chapter 4

752 Kata
Entah sudah jam berapa, karena Lauren lupa mengecas ponsel mereka semalam. Sebenarnya bukan lupa, tapi karena mereka sudah semakin gila pada gairah. Mengenakan kemeja Fabian yang dua kancingnya entah terpental kemana, Lauren berjalan ke meja bar dan membuat kopi. Kepalanya benar-benar sakit, sampange dan kegiatan mereka semalam seakan menguras seluruh tubuh Lauren. Dia juga mengambil satu obat yang harus ia minum secara rutin. Pil kb. Dari saat mereka sepakat dengan hubungan itu, Fabian menyarankan Lauren untuk meminum pil kb secara rutin. Karena dia tidak suka mengenakan kondom dan jika dia tidak memakai benda itu, Lauren bisa hamil. Dan Fabian tidak ingin disulitkan dengan anak-anak. Jadi Fabian memerintah Lauren untuk meminum pil itu secara rutin. Membawa secangkir kopi ke meja ruang tengah, Lauren membaca beberapa jadwal Fabian dan mengatur jadwal. Dia menyandarkan tubuhnya pada tangan sofa dan menaikkan kakinya dengan satu kaki terlipat. Tubuhnya masih terasa sangat lelah dan rasanya dia ingin tidur seharian ini. Lauren tidak ingat mereka melakukan berapa kali. Yang pasti Fabian memiliki tenaga yang cukup ektra, padahal dia tidak meminum obat apapun.               “Apa kamu masih ingin menggodaku?” ucapan pria itu hanya di balas Lauren dengan tatapan polos.             “Tergantung, kamu ingin mengartikannya seperti apa,” balasan perempuan itu membuat Fabian tersenyum sekilas. Dia mendekati perempuan itu, melayangkan jemarinya pada paha mulus Lauren dan membelainya. Lauren harus menahan napasnya, atau dia akan kembali dipermainkan. Dengan sedikit tenaganya, Lauren berdiri dihadapan Fabian memberikannya ciuman yang panas dan menyentuh bagian terpenting bagi Fabian di balik boxernya. Fabian terlihat menikmatinya dan di saat pria itu terhanyut dan gila akan gairahnya. Lauren melepaskan ciuman dan sentuhannya,” aku harus bersiap untuk pertemuan dengan tuan Andrian.” Dia melangkah ke kamar mandi dan menguncinya dengan rapat. Dari dalam kamar mandi Lauren mendengar geraman pria itu. Dia pun tertawa akan pembalasannya.   ****   Hari ini tuan Adrian mengajak Lauren dan Fabian untuk berkeliling kota singapura. Mengunjungi beberapa pusat perbelanjaan yang ditanganinya selama ini dan juga beberapa cabang-cabang perusahaan lainnya. Seperti cafe, game station, dan  juga restoran. Semuanya sudah tersebar di singapura, indonesia dan beberapa negara asia lainnya. Dan Adrian berniat untuk melebarkan usahanya keseluruh dunia. Dan karena itu dia menghubungi Fabian agar bisa melebarkan sayap perusahaannya ke eropa. Dan kebetulan Fabian pun membutuhkan gandengan untuk perusahaannya di asia. Jadi karena itu mereka saling membantu satu sama lain. Setelah melihat beberapa tempat, kini mereka memasuki restoran milik Adrian. Selain untuk makan siang, mereka juga ingin membicarakan soal kontrak dan juga ada satu orang lagi yang ingin Adrian kenalkan pada Fabian. Di saat kedua pria itu sedang berbincang, Lauren memilih untuk pergi ke toilet.   Usai kembalinya dari toilet Lauren melihat seseorang sudah memunggunginya. Pasti itu orang yang Adrian ingin kenalkan pada Fabian. Lauren memasang senyumnya dan berjalan mendekati mereka, tetapi langkahnya terhenti saat pria itu menoleh pada Adrian. Senyum yang sama, wajah yang sama, dan potongan rambut yang sama. Tubuh Lauren menggigil. Napasnya terasa sesak dan perlahan ia berjalan mundur. Lauren tidak tahu apa yang ia rasakan. Marahkah? Sedihkah? Atau takut? Tanpa memberi kabar apapun pada Fabian, Lauren memilih meninggalkan restoran. Dia berjalan keluar dan pergi sejauh mungkin. Dia tidak ingin pria itu menemukannya. Entah sudah berjalan seberapa jauh, Lauren duduk di taman dan menunduk. Tangannya sudah terasa berkeringat. Dadanya terasa sesak dan seakan dia tidak bernapas. Lauren membuka tasnya dan mencari obat antidepresan. Tetapi tidak ada. Lauren menelungkup. Ketakutan membuat tubuhnya bergetar. Dia sudah pergi terlalu jauh, tapi kenapa Tuhan masih mempertemukannya dengan pria itu. Lauren tak bisa lagi menahan air matanya. Dia merasa tubuhnya sudah diluar kendalinya. Dia menangis seperti anak kecil. Dia menggigil ketakutan, tetapi tidak ada satu orang pun yang menolongnya.             “Anak bodoh! Kamu hanya membuat aib untuk keluarga!” teriakan itu terngiang diotaknya.             “lebih baik kamu pergi dari rumah ini, kami malu memiliki anak sepertimu!” Lauren menutup kupingnya. Semuanya terasa nyata. Dia menatap tatapan orang-orang disekitar. Mereka menatapnya dengan benci, jijik dan seakan Lauren adalah w************n. Lauren beranjak dari bangku taman, dengan tubuh yang sempoyongan dia berjalan dengan cepat dan beberapa kali menabrak seseorang. Lauren semakin ketakutan dia ingin mati, dia lebih baik mati, dia tidak pantas untuk hidup. Semua orang membencinya. Semua orang memandangnya rendah. Tidak ada satu orang pun yang menganggapnya manusia. Lauren sudah berniat melempar tubuhnya pada jalan besar, tetapi satu tangan sudah lebih dulu menarik Lauren dan memeluknya. Lauren memberontak. Dia menangis dengan keras dan berusaha untuk melepaskan pelukan orang itu. Namun, Lauren tidak sempat untuk melepaskan diri. Tubuhnya sudah lebih dulu meluruh pada pelukan itu. Seakan pelukan itu seperti antidepresan yang menenangkan untuknya. Kesadaran Lauren pun hilang dalam pelukan pria itu.   ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN