chapter 6

1196 Kata
Kembali pada rutinitas di Jakarta adalah hal yang paling melelahkan. Pendataan, mengatur arsip dan beberapa pidato juga surat kerjasama. Dia juga harus mencatat hasil keseluruhan pertemuan kemarin. Fabian akan kembali bertemu dengan Adrian beberapa waktu lagi di kantor ini dengan surat kontrak dari masing-masing. Dan setelah mereka menandatangani, mereka bisa melakukan kerjasama seperti yang mereka inginkan. Lauren mencetak seluruh surat kerjasama tersebut membuat klipingan dan memberikannya pada Fabian. Pria itu hanya mengecek sekilas dan menaruhnya di meja. Lauren pun pamit untuk keluar. Dia sedikit merasa aneh dengan Fabian setelah kembali dari singapura. Dari saat Lauren kehilangan akal sehatnya di sana, Fabian seperti sedikit menjauh dan jarang sekali berbicara. Dan saat Lauren bilang ingin berbelanja pun, Fabian hanya memberikan kartu kreditnya dan membiarkan Lauren pergi sendiri. Dan saat Lauren kembali dengan belanjaan yang hampir menghabiskan seluruh isi toko, Fabian pun tetap tidak berkomentar. Dia terlalu terpaku pada laptopnya.   Lauren kembali mendaratkan pantatnya pada kursi, dia kembali mengerjakan beberapa pekerjaan lainnya. Seperti mengatur arsip-arsip penting. Tidak berapa lama Fabian keluar dengan jas lengkap dengan dasi. Lauren pun berdiri karena biasanya pria itu akan mengajaknya, tapi untuk kali ini berbeda,” kamu di sini saja. aku hanya ingin bertemu dengan teman lama.” Lauren menganggukkan kepalanya dan kembali duduk. Masih bingung dengan tingkah aneh tuan bossy. Tanpa mempedulikannya Lauren memilih untuk melanjutkan pekerjaannya. Dalam hatinya Lauren sedikit takut, apa Fabian memiliki wanita lain? Tidak! Dia tidak cemburu sama sekali. Dia hanya takut Fabian akan membuangnya dan membuat dia harus kembali bekerja keras. Lauren menghela napas dan mencoba memfokuskan otaknya pada pekerjaan. Terserah Fabian ingin membuangnya atau apapun yang ingin ia lakukan. Lagi juga pada kenyataannya dia memang bukanlah orang yang beruntung. Bukankah sejak dulu dia memang menjadi orang buangan? Lauren tersenyum perih. Di saat ia kembali merasakan tubuhnya kembali terasa sesak. Lauren segera mengambil obat antidepresan di dalam laci kerjanya dan meminumnya.   ****   “Nona Lauren mengalami trauma besar. Bukan hanya karena ia ditinggalkan lelaki yang ia cintai. Pria itu juga sudah memberikan luka dalam pada nona Lauren,” psikiater itu menceritakan sedikit apa yang Lauren alami. Fabian membujuk psikiater untuk menceritakan seluruh masalah Lauren padanya dengan beralasan kalau dia adalah kekasihnya. Dan Fabian mengetahui hal yang sangat menyakitkan tentang Lauren. b******n itu memperkosanya di dalam mobil, membuat Lauren hamil dan membatalkan pernikahannya seminggu sebelum hari pernikahan mereka. Bahkan yang paling buruk adalah orang tau Lauren tidak membantunya sama sekali, mereka malah menghakiminya dan mengusir Lauren dari rumah. Kini Fabian mengetahui kenapa Lauren akan sangat ketakutan setiap kali ia berusaha menyentuhnya di dalam mobil. Perempuan itu mengalami hal yang sangat menakutkan.             “Lalu, apa yang terjadi pada kandungannya?” pertanyaan Fabian membuat psikiater itu berhenti beberapa saat, seakan ia memberitahukan hal yang paling menakutkan.             “Dia kehilangan bayinya, karena perasaan sedih dan tertekan.”   Fabian tidak bisa berkata apapun lagi. Dia pergi meninggalkan ruang psikiater itu dan berjalan keluar. Bagaimana bisa perempuan itu bisa mengalami begitu banyak beban yang ia jalani sendiri. Fabian mendongakkan kepalanya seakan mencari udara sebanyak yang bisa dapatkan. Dia mengerti rasa sesak yang Lauren rasakan, ketakutan yang membuatnya ingin membunuh dirinya dan juga kesedihan yang selalu ia sembunyikan di sudut hatinya yang paling dalam. Rasa itu seakan semakin kuat. Rasa ingin melindunginya, menjaganya dan memberikan kebahagiaan dengan apapun yang bisa ia berikan. Apapun itu.   Fabian memasuki mobil dan melajukannya menuju kantor. Karena kekalutannya dengan seluruh kabar Lauren, membuat Fabian menjadi diam dan tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Dan sialnya dia baru ingat Lucas akan datang ke kantornya jam lima sore. Dia sudah bilang untuk menunggunya. Dan Fabian merasa bodoh karena meninggalkan ponsel di meja kerja. Dia berharap Lauren sudah pulang dan tidak bertemu dengan pria itu.   ****   Lauren baru saja berniat untuk pulang. Namun, tiba-tiba saja seseorang menghubungi melalui resepsionis dan bilang ingin bertemu dengan Fabian. Lauren sudah katakan kalau Fabian tidak ada di tempat, tapi orang itu berniat untuk menunggunya. Lauren sudah menghubungi Fabian, namun sepertinya pria itu meninggalkan ponselnya di ruang kantor. Setelah mengambil ponsel Fabian, Lauren pun segera turun ke lantai dasar. Pria itu duduk di kursi sofa untuk tamu. Pria itu terlihat serius membaca majalah, membuat Lauren tidak mengenalinya. Masih berjalan mendekat dan saat pria itu mengangkat wajahnya. Lauren merasa seluruh tubuhnya seperti membeku. Tubuhnya menggigil dan mimpi buruk itu seperti menjadi sebuah kenyataan. Pria itu berdiri dihadapannya, seakan merasakan keterkejutan yang sama.             “Lauren.” Belum sempat pria itu mengeluarkan kata, Fabian sudah lebih dulu memanggil Lauren dan menggenggam tangannya. Fabian menatap pada pria yang seperti sama terkejutnya pada Lauren dan dia hanya berkata,“Maaf tuan Lucas, sepertinya pertemuan kita harus kita jadwalkan ulang.” Dan membawa Lauren pergi dari tempat itu dengan cepat. Fabian membukakan pintu untuk Lauren, tapi perempuan itu mendorong Fabian dan berjalan mundur dengan wajah ketakutan. Tubuhnya sudah kembali gemetar dengan kesadaran yang sepertinya sudah tidak pada tempatnya. Fabian mendekati Lauren dan dengan selembut mungkin meraih jemari perempuan itu.             “Aku gak akan menyakiti kamu,” ucapnya. Entah karena Lauren mendengar, atau karena perempuan itu terlihat pasrah. Lauren pun mengikuti Fabian, memasuki mobil dan membiarkan pria itu membawanya.   ****               “Lepas!! Jangaan... Lucas!! Lepas!!!” Lauren terlonjak pada teriakannya. Seakan mimpi buruk itu masih terus menghantuinya. Dia menuruni kasur dan berjalan pada meja bar. Lauren membuka satu botol vodka Fabian dan menuangnya pada gelas. Dia butuh alkohol untuk membunuh bayangan mengerikan itu. Obat antidepresan seakan sudah tidak berpengaruh lagi. Buktinya dia masih bisa melihat pria itu dari jarak dekat. Dia masih berhalusinasi. Dia masih sakit. Dia gila. Dia sinting. Lauren meminum alkohol ditangannya, namun belum habis seseorang sudah menarik gelas itu dari tangannya. Lauren menatap sinis pada orang yang berani mengambil gelasnya. Namun, sayangnya orang itu tidak terlihat terganggu dengan tatapan marahnya. Dia malah membalasnya dengan tatapan dingin seakan tidak ingin ada bantahan.             “Berikan gelasku!” teriak Lauren.             “Kamu gak butuh minuman ini.” Tatapan dingin Fabian seakan tidak diacuhkan Lauren, perempuan itu memilih mengambil gelas baru. Namun, pria itu sudah lebih dulu mengambil tangan Lauren dan memberikannya ciuman yang panas. Lauren mengelak dari ciuman itu, dia merasa takut seakan bukan pria ini yang menciumnya. Dalam bayangannya ia seperti melihat Lucas yang memaksakan nafsu binatangnya pada Lauren dan mendesaknya. Lauren sudah menangis terisak dan dengan lembut Fabian menarik Lauren ke dalam pelukannya. Menyentuh wajah wanita itu dan menciumnya dengan lembut. Seluruh mimpi buruk itu seperti runtuh. Yang ia bayangkan adalah Fabian yang memeluknya dan menciumnya. Lauren tidak ingin merasakan perasaan ini, dia tidak ingin lagi merasakan luka yang sama. Fabian tidak akan menganggapnya lebih dari sekedar penghangat. Dia harus membuang rasa nyama dan kebutuhan. Dia hanya seorang p*****r yang pada akhirnya akan dibuang. Lauren menghentikan ciuman Fabian, dia menatap pria itu sebelum akhirnya dia memilih untuk pergi meninggalkannya. Ada satu kamar di apartemen itu. Kamar kosong yang tadinya adalah milik Lauren, sebelum akhirnya dia memilih untuk tidur di satu kamar dengan Fabian. Karena dia merasa takut untuk tidur sendiri.   Lauren menutup pintu itu rapat dan menguncinya. Dia ingin membuang seluruh perasaan salah yang sudah tertanam. Dia tidak berhak memiliki perasaan ini. Dia tidak lebih dari seorang p*****r yang di pungut oleh Fabian. Dan dia tidak berhak memiliki perasaan apapun. Karena dia hidup dalam kesialan. Lauren merebahkan tubuhnya di kasur tanpa berniat untuk menutupnya. Dia takut bermimpi buruk itu akan kembali datang. Lauren hanya ingin menghindar dari Fabian, sebelum perasaan terlarang itu kembali datang.   *****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN