Lauren membuka matanya dan menyadari dirinya sudah ada di hotel. Pakaiannya sudah berganti dengan lingerie berwarna perak. Lauren berusaha untuk bangun dari kasur. Dia merasa haus. Tetap saat ia hendak berdiri Lauren merasa kepalanya masih berputar, dia kembali duduk dan tidak berapa lama Fabian masuk ke dalam hotel dengan membawa troli makanan. Lauren mengerutkan kening tidak mengerti apa yang pria itu lakukan. Untuk apa dia repot-repot mengambil pesanan makanan? Bukankah dia bisa menyuruh service room untuk membawanya? Langkah Fabian masih berjalan mendekati Lauren dan berhenti beberapa jarak darinya. Dia menuangkan air putih ke gelas dan memberikannya pada Lauren. Lauren pun tidak mengelak dan meminumnya hingga tandas. Krongkongannya terasa kering, seakan dia baru saja lari sebanyak seratus putaran.
Lauren seakan mengingat-ingat apa yang terjadi padanya. Dan bayangan pria itu seakan kembali membuatnya menggigil. Dia memeluk tubuhnya sendiri dan menunduk. Dan dengan tiba-tiba dia berlari pada kopernya mengerluarkan seluruh isi koper, seakan-akan seluruh akal sehatnya kembali hilang.
“Lauren, berhenti.” Tangan Fabian menghentikan Lauren. Namun, pria itu masih melihat tubuh Lauren yang gemetar. Bukan karenan ketakutan, tapi karena ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Fabian membuka satu laci dalam koper dan mengeluarkan obat yang Lauren cari. Mengambil botol itu Lauren berusaha untuk membuka botol obat itu dengan tangan gemetarnya. Dan lagi-lagi Fabian menghentikannya, ia membuka obat itu dan memberikannya pada Lauren. Lauren segera meminumnya dan perlahan tubuhnya yang gemetar kembali normal. Tapi tidak pada rasa takutnya. Fabian melihat itu dari mata perempuan dihadapannya. Dia seperti tidak pada tempatnya. Seakan dia terbawa oleh mesin waktu pada saat dia merasa terluka, tersakiti dan terbuang. Tangan Fabian menarik Lauren ke dalam pelukannya. Awalnya tubuh itu mengelak ketakutan. Seperti apa yang tadi ia lakukan di trotoar jalanan. Namun, dengan perlahan tubuh itu meluruh. Tangisannya terdengar sangat kecang. Melepaskan seluruh perasaan yang dipendam. Fabian masih memeluknya. Membiarkan wanita itu membagi seluruh kesedihan dan ketakutannya. Fabian tidak tahu dengan perasaan yang ia miliki, yang ia inginkan adalah membuang seluruh ketakutan Lauren.
****
Lauren sudah menyerah pada penolakkannya dari suapan Fabian. Pria itu memaksa untuk menyuapkan makanan padanya. Padahal Lauren yakin dia masih mampu untuk makan sendiri. Setelah menangis entah berapa lamanya, Fabian tanpa bertanya apapun padanya hanya membawanya ke meja bundar yang biasa Fabian pakai untuk bekerja. Dia mengambil menu makanan Lauren dan memaksa untuk menyuapi perempuan itu. Seperti anak kecil yang patuh, Lauren tidak lagi berniat mengelak. Dia hanya menerima suapan dari Fabian hingga makanan dipiring habis. Lauren meminum jus jeruknya hingga setengah gelas dan kembali berjalan ke kasur. Kepalanya masih terasa sakit dan dia ingin tidur untuk beberapa waktu. Fabian pun terlihat tidak masalah dengan itu.
Fabian hanya menatap Lauren yang sudah tertidur. Dia memang tahu Lauren mengalami sedikit masalah pada mentalnya. Tetapi untuk beberapa saat itu tidak terlalu mengganggunya. Perempuan itu masih bisa mengendalikan dirinya dengan baik dan meminum obatnya di saat perasaannya sedang kacau. Tapi apa yang ia lihat tadi sangat mengganggu pikirannya. Di saat perempuan itu ingin melempar tubuhnya pada mobil yang melintas, tatapan penuh ketakutan, dan juga tangisannya tadi sangat membuat Fabian terkejut. Selama ini dia tidak pernah mencari tahu kehidupan Lauren, tapi karena apa yang lihat tadi Fabian menyuruh orang suruhannya untuk mencari tahu kehidupan Lauren sebelum mengenalnya. Dia ingin mengetahui apa yang membuat Lauren menjadi seperti saat ini. Dia juga mencari tahu dokter psikiater Lauren dan menanyakan masalah. Dan karena kode etik psikiater itu tidak bisa menceritakan keseluruhan masalah Lauren. Dia hanya berkata ada sesuatu di masalalu yang membuat Lauren menjadi seperti itu. Dia menjadi ketergantungan alkohol, s*x bebas dan kehidupan tidak sehat. Setelah menjalani trapis selama beberapa waktu dia bisa melepas alkohol dan mengendalikan dirinya pada s*x bebas. Dan untungnya dia tidak terjerumus lebih jauh, seperti obat-obatan terlarang.
Fabian berpikir apa yang membuat Lauren mengingat kembali kenangan buruknya. Fabian mencoba melihat kebelakang. Sesekali Lauren akan kambuh di saat mereka berada di mobil. Atau saat ada seseorang yang berteriak padanya. Fabian pernah melihatnya saat Lauren tanpa sengaja menumpahkan air ke baju seorang rekan bisnis Fabian. Dengan tiba-tiba pria itu membentaknya dan membuat Lauren terdiam dan saat itu juga Fabian melihat tatapan Lauren berubah. Dan setiap kali ia merasa kacau perempuan itu akan memilih pergi menghindari semua orang. Menghilang entah kemana dan membuat Fabian merasa khawatir. Dia tidak mengerti kenapa setiap kali Lauren hilang, yang ada dikepalanya adalah dia harus menemuinya. Sama seperti tadi saat Lauren pergi ke toilet dan hampir lima belas menit perempuan itu tidak kembali. Dan pada saat itu juga Fabian merasa harus mengecek toilet perempuan. Tentunya dia tidak masuk secara lancang, dia menyuruh seorang waiters untuk mengeceknya dan saat waiters itu mengatakan tidak ada seorang pun di dalam, Fabian segera berlari keluar untuk mencarinya.
Fabian menyandarkan kepalanya pada sofa dan menghela napasnya. Dia tidak tahu apa yang membuat menjadi segila ini pada Lauren. Dia tidak pernah mengerti apapun yang dia inginkan pada perempuan itu. Awalnya dia hanya menginginkan tubuh wanita itu. Dia hanya menginginkan kehangatannya dan kenikmatannya. Tapi dia seperti terjebak pada sebuah ruang dimana bukan hanya sebuah kehangatan yang ia butuhkan. Lebih dari itu. lebih dari sebuah sentuhan dan pelukan perempuan itu. Dia ingin menjadi satu-satunya pria dalam kehidupan Lauren. Memikirkan ada pria lain yang masih ada di hati Lauren, membuat Fabian menjadi kesal. Dia mendengus dan membanting gelas yang ada dihadapannya. Tidak berapa lama Fabian mendapatkan sebuah pesan.
Saya sudah mengirim data lengkap nona Lauren Adiyana.
Fabian mengambil laptopnya di meja nakas dan membukanya. Orang kepercayaannya itu cukup ahli dan bekerja dengan sangat cepat. Apapun yang dia inginkan pasti akan dengan cepat Fabian dapatkan. Dia menatap laptopnya dan membaca data pribadi Lauren. Wanita berusia dua puluh lima tahun itu adalah anak tunggal. Keluarganya tinggal di Jakarta. Fabian mengerutkan keningnya, sekalipun dia tidak pernah tahu kalau orang tua Lauren masih ada. Perempuan itu selalu berkata kalau dia hidup sendiri dan harus menafkahi hidupnya sendiri. Di usianya yang baru dua puluh tahun Lauren pernah hampir menikah. Dan satu nama yang tertera dilampiran itu membuat Fabian geram. Lucas Georgino. Pria yang ia temui tadi siang bersama Adrian. Fabian mencengkram kepalanya merasa sangat bodoh. Fabian menghela napas geram. Dia melirik pada perempuan yang masih tertidur. Masih ada satu hal yang Fabian tidak mengerti. Apa yang dilakukan Lucas sampai membuat Lauren menjadi seperti ini? Fabian yakin, itu bukan hanya sekedar perpisahan. Bukan karena pria itu mendadak menikah dengan seorang wanita kaya dan membuat Lauren menjadi sangat patah hati.
****