Prologue
"Apa yang kau ketahui tentang ilmu sihir?"
"Nyatakah? Atau mitoskah?"
"Jika ilmu sihir itu nyata, apa yang akan kau lakukan?"
"Mengubah segala macam benda menjadi berbagai makanan enak?"
"Atau terbang di langit menggunakan sapu terbang?"
"Jika benar semenyenangkan itu memiliki ilmu sihir, lantas mengapa rasanya ilmu sihir itu terdengar seperti ilmu hitam yang menyeramkan?"
"Tunggu! Aku tidak setuju jika ilmu sihir itu menyeramkan!" seru bocah kecil berusia enam tahun.
Pemuda berambut coklat yang duduk bersandar pada kepala tempat tidur itu merengut kesal karena ceritanya dipotong, memandang sebal ke arah sang anak kecil tersebut.
"Dengarkan saja ceritanya, dan jangan memotong!" tukasnya dengan tajam, sukses membuat anak kecil yang mirip dengannya itu memajukkan bibirnya ke depan dengan jengkel.
Setelah anak kecil itu diam dan duduk tenang kembali, sang pemuda kembali melanjutkan ceritanya, "Apakah kau tahu siapa pemilik ilmu sihir terkuat?"
"Mungkin Harry Potter, atau bisa juga Dumbledore. Ah! Tidak! Pasti Voldemort pemilik ilmu sihir terkuat!"
Lagi-lagi pemuda berambut coklat itu merengut kesal dan membanting buku cerita yang di genggamnya ke atas kasur. Tidak ingin melanjutkan ceritanya dan memilih menatap adik bungsunya dengan tajam dan sarat akan emosi.
Melihat tatapan tajam sang kakak, bocah kecil tersebut menunduk takut. Dia tidak lagi mengucapkan sepatah katapun. Takut jika nanti sang kakak marah besar dan mengobrak-abrik seisi rumah hingga runtuh dan rata dengan tanah. Kakaknya itu kalau sudah marah memang menyeramkan.
"Sebaiknya kau baca sendiri!" kesal sang pemuda yang baru saja hendak pergi, namun di tahan oleh sepasang tangan mungil yang menarik ujung piyamanya.
"Ayolah kakak... aku kan belum bisa membaca," keluhnya dengan wajah yang memelas dramatis. Mencoba meluluhkan kembali sang kakak.
Pemuda berambut coklat tersebut terlihat menghembuskan nafas kasar, lalu kembali duduk bersandar di kepala tempat tidur. Meraih buku cerita bergambar milik sang adik dan mulai membacanya.
Namun, sebelum semua itu terlaksana, sebuah panggilan yang terdengar dari arah balkon kamar menghentikan pergerakannya.
"Kakak! Kakak! Coba lihat!"
Itu suara adik perempuannya yang berusia sepuluh tahun. Dengan amat sangat terpaksa dan perasaan gondok yang luar biasa, pemuda itu turun lagi dari tempat tidur, melangkah menuju balkon. Membuat sang adik bungsu berteriak karena di tinggalkan.
"Kakak mau ke mana?!"
"Sebentar!" sahutnya ketus. Bocah kecil tersebut bungkam seketika, tanpa bertanya lagi dia mengikuti langkah kakaknya menuju balkon.
Di balkon kamar yang menghadap langsung ke jalanan, seorang gadis yang juga berambut coklat sebahu tengah menatap langit malam dengan bingung. Tatkala matanya mendapati kemunculan sang kakak dari balik pintu, dia langsung mengarahkan jari telunjuknya ke langit. Mencoba memberitahu sang kakak atas hasil penemuannya.
"Lihat itu, kak!" tunjuknya.
Dengan ogah-ogahan pemuda berambut coklat itu mengikuti arah pandang adik perempuannya. Seketika manik mata coklatnya menemukan sebuah bola hitam pekat yang tampak samar jika dilihat saat malam hari. Matanya memicing dengan dahi yang berkerut, mencoba menebak benda apa itu sebenarnya.
Semakin lama dia memandang benda bulat hitam itu, dia semakin merasa ngeri. Rasa takut dan gelisah tiba-tiba saja menyeruak ke dalam dadanya, membuatnya merasa sesak dan sulit bernafas.
Bola hitam yang mirip planet itu mengeluarkan aura negatif yang jahat. Bahkan kabut hitam yang menguar dari dalam benda itupun dapat terlihat jelas walau hari sudah malam. Benda bulat itu menggantung di langit bagai sebuah komet yang siap menghantam bumi.
Mendadak tubuh pemuda itu bergetar hebat karena ketakutan.
Bertepatan dengan itu, dari arah jalanan terdengar suara sirene polisi yang berkejaran dengan suara deru mesin mobil. Sontak perhatian pemuda itupun teralihkan. Rupanya, di bawah sana telah terjadi kasus pembobolan sebuah bank.
"Akhir-akhir ini banyak sekali kasus kejahatan terjadi," ujar gadis kecil yang berada di samping si pemuda, "Kemarin, aku baru saja berbelasungkawa pada temanku yang terkena musibah. Katanya, toko milik orang tuanya sengaja dibakar oleh seseorang yang sampai saat ini belum ditemukan pelakunya." Ceritanya tanpa diminta.
"Hm," pemuda berusia enam belas tahun itu bergumam, "Tadi pagi aku bahkan mendengar berita pembunuhan di televisi," katanya, ikut bercerita.
"Dunia ini semakin gila," celetuk si bungsu sembari nyelonong pergi masuk ke dalam, diikuti oleh si adik perempuan yang mengekor di belakangnya.
Sebelum beranjak dari sana, pemuda berambut coklat itu kembali menatap bola hitam di langit. Dia berjengit ngeri tatkala melihat seringai seram seseorang yang terlihat sekilas di sana. Buru-buru dia masuk ke dalam dan mengunci pintu balkon.
"Menyeramkan"
Angin pun berhembus kencang, membawa awan mendung beserta petir yang mulai menyambar-nyambar. Daun-daun dan ranting terbang tertiup angin. Hingga debupun ikut dibawanya.
Hilir mudik orang-orang di jalanan kian sesak mengingat badai akan segera datang. Mereka berbondong-bondong menuju rumah masing-masing sebelum hujan turun.
Entah kenapa, keadaan negeri kini terasa suram. Seolah kehilangan cahayanya, kejahatan terjadi dimana-mana. Semua orang seakan dirasuki roh jahat yang menuntunnya untuk berlaku buruk.
Mengerikan. Ini sangat mengerikan.
Pria berusia sekitar setengah abad dengan kacamata yang bertengger di hidungnya terlihat memandang hiruk pikuk kota dari jendela menara kastil yang berada di puncak gunung Greenom. Tatapannya memancarkan sebuah kegelisahan dan kekhawatiran yang mendalam. Sesekali dia menarik nafas panjang seolah ada banyak sekali beban yang ditanggungnya.
"Hari ini sudah tercatat ada lebih dari 50 kasus kejahatan. Ini sangat buruk," sebuah suara terdengar dari arah belakangnya.
Tanpa perlu repot-repot melihat siapa yang datang, pria itu sudah tahu siapa orang yang berbicara barusan. Siapa lagi jika bukan sahabat terbaiknya yang super garang.
"Aku bisa merasakannya," ucap pria itu pelan, menyerupai gumaman.
Wanita yang diketahui sebagai rekan pria itu mengerutkan dahinya bingung, tidak mengerti maksud ucapan pria di depannya.
"Maksudmu?"
Pria berkacamata tersebut berbalik, "Planet Dusky mendekati bumi," katanya. "Dia ada di sini."
Wajah wanita itu berubah pucat seketika, seolah darahnya dihisap dengan sekejap mata. Bahkan tubuhnya yang bergetar ketakutan pun dapat dengan mudah dilihat.
"Sang raja kegelapan telah kembali."
=»«=