Kamu Milik Saya

1404 Kata
"Bagaimana saksi? Sah?" Penghulu menoleh ke samping. Ketiga orang di sana mengangguk. Lalu disusul ucapan syukur dari para tamu yang hadir. Kini, Airish Alenka resmi menjadi istri Alvaro Adinata. Rasa tak percaya setengah mimpi masih dia alami. Dunia seolah jungkir balik dalam seminggu terakhir. Dia melirik ke samping, dua orang taunya tersenyum lega ke arahnya. Jelas, mereka pasti senang karena sudah berhasil menukar anaknya dengan harta. Sialan! Airish terpaksa mencium tangan suami pura-puranya saat lelaki itu menyodorkan telapak tangan. Namun, ketika Varo ingin mengecup keningnya, Airish menghindar. "Gak usah nyuri kesempatan!" Dia mendelik galak. Alvaro menarik tangannya canggung. Bukan karena sikap Airish yang masih bar-bar sampai sekarang, tapi raut wajah orang-orang di sekitar yang melihat penolakan Airish. Jika bisa, dia ingin meneriakan pada gadis di depannya jika semua tamu yang hadir adalah keluarganya. Bagaimana reaksi mereka kalau tahu jika dia dan Airish hanya bersandiwara. "Kalau mau akting sekalian total. Seluruh keluarga sedang melihat kita sekarang!" bisik Varo. Dia mencium aroma parfum yanh dipakai istrinya. Segar, membuat pikirannya mabuk kepayang. Bahkan di saat seperti ini saja dia masih saja terpikir ke arah sana. Benar-benar tidak waras otaknya. Dan semua karena Airish Alenka. "Ya terus?" Gadis dua puluh tahun itu mencibir, enak saja memanfaatkan kesempatan dalam kesempitannya. Airish mengedarkan pandangan ke sekitar. Benar saja, semua yang hadir tengah menatap ke arah mereka. "Atau kamu mau saya bilang ke semua orang kalau ini hanya pura-pura?" ancam Alvaro. Dia menyunggingkan senyum tipis. Sialan. "Ya udah, ulangi!" Airish kalah. Dia lebih takut jika keluarganya tahu kalau pernikahan ini hanyalah sandiwara mereka. Ah, kenapa pula Om-om ini tahu kelemahannya. Bisa shock papanya kalau mengetahui rahasia besar di balik pernikahan anaknya. Lebih khawatir lagi kalau sampai dia dipecat jadi anaknya Bagaskoro. Haduh, sekesal-kesalnya Airish, dia tetap sayang pada kedua orang tuanya. Dia takut, jika sampai itu terjadi, maka hubungannya dengan pacar tersayang harus terpaksa selesai. Dan Airish tidak sanggup kalau sampai itu terjadi. Bagaimana juga hubungan mereka bukan sebentar, tapi lama. Lebih lama dari waktu yang dibutuhkan seorang petugas mengamankan para pembalap liar, termasuk yang membalap hatinya. Dhenis mantan pembalap. Dulu tapi. "Cepat!" Dia memejamkan mata, ketika bibir Alvaro mendekat dan mendarat di keningnya. Dingin bibir lelaki itu masih tertinggal di jidatnya, dia bergidik ngeri. Jika bisa, setelah itu Airish akan mencuci keningnya dengan tanah tujuh kali dan air mengalir. Kalau ada sekalian kembang tujuh rupa dan parfum seember. Tidak punya akhlak memang, masa bibir suaminya sendiri disamakan dengan najis. Mereka duduk di atas pelaminan setelah menandatangani buku nikah. Jika ini pernikahan sungguhan, pastinya hati kedua mempelai akan bahagia, hingga raut wajah berseri-seri terlihat ketika tangan saling menggenggam. Namun kembali lagi, semua hanya sandiwara. Airish harus menuruti semua kemauan Alvaro agar perjanjian di antara mereka tidak sampai bocor ke luar. Dan ketika fotografer menyuruhnya untuk saling menatap dan menggenggam tangan, Airish pasrah. Setidaknya setelah acara ini, dia akan bebas dari paksaan untuk menikah dari orang tuanya. "Geser ke sana, Om! Jangan dempet-dempet!" Airih menyikut perut Alvaro ketika mereka tengah duduk di kursi pelaminan. "Jangan aji mumpung kamu!" Dia mendelik galak. Bibirnya manyun. Tanpa membantah, Alvaro menggeser pantatnya hingga mentok di ujung kursi. Kalau dia protes, yang ada Airih makin menjadi-jadi, padahal saat ini, mereka sedang berada pada pusat perhatian seluruh orang di ruangan itu. Wajah Airish yang terlihat terpaksa saja sudah tidak enak, apa lagi ditambah dengan omelan wanita itu jika dia tidak menurutinya. "Katanya gak ngundang banyak-banyak, hanya keluarga saja. Ternyata serame ini, lebih dari 100 orang lagi." Airish masih ngedumel. Dia melihat tamu undangan yang bahkan sampai di halaman rumah Alvaro. Dalam bayangannya hanya lima atau enam orang maksimal, tapi ini? Seperti satu RT. Alvaro tetap diam dan melihat lurus ke depan. "Aku mintanya apa, tapi tenyata kenyataanya apa. Kan udah dibilang, gak mau pernikahan ini diketahui banyak orang!" Dia kembali meneruskan omelanya. Lalu mengambil tisu dan menyeka keringat yang keluar dari kening. Takut luntur make up mahalnya. Ya kali untuk acara ini saja, Alvaro mengeluarkan dua puluh lima juta hanya untuk make up. Kurang gila apa coba? Lelaki di sebelahnya tidak menimpali. "Masa menuhi janji untuk hanya ngundang keluarga saja gak bisa. Apa lagi dengan janji untuk jaga rahasia. Menyebalkan!" Dia melipat tangannya di depan d**a. Kini Alvaro harus mengeluarkan suara, jika tidak ingin omelan Airish terus berlanjut. "Semua yang hadir di sini masih keluarga saya, Airish!" Dia menarik napas terlebih dahulu. "Yang pakai baju warna marun dan lelaki disebelahnya, namanya Krisna Adinata, keponakan saya. Dan di sebelahnya itu mamanya, Darasati Khalis, juga papanya, Rehan Adinata yang sedang mengamit lengan Darasati, mereka orang tua Krisna, kakak dari mertua kamu." Sebelah kiri tiang, itu Leon Geraldo dan istrinya, Kenanga Jingga, mereka anak dari kakak pertama Mama. Sedangkan di sebelahnya, yang memakai baju kuning dan lelaki yang menggandeng tangannya itu Moleno Geraldo dan Pinky Aurora, mereka kakak dan kaka ipar dari Leon Geraldo. Terus .... " "Dahlah ... dahlah. Pusing aku." Airish memotong perkataan Alvaro. "Yang jelas aku gak suka banyak yang tahu kalau kita sudah menikah!" "Kemarin katanya hanya boleh mengundang keluarga saja. Sekarang ganti lagi alasannya." Alvaro menahan senyum. Dasarnya wanita, tidak mau kalah kalau berdebat dengan lelaki, Airish memutar otak untuk mencari jawaban yang membuat dia harus terlihat benar, dan harus Alvaro yang salah. Harus, tidak pakai tapi. Satu menit kemudian, dia menemukan alasan yang tepat. "Ya maksudku keluarga inti saja, gak perlu keluarga jauh juga diundang." "Mereka keluarga inti saya, Airish. Mama saya delapan bersaudara, Sedangkan papa sebelas bersaudara. Yang datang ini hanya kakak adik orang tua saya, juga anak-anaknya." Alvaro menyunggingkan senyum puas. Airish melempar senyum pias. Pantas saja tamu yang datang sebanyak ini. Ternyata memang mereka keluarga besar. Sial sekali, kali ini dia dikalahkan oleh seorang Alvaro Adinata yang jelek dan tua. Eh, tampan maksudnya. Meski tak setampan Dhenis tentu saja. Dari pihak Airish sendiri hanya beberapa orang saja yang datang, karena mamanya hanya dua bersaudara. Sedangkan papanya anak tunggal. Jadi keluarga mereka tidak seramai keluarga Alvaro. Meski begitu, Airish patut bersyukur, karena dengan sedikitnya keluarga yang dia punya, tingkat kekepoan yang mungkin dimiliki mereka tidak sebesar jika banyak orang. Kan tidak ada tukang kompor dan nyinyiers. Hanya kedua orang tuanya saja yang paling menyebalkan. "Tolong, istrinya dirangkul, Pak!" Fotografer kembali mengarahkan mereka. Sekarang permintaan kedua orang tua Airish, yang ingin mendapat foto terbaik dan termanis untuk mereka pajang di dinding ruang tamu. Biar semua tahu, kalau menantunya adalah seorang pengusaha kaya. Kapan lagi bisa pamer, ya, kan? Apa lagi ini Alvaro Adinata, siapa yang tidak mengenalnya, selain tampan menantunya itu juag pengusaha kelas atas. Airish ogah-ogahan menuruti permintaan itu, dia masih risih ada tangan lelaki yang memeluk pinggangnya. Bahkan ketika Alvaro membelai pipinya, Airish menepis kasar. Padahal hanya akting saja, sesuai arahan fotografer. "Udah dibilang, jangan curi kesempatan! Denger gak sih, Om?" "Kamu gak dengar, kalau ini permintaan orang tua kamu?" "Ya tapi, kan bisa ditolak." Airish tidak mau adegan belai pipi dalam pemotretan. "Aku gak mau dipegang sama dia!" tunjuk Airish pada Alvaro. Fotografer hanya mengendikkan bahu dan mengangguk. Kalau objek tidak mau, dia bisa apa? "Irish! Jangan keterlaluan kamu! Dia suamimu!" Ariyanti membentak anaknya. Dia merasa memang Airish sudah keterlaluan kali ini. Memang apa susahnya hanya beradegan pegang pipi saja? Toh Alvaro tidak jelek-jelek banget. Bahkan sangat tampan menurutnya. Kalau dia masih muda, pasti tidak akan menolak dijodohkan dengan Alvaro. Dan tadi, dia hanya menyuruh untuk berpose mesra. Bukan yang lain. Seolah dia menyuruh Airish malam pertama di tempat umum saja. "Ma ... stop atur aku lagi. Sekarang, aku sudah jadi milik suamiku!" Airish tersenyum penuh kemenangan. Dia memanfaatkan moment untuk menolak permintaan mamanya. "Setelah menikah, seorang wanita milik suaminya, bukan orang tuanya lagi!" Dia melanjutkan. Ariyati menahan kesal. "Jangan bilang begitu sama Mama, Airish!" Alvaro mengingatkan. "Gak baik. Mereka tetap orang tua kamu! Minta maaf, sana!" "Diem, Om! Kamu juga jangan mengaturku." Airish mendekatkan bibirnya ke telinga Alvaro. "Ingat isi surat perjanjian kita!" bisiknya lirih. "Tapi kamu juga harus ingat dengan perkataanmu beberapa menit yang lalu. Seorang wanita yang sudah menikah sudah menjadi milik suaminya, bukan orang tuanya. Dan sekarang kamu milik saya. Perlu diingat, saya paling tidak suka dengan orang yang menyentuh barang saya!" Alvaro balas berbisik. "Maksudnya apa nih?" Tiba-tiba hati Airish merasa tidak enak. "Kamu cukup dewasa untuk mengerti maksudnya!" "Jangan bilang Om menyuruhku memutuskan hubungan dengan Dhenis!" ** Selamat datang di novel keduaku, semoga kalian suka. Jangan lupa tap love, ya Kak. Biar ada notif ketika aku update bab baru. Jika kalian ingin berinteraksi lebih dekat dengan author bisa follow ig @shabira.elnafla atau sss Shabira Elnafla
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN