(6) Hugeman Diary

2472 Kata
Lavender point of view . . Pagi ini aku kembali ke sekolah. Setelah merapikan buku-buku pelajaran hari ini, aku memasukannya ke dalam tas. Tak lupa, aku juga membawa buku harian Lord Hugeman yang dipinjamkan Profesor. Aku terdiam menatap pantulan diriku di cermin. Lalu memakai blezer biru dongker yang merupakan seragam wajib Paz School dan merapikan kembali penampilanku. Kala itu tiba-tiba mataku tertuju pada gulungan pita berwarna ungu muda, yang katanya adalah s*****a. Aku kembali terdiam beberapa saat sebelum mencepol rambut. Lantas kuraih pita ungu tersebut dan mengikatkannya di rambutku. Tidak buruk. Ini jadi lebih simpel daripada aku harus menyimpannya di saku. Sebagai sentuhan terakhir dari penampilanku hari ini, aku memakai communication clock pemberian Profesor. Memakainya membuatku merasa berbeda. Entahlah. Rasanya aku seperti bukan orang yang sama dengan yang kemarin. Dan itu membuatku bingung. Karena tidak ingin membuang waktu, aku bergegas menuruni tangga menuju ruang makan. Di sana, Ayah dan Ibu sudah duduk manis menyambutku. Aku memang anak tunggal, jadi aku sering merasa kesepian jika mereka pergi bekerja. Tapi itu bukan masalah sekarang. Sebab aku sudah punya Holly, Rega dan Tom. Bahkan Profesor Peter juga. Setelah ini aku tidak akan melewati hari-hari yang sepi lagi karena ada mereka semua. “Selamat pagi, Bu.” Aku menghampiri Ibu lalu mencium punggung tangannya, kemudian memeluknya seperti biasa. Sesudahnya aku melakukan hal yang sama pada Ayah. “Selamat pagi, Yah.” Aku menyapa sambil mencium tangannya, sedangkan Ayah mengelus kepalaku dengan gemas. Usai menyapa mereka berdua, aku meraih segelas s**u dan meminumnya sampai habis. Lalu melirik jam sebentar sebelum berpamitan, “Aku langsung berangkat Yah, Bu.” “Lho, tidak sarapan dulu?” tanya ibuku. Aku menggeleng pelan sambil tersenyum, “Tidak, Bu. Hari ini aku sarapan di sekolah saja.” Meski ragu dengan keputusanku, Ibu tetap mengangguk. “Oh, ya sudah. Hati-hati ya.” Ibu melambaikan tangannya padaku dan aku hanya tersenyum ke arahnya. “Jangan pulang terlambat, Lave.” Sebelum aku menghilang di balik pintu, Ayah berpesan. “Oke.” Sekarang aku sedang berjalan kaki menuju ke sekolah. Ini sudah menjadi kebiasaan rutin dari dulu karena jarak rumah ke sekolah tidak terlalu jauh. Jalan kaki lima belas menit saja aku sudah sampai. Setibanya di depan gerbang aku melihat gadis berambut indigo yang tersenyum ceria ke arahku. Dia melambai-lambaikan tangannya penuh semangat, menyambut kedatanganku. Sikapnya yang seperti itu tentu menjadi sangat mencolok di antara murid-murid lain. Membuatnya selalu menjadi pusat perhatian di mana pun dia berada. “Hai!” sapanya ceria saat aku sudah di hadapannya. Aku hanya tersenyum menanggapi sapaannya. Lalu membawa Lea masuk ke dalam kompleks sekolah yang sudah ramai. Lingkungan sekolah tampak sudah dipenuhi oleh murid-murid dari berbagai kelas. “Bagaimana kencannya?” tanya Lea ketika kami berjalan di koridor menuju kelas. Alisnya naik-turun dengan seringai usil yang terpatri di wajah manisnya. Seketika aku mendengus karena ejekan Lea itu, “Kita tidak kencan, Lea. Kita hanya...” tiba-tiba tenggorokanku terasa kering sebelum aku menyelesaikan kalimatku. Kejadian kemarin saat berada di kastil Dynami terus terbayang-bayang bagai sebuah film. “Hanya...?” Lea menatapku usil. Aku menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Berusaha mengenyahkan segala hal yang membuat perasaanku tidak nyaman. “Akan kuceritakan nanti.” Gadis di sampingku ini terlihat kecewa karena aku menahan diri. Dia menggembungkan pipi hinga membuatnya tampak semperti ikan buntal. “Jam istirahat, pokoknya kau harus cerita!” titahnya yang hanya kujawab dengan anggukan. Lea Allinger, dia adalah sahabatku dari kecil. Kami sudah bersama sejak masih anak-anak. Bahkan kami selalu ada di sekolah yang sama dari TK, Sekolah Dasar, Junior High School, sampai Senior High School seperti sekarang. Sedari dulu hanya Lea satu-satunya teman yang aku punya. Sebelum akhirnya aku mengenal Rega Wolaston dan berteman dengannya. Sejak saat itu temanku hanya mereka berdua. Tapi sekarang temanku bertambah lagi karena kemarin aku bertemu dengan dua orang yang sama berisiknya itu, Thomson Traveers dan Holly Emillson. Mereka berdua cukup menyenangkan karena memiliki sikap yang hampir sama dengan Lea. Itulah yang membuatku merasa nyaman bersama mereka meski baru bertemu sehari. Begitu sampai di depan kelas, aku berpamitan pada Lea karena kelas kami tidak sama. Lea harus naik tangga satu kali lagi untuk bisa sampai di kelasnya. Usai berpamitan aku melangkah masuk ke dalam kelas dengan langkah hening. Sesekali aku tersenyum kecil saat ada yang menyapa. Lalu duduk di kursiku, di barisan tengah, kursi kedua dari depan. Melihat jam di tangan kiri, aku menghela napas karena jam belajar baru akan dimulai lima belas menit lagi. Sedangkan sekarang aku tidak tahu harus apa untuk menghabiskan waktu lima belas menit itu. Jadi aku memutuskan untuk menata peralatan tulis di atas meja. Namun mataku justru menemukan sesuatu yang menarik saat membuka tas. Begitu melihat buku harian milik Lord Hugeman, rasa penasaranku muncul begitu saja. Lantas kuambil buku tersebut dan memandangi sampul bukunya selama beberapa detik. Setelah puas mengamati sampulnya, aku pun membuka gembok yang mengunci buku tersebut dengan kunci silver yang diberikan Profesor, kemudian membukanya dengan perasaan berdebar. Christopher Van Hugeman Dairies Itulah isi dari halaman pertama buku tua ini. Aku memperhatikannya dengan seksama, melihat tulisan tangan yang begitu rapi tersebut cukup lama. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk membukan halaman selanjutnya dengan perasaan campur aduk. 16 June Tubuhku terasa kaku dan sakit. Mungkin faktor usia yang membuatku seperti ini. Perasaanku mulai gelisah memikirkan nasib dunia di masa depan. Jika aku mati, lalu siapa yang akan melindungi dunia ini? Yang kemungkinan besar akan diserang oleh para penyihir hitam. Bayangan-bayangan di masa depan terus bermunculan di pikiranku. Gambaran seluruh daratan yang dipenuhi oleh mayat dan lautan darah membuatku tidak tenang. Aku harus melakukan sesuatu untuk menyelamatkan semuanya. Aku yakin Dark Demon tidak akan tinggal diam setelah aku mengalahkannya. Walaupun dia sudah mati, aku yakin dia sudah merencanakan sesuatu untuk membalaskan dendamnya padaku. Kupikir ini sangat seru. Entah kenapa rasanya seperti membaca buku sejarah, bukan buku harian. Jadi aku pun membuka halaman selanjutnya dengan rasa penasaran tingkat tinggi. 17 June Apa yang telah kulihat di masa depan semakin menghantui. Tangisan dan jeritan memilukan yang terdengar di mana-mana membuatku frustasi. Seluruh umat manusia dibantai, sedangkan semua makhluk mistik sudah lenyap dihabisi. Para penyihir dan bangsa peri juga berakhir tragis. Benar-benar tidak ada yang bahagia. Dan setelah melihat seseorang mirip Dark Demon yang terlintas sekilas, kurasa Dark Demon akan memberikan kekuatannya pada keturunannya nanti. Aku yakin begitu, dan sebab itulah dunia ini di serang. Apa yang harus kulakukan? Aku tidak bisa membiarkan hal itu terjadi. Dunia ini harus selalu damai. Ingin sekali kuhapus kekuatan semua penyihir yang menyebabkan peperangan terjadi. Tapi, aku bukan dewa. Jelas saja aku tak bisa melakukannya. Lalu apa yang harus aku lakukan sekarang? Semengerikan itukah teror yang diberikan Raja Kegelapan? Hanya membacanya saja sudah membuat bulu kudukku merinding. 18 June Percikan bayangan ramalanku memunculkan empat orang remaja. Awalnya aku bingung. Tapi setelah mendapat pencerahan dari sahabat baikku, Xean. Aku mendapat sebuah ide. Tidak ada yang tidak mungkin kan? Takdir bisa dirubah asal kita mau berusaha bukan? Kurasa ini akan berhasil. Aku yakin itu. Sangat yakin. Malam itu, aku menggambar wajah empat remaja yang selalu muncul dalam bayangan ramalanku. Dua laki-laki dan dua perempuan. Kuikat takdir mereka dengan sihirku. Kujadikan mereka sebagai anak utusanku untuk melindungi dunia ini. Salah satu dari mereka mungkin keturunanku, karena wajahnya tampak mirip denganku. Benarkah apa k****a itu? Salah satu di antara kami berempat adalah keturunan Lord Hugeman. Siapa yang memiliki wajah yang mirip dengan Lord Hugeman? Rega? Tom? Holly? Atau aku? Teeet… teeet… Bunyi bel tanda masuk itu benar-benar membuatku kesal. Padahal aku baru membaca sedikit. Dengan berat hati kututup buku harian itu dan kembali menaruhnya dalam tas. Setelahnya aku hanya bisa pasrah dan fokus mengikuti dua mata pelajaran selama empat jam.   =»«=   Saat jam istirahat aku sudah duduk di kursi yang ada di depan kelas. Rasa penasaran akan isi buku harian Lord Hugeman membuat rasa laparku hilang. Sekarang tidak ada hal yang lebih menarik daripada membaca kembali buku tersebut. 19 June Hari ini aku menyibukkan diriku berada di ruang rahasia. Aku sudah menyiapkan rencana untuk mengubah takdir akan peperangan itu. Saat ini aku terpaksa menggunakan sihir terlarang untuk menyalurkan 40% kekuatanku pada anak utusanku di masa depan. Bagaimanapun juga, mereka harus bisa mengalahkan keturunan Dark Demon yang memiliki sihir hitam terkuat yang pernah ada. Yang mungkin kekuatannya akan melebihi Dark Demon itu sendiri. Aku juga menyalurkan beberapa kekuatan unik untuk mereka. Dengan resiko sisa waktuku di dunia diserap oleh sihir terlarang itu. Tapi itu bukan masalah, yang terpenting adalah masa depan dunia tidak hancur oleh p*********n para penyihir hitam. Ternyata kekuatan kami adalah pemberian dari Lord Hugeman. Usai membaca ini, kupikir dia memang duplikat dari seorang dewa perdamaian. Oh, bukan! Kurasa dia memang dewa perdamaian. “LAVE!” Baru saja aku akan membalikkan lembaran buku itu ke halaman selanjutnya, sebuah suara cempreng yang berteriak lantang harus membuatku mengurungkan niat tersebut dan beralih melihat sumber suara. Tak jauh dari keberadaanku, tampak sosok Lea yang sedang tersenyum lebar. Auaranya yang sangat cerah itu membuatku harus menyipitkan mata saking silaunya. Dari sana aku bertanya-tanya, apa sebenarnya yang membuat mood Lea sebagus itu? “Lea, jangan berteriak. Ini bukan hutan,” protesku yang sama sekali tidak ditanggapi olehnya. Gadis berambut indigo itu justru malah melangkah semangat, lalu duduk tepat di sampingku tanpa menurunkan senyum lebarnya yang menyilaukan. Dengan mata berbinar-binar dia menatapku penuh harap. “Hei, kau sudah berjanji akan bercerita padaku kan?” ucapnya, menuntut permintaannya yang tadi pagi. Kalau sudah begini aku tidak bisa menghindar darinya. Aku mengusap wajahku frustasi. Sedangkan Lea terus menatapku seolah memintaku untuk segera menceritakan semuanya. Sebelum itu aku menarik napas panjang sebelum mulai bercerita, lalu menghembuskannya secara perlahan. “Kau harus janji tidak akan memberitahukan hal ini pada siapapun!” pintaku. Lea mengangguk semangat, “Tentu saja! Aku janji!” Aku menatap Lea selama beberapa saat sebelum menghela napas panjang, sepertinya aku memang tidak bisa menghindar. “Kemarin saat di perpustakaan, aku dan Rega dibawa ke Kastil Dynami yang berada di puncak Gunung Greenom.” “APA?!” mata biru tua Lea melebar dengan mulut yang menganga. Dia seperti itu selama beberapa detik. Tapi setelahnya gadis tersebut malah tertawa, “Kau bercanda ya?” “Tak mau dengar tak apa,” jawabku cuek. Melihat reaksiku yang seperti itu, Lea langsung panik. “Jangan!” cegahnya. “Iya, iya aku dengarkan” ujar Lea dengan ekspresi memelas. Sedangkan aku hanya menatapnya tajam, “Jangan memotong ceritaku!” “Iya, Lave. Aku kan hanya syok tadi. Lagian bagaimana bisa kau pergi ke sana? Bukannya tidak ada seorang pun yang bisa kembali setelah pergi ke gunung itu?” Lea terlihat sangat penasaran sekarang. “Justru itu, dengarkan dulu ceritaku!” kataku geram. Gadis berambut indigo itu akhirnya mengangguk, “Baiklah. Lanjutkan!” Sebelumnya aku sempat menggaruk pipiku sebelum kembali bercerita. “Kemarin sewaktu di toko buku, Rega menemukan buku yang berjudul Misteri Gunung Greenom. Tak disangka, keluar sebuah bola cahaya dari buku tersebut. Dan yang lebih mengejutkannya lagi adalah bola cahaya itu bisa berbicara.” Kulihat Lea tampak mengerutkan alisnya bingung. “Bola cahaya yang bisa bicara?” ulangnya lagi seolah tidak percaya. Lantas aku mengangguk, “Iya, bola cahaya itu berbicara kepada kami berdua. Dia berkata bahwa kami harus ikut dengannya ke suatu tempat. Akan tetapi, belum sempat kami menjawab, bola cahaya itu meledak. Aku menutup mataku karena silau. Namun begitu membuka mata, aku dan Rega sudah berada di ruangan besar yang begitu megah. Di sana tidak hanya ada kami berdua, ada juga dua orang lainnya yang seumuran dengan kami,” lanjutku dan Lea mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti. “Saat itu juga aku berkenalan dengan dua orang lainnya. Yang laki-laki bernama Tom, sedangkan yang perempuan bernama Holly. Ketika kami berbincang-bincang, tiba-tiba saja terjadi gempa yang cukup hebat. Kemudian disusul oleh sebuah kabut tebal yang menutupi pandangan di ruangan itu. Setelah kabutnya lenyap, ada seorang pria yang aku rasa umurnya sudah setengah abad. Dia tersenyum ke arah kami dan memperkenalkan dirinya sebagai seorang Profesor bernama Peter. Awalnya aku sedikit mencurigai dia. Aku takut dia orang jahat yang ingin mencelakaiku. Tapi dia terus mengatakan hal yang bisa menyakinkan kami. Dia juga bercerita tentang seorang penyihir bernama Lord Hugeman. Si Dewa Perdamaian." Aku terdiam sejenak sambil menarik napas. Tapi Lea langsung memprotes karena aku tak kunjung melanjutkan ceritaku. “Lalu apa?” desaknya tidak sabar. Sesaat aku menatapnya datar karena keantusiasannya yang berlebihan, lalu kembali melanjutkan ceritaku, “Awalnya aku tidak percaya kalau penyihir itu ada, tapi setelah dia membuktikannya akupun percaya padanya. Dia menceritakan sejarah perjuangan Lord Hugeman melawan penyihir hitam bernama Dark Demon. Lalu setelah itu dia menceritakan tentang ramalan empat remaja penjaga Magic crystal.” Gadis di sampingku terlihat mengusap-usap dagunya, “Ini seperti dongeng fantasi,” celetuk Lea dengan wajah innocent. Refleks aku melotot padanya, “Hei! Kubilang jangan memotong!” protesku, dan dia hanya nyengir lebar. “Kemudian, Profesor mengajak kami ke sebuah ruangan rahasia dengan jalan yang rumit dan berliku-liku. Kami harus melewati lorong-lorong yang gelap, labirin yang menyeramkan dan tangga yang menakutkan. Sampai akhirnya kami tiba di sebuah ruangan yang sangat besar. Kami diberitahu oleh Profesor tentang beberapa rahasia di sana. Dan apa kau tahu siapa empat remaja yang diramalkan Lord Hugeman sebagai penjaga Magic crystal itu?” Lea orang yang sedikit peka terhadap sebuah kode. Tapi kurasa kali ini dia tidak mengerti maksudku. Dia hanya diam memperhatikan, tatapannya seolah berkata 'Memangnya siapa?'. Karena kelambanannya itu aku pun harus menjelaskan lagi. “Empat remaja itu adalah kami, Lea. Mereka menyebut kami sebagai Watchwizard, si penyihir penjaga. Aku benar-benar terkejut saat itu.” Melihat wajah sedihku, Lea bergerak mendekat untuk mengusap bahuku. Mencoba menghibur. “Lalu Profesor membuka segel kekuatan kami. Dan terbentuklah tanda ini,” ujarku seraya melepas communication clock agar Lea bisa melihat tandanya. Dengan perlahan Lea menyentuh tanda tersebut, memperhatikan tanda berwarna ungu di tanganku untuk waktu yang cukup lama. Seakan-akan hal itu merupakan sesuatu yang menakjubkan baginya. “Tanda yang sangat cantik!” ucapnya pelan sambil membolak-balikkan lenganku. “Benar, tanda ini memang cantik.” Aku diam memperhatikan tanda itu. “Tapi dia adalah tanda yang membawa takdir buruk bagiku.” Lea tampak terkejut mendengar ucapanku. Kali ini dia menatapku serius, sorot matanya menuntut jawaban. Sebuah jawaban yang bahkan aku pun enggan mengatakannya. Entah kenapa mengingat semua hal yang dikatakan oleh Profesor kemarin membuatku merasa sesak. Ada sebagian dari diriku yang menolak keras kenyataan bahwa aku seorang Watchwizard. Aku jadi bingung dan tidak tahu harus apa. Sedangkan Lea, dia memperhatikanku dengan wajah prihatin. Seakan tahu apa yang aku rasakan, gadis berambut indigo itu tidak menanyakan apapun lagi. Dia diam saja sambil terus mengusap bahuku. “Lea,” aku memanggilnya dengan suara pelan. “Ya?” Setelah menarik napas panjang berulang kali, aku pun memberanikan diri untuk menanyakan hal ini. “Jika aku mempunyai kekuatan yang terlampau besar sampai aku tidak sanggup menahannya, apa kau masih mau menjadi temanku?” Lea sepertinya tidak mengerti dengan maksud ucapanku, dia malah mengerjapkan matanya berulang kali. Tapi meski begitu dia tetap mengangguk yakin, “Kau temanku satu-satunya. Sampai akhir pun seperti itu kan?” “Bahkan jika aku tidak sadar sudah melukaimu, apa aku tetap temanmu?” tanyaku lagi. Karena sejujurnya inilah hal yang paling aku takutkan. Dengan kekuatan ini, aku takut mencelakai orang-orang yang kusayangi. Namun walaupun aku sudah berkata seperti itu, Lea tetap mengangguk yakin. “Tentu saja. Kita teman selamanya!” jawabnya tanpa ada keraguan sedikit pun. Mendengarnya membuatku merasa lega. Setidaknya aku masih memiliki Lea yang sangat mengerti perasaanku. Jadi aku tidak boleh mengecewakannya dengan merasa pesimis seperti ini. Bagaimana pun juga, inilah takdirku. Aku harus harus menghadapinya dengan sungguh-sungguh. “Terima kasih, Lea. Terima kasih banyak.” Gadis itu semakin bingung, “Kenapa berterima kasih? Kau membuatku takut.” Aku menggeleng sambil tersenyum, lantas kugenggam tangan sahabatku satu-satunya itu. Karena mungkin nanti aku akan sulit menemuinya seperti ini. “Aku pasti bisa menghadapinya kan?” gumamku pelan. Tapi tampaknya Lea mendengarnya, “Hm, aku sedikit tidak mengerti. Tapi seorang Lavender Vauquelin mana mungkin tidak bisa melakukannya? Sahabatku yang pintar tapi cupu ini kan sangat hebat!” ujar Lea dengan santai. Sekali lagi ucapan Lea membuatku merasa lega. Meskipun hanya kalimat sederhana tapi itu cukup untuk memotivasiku.    =»«=      
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN