Pagi itu, tepat jam delapan waktu Indonesia bagian barat. Aira sudah siap dengan riasan seadanya, karena dia tak mau terlihat sangat berlebihan.
Mengenakan baju kebaya yang di bawakan oleh Derren tempo hari, di tambah dengan kerudung panjang. Aira di tuntun menuruni anak tangga dan di sandingkan dengan lelaki yang usianya tak jauh beda denganya.
Mengenakan baju kemeja putih, jas hitam dan juga dasi hitamnya. Derren sudah duduk menghadap pak penghulu dan Prayoga, papa dari Aira.
Melantunkan surat Maryam sebagai maharnya, Derren terlihat sangat keren bagi Aira saat itu.
Rupanya dia memenuhi apa yang sudah gue minta. Batin Aira senang.
Dengan nada dan intonasi yang pas, Derren melantunkan lafas Al-Qur’an itu tanpa melihat kitab. Takjub juga sedikit bangga dengan apa yang di lakukan oleh Derren untuk dirinya. Aira benar-benar merasa sangat special hari itu.
Dengan ucapan sekali tarikan nafas, Derren mengucapkan ijab qobulnya dengan lancar. Menunggu kata sah dari saksi yang merupakan kerawat desa dan beberapa warga. Untuk memutuskan pernikahan itu sah di mata agama dan Negara.
Sah
Sah
Sah
Tiga orang yang menjadi saksi langsung di susul oleh kata SAH dari para warga yang menyaksikan pernikahan itu. Setelah mendengar satu kata yang merubah status kedua orang di depannya, pak penghulu itu membacakan doa untuk kebaikan bersama.
Derren memasang cincin yang di belinya kemarin di jari manis milik istrinya. Sebelum wanita itu memasangkan cincin di jari manisnya. Derren mencium kening Aira setelah wanita itu mencium tangannya.
“kalian sudah menjadi suami istri di usia muda. Bapak harap kalian berdua itu bias lebih dewasa dalam menghadapi sebuah masalah yang akan dating menerpa rumah tangga kalian nantinya.” Itulah wejangan pak penghulu sebelum mengakhiri acara pagi ini.
“Baik pak terima kasih. Kedepannya kami akan berusaha untuk menjadi lebih dewasa lagi,” jawab Derren dengan ucapan tegasnya.
Para tamu undangan yang tak lebih dari sepuluh orang itu pamit pulang setelah acara selesai. Dan kini hanya tingga keluarga inti saja yang masih tersisah.
Prayoga dan Mawar selaku tuan rumah, Boy dan Miranda selaku orang tua Derren. Keempat orang itu mendudukkan pengantin yang baru saja di sahkan oleh pak penghulu.
“Derren, sekarang kamu itu seorang kepala keluarga. Gak mungkin kan kalau kamu masih ikut dengan papa sama mama,” ucap Boy papa dari Derren.
“Papa ngusir Derren?” Tanya Derren kaget.
“Bukan ngusir, tapi papa sama mama sudah menyiapkan rumah minimalis buat kalian tinggal. Gak mungkin kan kamu numpang di rumah papa sama mama terus. Dan mulai bulan depan, kamu yang jalankan perusahaan. Papa hanya akan membantu saja,” jelas Boy.
“Iya pa,” jawab Derren yang memang ikut mengelolah perusahaan yang bergerak di bidang ekpor impor itu.
“Dan kamu Aira, papa selama ini sudah bekalin kamu dengan belajar bekerja di café. Kamu boleh mengelolah café itu sebagai boss, atau kamu memilih untuk tinggal di rumah juga silahkan.” Kini giliran Prayoga yang memberikan pilihan untuk putrinya.
“boleh gak kalau Aira tinggal di sini aja pa, ma?” Tanya Aira polos.
“Aira saying, kamu itu sekarang seorang istri. Jadi kemanapun suamimu tinggal, ya di sanalah rumahmu nsekarang,” tutur Mawar yang sudah menahan air matanya.
Berat memang jika harus memberikan putri tercintanya pada lelaki yang sudah menjadi suaminya. Tapi orang tua tak boleh egois dengan menghalangi sang putri untuk menemukan kebahangiaannya.
“Ya sudah, Aira mau menjalankan café, sebisa Ai pa,” jawab Aira yang juga sudah menahan air matanya..
Setelah merapikan apa saja yang di bawa ke rumah barunya, Aira dan derren pamit pada orang tua istrinya. Dengan berat hati Mawar dan Prayoga melepaskan putrinya untuk mengikuti suaminya.
“Hati-hati ya kalian, jangan lupa kalau libur sekolah main-main ke sini.” Pesan orang tua Aira.
“Iya ma, Aira janji bakalan sering-sering main ke sini.” Aira berpamitan dengan memeluk satu persatu orang tuannya.
Setelah berpamitan, Derren segera mengajak wanitanya untuk pindah ke rumah yang sudah di belikan orang tuannya. Rumah minimalis yang ternyata tak jauh dari sekolah mereka.
Benar-benar sangat minimalis, rumah yang hanya memiliki satu kamar tidur langsung kamar mandi. Dapur yang langsung tempat makan dan satu kamar mandi kecil di samping dapur. Tuang tamu yang langsung dengan ruang nonton TV.
“Betah gak betah kita harus betah ya,” itulah kalimat pertama yang terucap dari seorang Derren setelah menjadi suami Aira.
“Iya, lagian ngapasih lu cerita sama orang tua lu. Bikin malu aja tau gak?” ucap Aira yang merasa jengkel karena Derren.
“Kalau gue gak bilang, terus elu hamil gimana?” jawab Derren memikirkan kemungkinan terburuknya.
“Hmm, buktinya kan enggak, ini gue lagi dating bulan.” Jawab Aira seadanya.
“Bagus dong, seenggaknya lu gak putus sekolah karena masalah ini,” Derren merebahkan diri di atas tempat tidur masih dengan kemejanya.
“Iya, tapi masa muda gue?” rengek Aira yangmenyusul Derren untuk tidur di sebelahnya.
“Serah, udah masukin baju-bajunya?” Tanya Derren menoleh sekilas pada istrinya.
“Udah, mau mandi?” Tanya Aira yang melihat Derren bangkit dari tidurnya.
“Iya, mau ikut?” Tanya Derren menggoda.
“Dih, PD nyaaaa,” Aira memang sudah berganti baju santainya sebelum berangkat ke rumah barunya.
“Awas aja kalau suatu saat lu yang maksa minta di mandiin. Kagak bakalan mau gue,” Derren mengambil handuk lalu masuk ke dalam kamar mandi.
Selama Derren berada di dalam kamar mandi, Aira memainkan ponsel miliknya. Tak sengaja melihat ponsel milik Derren bordering. Di layar ponsel itu menampilkan nama satu perempuan yang selalu ada di samping Derren selam di sekolahan.
Aira tahu jika wanita itu sangat-sangat terobsesi dengan suaminya. Karena, dia selalu mengaku jika Derren hanya miliknya. Tak ingin berurusan dengan wanita itu, Aira lebih memilih untuk membiarkan ponsel itu mati dengan sendirinya.
Derren keluar dari kamar mandi, melihat Aira masih rebahan dengan memainkan ponselnya. Lelaki itu melempar handuk yang melingkar di bahunya pada Aira.
“Mandi sono, jangan jorok lu idup ama gua,” ucap santai Derren yang baru saja keluar dari kamar mandi sudah dengan baju lengkapnya.
“Dih, siapa juga yang jorok. Lu paling!” Aira bangkir dari tidurnya dan gentian masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri.
Setelah menyisir rambutnya, Derren mendekati ponselnya. Melihat ada beberapa panggilan masuk, Derren mengernyitkan dahinya. Melihat siapa yang menhubunginya segitu banyak sebelum balik menelfon orang itu.
“Hallo, kenapa?” Tanya Derren tanpa basa basi basah.
“…”
“Gue sibuk beberapa hari ini, jadi gak bias kumpul-kumpul, gimana?”
“…”
“Ya,”
Tak berapa lama Aira keluar kamar mandi hanya dengan menggunakan handuk yang di lempar Derren padanya tadi.
“Lu apa-apaan sih?” bentak Derren yang melihat Aira sungguh menggoda.
“Lu yang apa-apaan? Suka banget lu bentak orang,” Aira meninggalkan Derren dan segera mengambil bajunya sebelum masuk angin.