Lauren harus mencengkram bed cover saat dokter harus menyuntikkan infus padanya. Dia benci pada tubuhnya seperti ini dan harus merasakan selang infus di tubuhnya. Dokter hanya mengatakan kalau Lauren kelelahan dan terlalu banyak mengonsumsi alkohol. Setelah melarang banyak hal pada Lauren, dokter pun merapihkan barang-barangnya dan pergi dengan Fabian yang mengantarnya sampai depan pintu. Lauren merebahkan kepalanya di tempat tidur dan memijatnya. Setelah tadi dia memuntahkan seluruh isi perutnya, tiba-tiba saja Lauren pingsan dan Fabian membawanya ke kasur. Pria itu juga yang menghubungi dokter dan sampai setelah Lauren sadar. Lauren menatap selang infus yang masih menggantung dan tersambung ke lengannya. Dia benci selang infus dan segala obat-obatan. Dia benci menjadi orang penyakitan dan terlihat lemah. Tapi bagaimana dia bisa mencabut selang ini.
Lauren merasakan langkah Fabian memasuki kamar. Dengan enggan dia tetap menutup matanya seakan-akan dia sudah tertidur. Lauren masih marah dengan tuan bossy itu. Dengan seenaknya saja membuang makanannya. Walau dia membuatkan telur dadar yang baru, tetap saja Lauren tidak suka setiap kali pria itu mengatur pola hidupnya. Fabian terlalu mengatur seluruh kehidupannya. Dan setiap kali Lauren mengelak dari apa yang di perintahkannya, Fabian akan menatapnya dengan dingin. Seakan Lauren boneka yang hanya bisa bergerak dengan apa yang dia perintahkan. Dia tidak bergerak dengan keinginan orang lain. Dia bergerak dengan apa yang dia inginkan.
“Apa masih ada yang sakit?” Lauren mengacuhkan pertanyaan Fabian dan tetap memejamkan matanya. Dia tidak ingin berbicara sepatah kata pun dengan Fabian. Biar tuan bossy itu tahu tidak semua orang bisa ia perintah.
Fabian hanya menatap Lauren yang masih memejamkan matanya dan dia tahu perempuan itu tidak benar-benar tidur. Dia hanya sedang menghindar darinya. Fabian menarik napas dan duduk sisi kasur. Dia memperhatikan perempuan yang tiba-tiba saja masuk dalam kehidupannya. Sudah hampir empat bulan mereka bersama. Walau tanpa hubungan apapun, tapi Fabian memiliki kewajiban untuk menjaganya. Wanita kecil dan terlihat memendam sejuta luka di balik senyum anggunnya. Tangannya menyentuh anak rambut Lauren dan menyampirkannya. Entah apa yang ia pikirkan, Fabian hanya memajukan tubuhnya mencium kening perempuan itu dan meninggalkannya sendiri.
****
Lauren mendorong kopernya melewati bandara changi bersama tuan bossy yang berjalan di sampingnya. Karena kondisi Lauren yang mendadak drop, Fabian menghubungi tuan Adrian dan mengundurkan pertemuan. Dan selama itu juga Fabian seakan menebus kesalahannya. Dia membuatkan bubur dan menyuapi Lauren. Pria itu juga membelikan beberapa novel baru untuk Lauren, agar dia tidak bosan di rumah. Lauren cukup tersanjung dengan seluruh usaha pria itu untuk membuatnya kembali membuka mulut. Dan pada akhirnya dia benar-benar lemah dengan saat pria itu mulai melakukan jurus terakhirnya. Dengan sengaja dia membuka kaos dan dengan celana jinsnya, tuan bossy itu menaiki kasur, membuat Lauren terpojok pada kepala tempat tidur. Dia hanya bisa menelan ludah karena tidak tahu apa yang akan pria itu lakukan padanya.
“A...apa...” Lauren seperti merasa suaranya tercekat dan tak bisa keluar, dia berdeham dan kembali berkata,” apa yang kamu lakukan?” Fabian hanya tersenyum dengan Lauren yang terlihat gugup. Lauren ingin memaki senyum sialan yang membuatnya tidak bisa berkata apapun.
“Aku tahu aku salah, tapi aku melakukan itu karena aku tidak mau kamu sakit. Karena kamu tahu seberapa aku membutuhkanmu,” ucapan Fabian membuat Lauren terhenti beberapa saat dan menatap pria dihadapannya. Dan Lauren mengerti apa yang dia maksud. Pria ini mengizinkan Lauren tinggal di apartemen ini dengan seluruh kemewahan yang ia berikan. Bukan hanya untuk tidur dengan infus yang tersambung kelengannya. Melainkan untuk menghangatkan kasurnya.
“Maaf, aku akan segera sembuh,” ucap Lauren. Namun pria sialan itu masih menatapnya dan dengan perlahan melumat bibir Lauren. Tanpa peduli ciuman itu seakan mengambil seluruh persediaan pernafasannya. Lauren mencengkram bed cover, tidak tahu mana yang membuatnya sesak, saat infus itu terpasang di lengannya, atau ciuman Fabian yang membuat kepalanya terasa berputar. Bibir pria itu seakan meraup bibir Lauren, menghisap bibir bawah dan atasnya secara bergantian. Lauren merasakan lidah pria itu menyusup masuk dan melilitkan lidah mereka dan kembali melumat bibirnya dengan seluruh gairahnya. Dengan sedikit paksaan Fabian menghentikannya dengan wajah mereka yang masih tanpa jarak, Fabian kembali berkata,” tubuhmu adalah milikku.” Lauren tidak mengerti sepenuhnya dengan perkataan Fabian tersebut. Tapi jika dia mencoba menelaah, bagi Fabian dirinya adalah bonekanya. Dia sudah memutuskan untuk menjadi bagian dari segala permainan Fabian, dan sudah semestinya dia menuruti segala permintaan pria ini. Termasuk menyerahkan seluruh kehidupannya pada Fabian.
****
Lauren melepaskan heels yang masih tergantung di kakinya dan meluruskan kakinya di sofa. Jam baru saja menunjukkan pukul sebelas malam dan dia baru sampai di hotel. Fabian sudah memasuki kamar mandi terlebih dahulu, sementara Lauren lebih memilih untuk merebahkan tubuhnya terlebih dahulu, sebelum ia pergi mandi dan mereka harus kembali pergi untuk makan malam dengan tuan Adrian. Rasanya Lauren ingin memilih untuk tidur saja di ranjang king size. Tapi dia tidak akan bisa melakukannya untuk saat ini, karena bagaimana pun dia harus menemani Fabian dalam makan malam. Karena itu adalah perintah dari tuan bossy. Lauren baru saja berniat untuk memejamkan matanya, tiba-tiba tetesan air jatuh ke wajahnya. Dia membuka matanya dan melihat Fabian yang hanya mengenakan handuk hotel berdiri dihadapannya.
“Apa kamu membutuhkan aku untuk memandikanmu?” pertanyaan Fabian itu dengan segera ditolak Lauren, dia berniat untuk beranjak dari sofa, tetapi tangan pria itu lebih dulu menangkap tangan Lauren dan memeluknya dari belakang. Demi Tuhan! Lauren tidak pernah bisa mengelak dari setiap sentuhan pria ini. Bahkan hembusan napasnya saja seakan membuat jantung Lauren berdetak lebih cepat. Tangan pria itu sudah menyusup ke dalam dress Lauren dan menjalankan jemarinya dilekukan paha Lauren. Membakar seluruh tubuh Lauren dan membuat napas perempuan itu seakan tidak berfungsi dengan baik. Lauren membutuhkannya, Lauren berharap pria itu menyentuhnya lebih jauh, tetapi tangan terhenti di saat Lauren sudah merasa gila.
“Aku tidak ingin membuat Adrian menunggu terlalu lama,” hanya itu yang Fabian katakan, sebelum akhirnya pria itu meninggalkan Lauren ke dalam kamar. Lauren ingin merutuk dan memaki pria sialan itu. Dia selalu bertindak sesukanya, memancing gairah Lauren, lalu meninggalkannya. Lauren mendengus kesal dan berjalan ke kamar mandi. Kalau saja pria itu tidak memberikan kehidupan mewah padanya, sudah pasti Lauren akan memilih meninggalkannya.
****
Acara makan malam itu sangat kaku. Pembicaraan kedua boss itu pun membuat Lauren ingin mati karena bosan. Dia hanya bisa meminum segelas sampange yang disedikan witers dengan coklat ice cream yang sudah hampir cair. Lauren sadar dengan tatapan Fabian yang sesekali melirik padanya. Tapi pria itu pun tidak peduli karena dirinya sudah hampir bosan. Jadi dia pun mencari kenikmatannya sendiri yaitu dengan segelas sampange dan semangkuk coklat ice cream.
“Saya akan memperkenalkan anda pada teman lama saya. Dia juga seorang pengusaha terbaik dan saya yakin kalian bisa bekerja sama,” ucap Adrian.
“Ya, saya harap.” Fabian kembali melirik pada Lauren yang sudah menghabiskan satu gelas sampangenya dan baru saja perempuan itu ingin menambah sampangenya. Jemari Fabian menyusup pada paha Lauren, seakan memintanya untuk berhenti. Namun, sesuatu yang Fabian rasakan membuatnya terhenti dan menoleh secara jelas pada Lauren. Tanpa menatap Fabian perempuan itu hanya tersenyum dan menghabiskan coklat ice creamnya seperti anak kecil.
“Baiklah Adrian, sepertinya ini sudah sangat larut. Saya ingin beristirahat.” Adrian hanya menganggukkan kepalanya dan menjabat tangan Fabian. Lauren pun menjabat tangan Adrian dan melemparkan senyum terbaiknya. Keluar dari restoran hotel, Fabian menggandeng Lauren memasuk lift dan mendorong wanita itu ke pojok. Tanpa pembukaan pria itu mencium Lauren dengan sangat terburu-buru, menggigitnya, dan mendesakkan lidahnya ke dalam mulut. Sementara jemarinya menjalar pada paha Lauren dan berhenti pada bagian lipatan.
“Apa yang kamu lakukan?” tanya Fabian dengan dingin.
“Apa?” balas Lauren seakan tidak merasa takut dengan tatapan Fabian.
“Lauren!” napas keduanya saling berburu dan jemari Fabian seakan mencengkram daerah kewanitaan Lauren. Lauren hampir kehilangan kendali dan seakan berharap Fabian memberikan apa yang dia inginkan.
“Aku hanya lupa mengenakan cd,” balas Lauren yang masih berusaha untuk mengendalikan dirinya. Dan perkataan Lauren itu seakan membuat Fabian marah. Pintu lift yang langsung tersambung ke kamar mereka itu pun terbuka. Fabian mengangkat tubuh wanita itu dan melemparnya ke kasur king size. Lauren tahu apa yang akan ia dapatkan. Dia tahu menantang Fabian adalah suatu kesalahan. Tapi itu seperti sebuah candu yang Lauren inginkan. Seakan dia ingin menikmati setiap apapun yang Fabian berikan padanya.
Fabian kembali melumat bibir Lauren dengan rakus. Tanpa ada jeda sedikit pun bagi perempuan itu untuk bernapas. Bahkan dress yang ia kenakan sudah terkoyak dan menampakkan tubuhnya yang ramping dan putih. Jemari Fabian mencengkram payudaranya dengan kasar, seakan benda itu adalah squishy yang biasa dimainkan anak-anak. Lauren mengerang dalam lumatan Fabian. Pria itu benar-benar menghukumnya. Dia hanya mempermainkannya. Membuatnya mengerang dengan setiap sentuhan, lumatan dan cengkramannya. Namun, sedikit pun ia tidak memberikan yang Lauren inginkan.
“Fabianhh... aku mohonhh... aahhh...” Lauren mengerang di sela permohonannya. Bibir pria itu menggigit payudaranya dengan kasar dan hanya memainkan jemarinya pada kewanitannya. Membuatnya semakin frustasi dan gila.
“Aku sudah pernah bilang, jangan bermain-main denganku,” ucap Fabian dingin. Dia kembali melumat bibir Lauren dengan rakus, berpindah pada bawah kupingnya hingga kelehernya. Wanita itu terlihat semakin frustasi. Dia mengerang, memohon bahkan Fabian mendengar tangisannya. Tapi dia tidak suka sifat kekanakkannya. Baginya Lauren hanyalah miliknya. Dan hanya dia yang bisa menikmatnya. Tapi bagaimana dia bisa keluar dari apartemennya tanpa mengenakan pakaian dalam? Dan membayangkan ada pria lain yang menyadari itu atau pun melihatnya, membuatnya marah.
“Fabiaaannhhh...” Lauren mengerang dengan keras saat Fabian memasukkan jemarinya ke dalam liang surganya. Dan hanya sekali sentak ia kembali mengeluarkannya. Membuat wanita itu semakin menggila.
“Berjanjilah, kamu tidak akan mengulanginya lagi,” bisik Fabian. Lauren tidak langsung menjawab, otaknya masih tidak bisa bekerja dengan baik. Dia mendambanya, dia menginginkannya dan dia benar-benar akan gila jika Fabian terus mengujinya seperti ini.
“Lauren!”
“Baiklah! Aku janji!” mendengar perkataan Lauren, Fabian pun menjadi melembut. Dia mengecup bibir wanita itu sekilas, turun pada puncak payudarannya dan memainkannya seperti squishy.
“Fabbhh...” Lauren merasakan kenikmatan itu. Saat jemari Fabian menyentuh kenikmatannya. Menghentakkan jemarinya di sana dan membuatnya hanyut dalam gairah. Ciuman Fabian turun pada perutnya. Mengecupnya dengan sekilas dan jatuh pada liang surganya.
“Aaah... Fabiaahhh...” Lauren mengerang dengan keras. Jemarinya mencengkram kepala pria itu dan membuka kakinya dengan lebar, menikmati kehangatan, gairah dan rasa frustasi yang seakan hampir meledak. Jari dan bibir Fabian seakan beradu, membuat otaknya seakan benar-benar tidak berfungsi. Dia mengerang dengan keras, merasakan rasa frustasi itu semakin meninggi, seakan ia terbang pada sebuah puncak tower hingga akhirnya terjatuh pada sebuah kenikmatan. Deru napas Lauren terdengar putus-putus, dia masih merasakan bibir Fabian di bawah sana sebelum akhirnya ia kembali mencium bibir Lauren dengan sangat panas. Lauren membuka kemeja Fabian dengan tidak sabar dia menariknya, membuat dua kancing terlempar. Sementara pria itu berusaha membuka celananya dan kembali merasakan tubuh wanita itu lebih dalam. Keduanya saling berpelukan, keduanya saling membutuhkan dan mereka seakan hanyut pada rasa gairah yang seakan tidak pernah terputus. Lumatan, hentakan dan geraman saling beradu. Seperti sebuah simfoni lagu yang menghentakkan kepala mereka. Keduanya tenggelam secara bersama, mencari sebuah kenikmatan dan hingga akhirnya mereka meledak dalam waktu bersamaan.
****