membungkuk hormat dan tersenyum sopan tanpa menatapnya seperti biasa. Tidak perlu menunggu untuk mendapatkan sebuah jawaban, karna ia bahkan sudah menduga jika kekeras kepalaan tidak mudah dikendalikan. Ah. Bukankah, mereka terlihat sama keras kepala? **
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN