jadian di pinggir jalan

771 Kata
kini Alin dan Bian semakin dekat, sudah 6 bulan lamanya... mereka menyimpan rasa satu sama lain. begitupun dengan Bian, ia masih menyimpan rapat rasa cintanya untuk alin. mungkin bagi mereka lebih baik menyimpan daripada di ungkapan. padahal... kalau di ungkapkan itu akan lebih baik buat keduanya. 'Biar lah waktu yang akan menjawabnya' begitulah kata kata bian. kala di kasih tau sang teman akrabnya. " ayo... lin, aku antar pulang udah sore juga... " ucap bian pada alin... " emang ngga ngerepotin bi... kan tugas nya masih banyak. tadi kamu hanya bantuin aku aja kan...? " " ntar malem aku lanjutin lagi... yang penting aku anterin kamu dulu. keburu sore... ayo... " bukan nya jalan, tapi Alin malah bengong melihat Bian. ia terlihat tampan di matanya, dengan hanya duduk di motor matic papanya. sontak bian pun bangkit dari duduk nya, lalu menghampiri alin yang sedang melamun itu. " sini... aku pakein helm nya, di tungguin juga malah ngelamun. ngelamunin apa sich...? " ucap Bian sambil memakai kan helm untuk alin. Alin hanya diam, ia merasa tubuh nya sedikit menegang kala tubuh Bian dekat dengan tubuh nya.lalu Bian menggandeng tangan Alin. ada rasa bahagia kala melihat tangan nya di genggam kekasih dalam diam nya itu. perjalanan menuju kediaman rumah Alin tidaklah memakan banyak waktu. mungkin kira kira dua puluh lima menit. saat kendaraan motor nya sedang melaju dengan cepat. tiba tiba... motor nya oleng sedikit. karena Abian tidak fokus dalam berkendara. ia tak melihat ada gundukan cor manjang di tengah jalan. yang biasa di sebut polisi tidur... " aaahhh... " alin pun menjerit hampir hampir saja ia terpental dari motornya bian. untung Alin sempat berpegangan di pinggang bian. " sorry... sorry... aku ngga ngeh, kalau di situ ada polisi tidur. kamu ngga apa apa kan lin...? tanya bian kepada alin, karena bian mendengar alin yang menjerit. walaupun ngga kencang sih... tapi terdengar seperti orang ketakutan. seolah olah akan jatuh. " iya bi... aku ngga apa apa kok. kamu juga ngga apa apa kan...? " " iya... aku juga ngga apa apa " jawab bian singkat lalu bian menepikan motor nya di pinggir jalan.ia pun turun, begitu juga dengan alin. " kok... kita berhenti bi, kamu ngga ada yang luka kan?" tanya alin kepada bian, bukan nya melanjutkan perjalanan nya. bian malah menepi. " maaf yah lin... gara gara aku. kamu hampir aja jatuh tadi... aku ngga apa apa kok lin. malah aku khawatir sama kamu. soalnya kamu sempat menjerit tadi... " " heheehee... abis kamu sih, orang ada polisi tiduran di situ juga ngga liat. mikirin apa sih bi... " canda Alin untuk mengalihkan kegugupan nya. " hahaha... lagian, polisi kok tiduran nya di tengah jalan gitu sih... " bian pun membalas candaan Alin. mereka berdua pun tertawa bersama di pinggir jalan. mereka melepas tawa dengan candaan candaan kecil mereka. lalu bian pun akhirnya membuka suara juga. ia ingin menyampaikan sesuatu yang 6 bulan belakangan ini mengganggu pikiran nya. " lin... boleh jujur ngga sih... aku mau jujur sama kamu... " " tapi... kamu jangan marah ya lin. apalagi ketawain aku... " ucap bian " emang kamu mau jujur tentang apaan sih bi... kok ngga biasanya kamu ngomong gitu... ok, aku akan coba dengerin kamu ngomong. dan ngga akan marah apalagi ketawain kamu. tapi... tergantung yah...? " " tergantung apa maksudnya lin... " " ya... tergantung apa yang akan kamu omongin lah... hihihi... " ucap alin sambil menampilkan deretan putih giginya yang rapi. " sebenarnya... hmm... sebenarnya... aku... aku tuh... suka sama kamu lin... " " aku menyukai mu semenjak awal aku melihat mu di kelas pas perkenalan itu..." jalanan yang di lewati oleh bian dan alin nampak sepi. karena memang jalanan tersebut jalanan kompleks. karena Alin tak merespon ungkapan hatinya. ia pun menggenggam kedua tangan alin. lalu bian bertanya kembali. " lin... maukah kamu menjadi pendamping hidupku... baik susah maupun senang, kita akan selalu bersama suka dan duka... " akhirnya Abian mengungkap kan rasa sayang nya untuk alin. bian tidak ingin berlama lama menjalin suatu hubungan. setelah lulus nanti, ia ingin melamar alin untuk menjadi istrinya. " lin... kenapa? apakah kamu marah? karena aku tidak sopan sama kamu lin... maaf kan aku lin... kalau kamu memang... tak... " " hiks... iya, aku mau bi... hiks... aku mau mejadi pendamping hidup mu. susah atau senang, suka dan duka. hanya bersamamu, asalkan bersamamu aku mau... hiks... " jawab Alin sambil memeluk Bian dan menangis dalam pelukan Bian. " makasih lin... karena kamu sudah mau menerima ku..." mereka pun tersenyum haru, baru kali ini Alin menangis karena bahagia. karena biasanya ia hanya akan menuruti keinginan sang ayah nya. Alin sudah seperti burung dalam sangkar nya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN