Part 5

1556 Kata
Wanita cantik berambut pirang itu mulai membuka mata. Terduduk dengan cepat. Menyibak selimut yang menutupi kakinya dengan wajah tegang. Namun, wajah tegangnya itu berganti seketika dengan wajah lega kala melihat kakinya telah kembali. Sangat mengerikan rasanya memiliki ekor. "Sudah bangun hm. Sekarang makan dulu. Kau pasti lelah tidur seharian penuh." Ejek Arthur yang baru saja masuk ke dalam kamar. Lily menatap Arthur dengan tatapan sebal. Bibirnya mengerucut kesal. "Aneh sekali kenapa aku bisa memiliki mate selemah dirimu." Lily diam. Bukan merasa sakit hati karena pada nyatanya ia tahu bahwasanya dirinya memang lemah. Dia diam karena kesal. Arthur tidak pernah bersikap baik kepadanya. Pria itu selalu membuatnya merasa takut dan kesal. "Sudah. Jangan menatapku dengan tatapan merajuk lagi. Makan lah!" Lagi-lagi Lily mendengus mendengar perintah otoriter Arthur. Tidak bisa kah pria itu menyuruhnya makan dengan lembut seperti daddynya? "Kenapa masih diam? Mau aku suapin?" Bergegas si gadis cantik mengambil makanan dan melahapnya dengan cepat hingga tersedak akibat ulahnya sendiri. Arthur yang melihat hal itu merasa sangat gemas. Wajah memerah Lily terlihat sangat menggemaskan. "Air..." Tangan besarnya mengambil minuman di atas nakas. Bukannya memberikan ke Lily, Arthur malah memerkan minuman tersebut di depan wajah merah padam sang mate. "Kau mau ini?" Melihat anggukan kuat Lily, demon tampan itu menyeringai sinis. "Tidak semudah itu." Lily mulai menangis akibat terlampau kesal dijahili Arthur terus. Ia menangis terisak-isak sambil terbatuk-batuk. Tenggorokannya yang sakit membuat nafasnya menjadi tidak beraturan. Akhirnya si Arthur merasa sedikit kasihan dengan matenya itu. Tanpa banyak kata, disodorkannya gelas tersebut ke sang mate. Lily menerima botol tersebut dengan kasar, meneguknya hingga tandas, namun air matanya tak kunjung berhenti mengalir. Setelah menghabiskan segelas air putih itu, ia kembali melanjutkan tangisnya, sesekali membersihkan ingusnya dengan selimut. Arthur mengacak rambutnya kesal. Matenya terlampau imut sewaktu menangis. "Ya, teruskan. Menangis lah terus. Aku suka melihat wajah menggemaskanmu sewaktu menangis." Kekehnya tanpa dosa. Bukannya melanjutkan tangisan, Lily malah berhenti menangis. Menatap Arthur dengan tatapan menyedihkannya. "Kenapa Arthur selalu jahat ke Lily? Apa Lily pernah membuat kesalahan?" Demon tampan itu berjalan mendekat. Duduk di samping Lily, meraih tubuh mungil itu, dan membawa ke dalam dekapan hangatnya. "Aku tidak jahat. Hanya saja aku senang melihatmu menangis, apalagi itu karena aku." "Jahat!!" Bentak Lily tertahan akibat d**a bidang Arthur. "Terserah kau saja, honey." Decaknya tidak peduli. Lily diam. Mengatur emosinya yang kacau balau karena Arthur. "Oh ya, besok kita menikah. Persiapkan dirimu." Lily melotot tidak percaya. Ia berusaha melepaskan diri dari pelukan erat pria itu dan menatap wajah tampan nan menggoda itu dengan tatapan tidak terima. "Lily tidak ingin menikah dengan Arthur." Pria itu hanya menatap datar dan tanpa minat. "Aku tidak butuh jawabanmu." "Tapi, ini menyangkut hidup Lily. Lily tidak ingin menikah, Arthur. Lily masih kecil." Bibirnya berkedut geli mendengar penuturan sang mate. "Kecil kau bilang?" Lily mengangguk kuat. Arthur mendekatkan wajahnya ke wajah cantik Lily hingga gadis itu tidak berkutik karena merasa malu dengan posisi itu. Tubuhnya menegang kaku kala merasakan ciuman Arthur di telinganya. "Ih, Arthur jangan mencium Lily lagi," katanya nyaris berbisik. "Diam! Aku hanya ingin merasakan tubuh gadis kecil." Tanpa melepaskan ciumannya, Arthur membaringkan tubuh Lily ke atas kasur. Lily melotot kaget ketika tangan nakal Arthur menyentuh area privasinya. Sekuat tenaga ia berusaha mengusir tangan Arthur dari sana, namun percuma karena pria itu mengunci kedua tangannya di atas kepala dengan mudah. "Kecil tapi sudah punya ini, ya." Kekehnya sambil mempermainkan d**a Lily. Sementara itu, Lily semakin panik. Sesekali ia mengernyitkan dahi, menahan rasa sakit akibat ulah nakal pria itu. "Hentikan, Arthur. Lily mohon." Merasa tak ada jalan, akhirnya wanita itu merengek manja. "Lily masih ingin makan." Lanjutnya. Arthur menjauhkan tangannya seraya tersenyum miring. Senyuman yang tampak menyebalkan di mata Lily. Sebelum bangkit dari tubuh mate cantiknya itu, Arthur mengecup bibirnya lembut. Kemudian membantu gadis itu untuk duduk. Mengangkat gadis itu ke atas pangkuannya dan mengecupi puncak kepalanya berulang kali. Jika di saat-saat seperti ini, Lily merasa sangat nyaman di dekat pria itu. "Tunggu sebentar, maid akan mengantarkan makanan yang kau inginkan beberapa menit lagi." Melihat anggukan pelan matenya, Arthur tersenyum kecil. Matenya yang selalu menggemaskan. Jujur, Arthur merasa sangat bahagia atas kehadiran matenya. Hidup yang awalnya terasa membosankan sekarang terasa sangat menyenangkan. Hidupnya menjadi lebih berwarna semenjak kedatangan gadis itu. Apa pun yang terjadi di masa depan, ia tidak akan pernah membiarkan Lily pergi dari hidupnya. Sampai kapan pun, ia akan membuat Lily selalu berada di sisinya. Bagaimana pun caranya. **** Lily diam-diam keluar dari kamar karena Arthur sedang pergi, begitu pun dengan prajurit dan pengawal yang tidak terlihat di manapun. Entah dimana mereka semuanya hingga istana nan mewah ini hening dan sunyi seolah tidak ada tanda-tanda kehidupan. Gadis cantik itu terus berjalan di lorong istana ini dengan hati-hati sembari celingak-celinguk kesana ke mari. Takut ada yang melihat dan menyeretnya kembali ke kamar. Jujur, ia sangat bosan di kurung di dalam kamar terus oleh Arthur. Dia ingin bebas bermain keluar rumah seperti dulu lagi, lalu berkumpul dengan teman-temannya atau pun sekedar bermain ke tempat hiburan. Kenekatannya hari itu membawa petaka untuk dirinya sendiri. Terdampar di dunia entah berantah, bertemu Arthur yang jahat, diperlakukan tidak baik, dan di kurung bak tawanan. Meski Arthur tampan, Lily tidak akan sanggup rasanya jika dikurung dan diperlakukan jahat terus menerus. Lily ingin pergi dari istana ini. Lily ingin pergi menjauh dari Arthur dan kembali ke rumahnya yang nyaman. Tempat di mana ia selalu dimanjakan dan disayangi. Langkah kaki gadis itu mulai berhenti melangkah ketika mendengar suara teriakan kesakitan yang begitu memilukan. Meski takut, Lily tetap mendekati asal suara. Siapa tahu ada yang membutuhkan pertolongannya. Matanya melotot kaget melihat pemandangan kejam yang pertama kali dilihatnya seumur hidup. Jantungnya berdebar kencang lantaran terlalu takut. Nafasnya mulai tidak beraturan, pun dengan kaki yang mundur teratur. Tak jauh dari tempatnya berdiri, ia melihat Arthur menyayat tubuh seorang pria dengan pisau dan menarik langsung jantung pria itu. Lily berlari dari sana dengan air mata yang bercucuran. "Ternyata Arthur tidak hanya jahat ke Lily tapi juga ke orang lain." Isaknya. "Lily harus pergi dari sini! Lily tidak ingin menikah dengan orang jahat. Ya, Lily harus pergi!!" Tanpa memikirkan apa pun, Lily berlari ke gerbang yang tidak dijaga oleh siapa pun. Meski kakinya sudah mulai terasa sakit, ia tetap memaksakan untuk berlari karena yang ada di dalam otaknya hanya lah pergi sejauh mungkin dari istana ini agar tidak bertemu Arthur lagi. Otaknya selalu mendoktrin nya untuk lari. Membisikkan kata dirinya akan dibunuh dengan kejam juga kalau tidak lari sekarang. Keadaannya sungguh tidak karuan. Sendal yang hilang entah kemana dan dress yang kumuh karena sempat terjatuh ke tanah akibat tersandung. Sesekali ia menoleh ke belakang, takut dikejar oleh Arthur meski ia tidak yakin Arthur mengetahui keberadaannya. Lily yang tidak sanggup berlari lagi langsung duduk di bawah pohon sembari mengurut kakinya. "Kenapa kaki Lily terasa sangat lemah dari biasanya?" Tanyanya pada diri sendiri. "Rasanya Lily tidak sanggup berjalan lagi." Desahnya pasrah. Menyandarkan punggungnya ke batang pohon dan menghembuskan nafas kasar. "Bisakah Lily pulang ke rumah? Dan bagaimana caranya? Apakah ada yang bisa dimintai tolong?" "Tapi tidak mungkin ada yang bisa menolong Lily!" "Lily hanya bisa mengandalkan diri sendiri sekarang!" "Ah, yang penting Lily sudah jauh dari Arthur!" "Dan paling terpenting tidak menikah dengannya. Ugh, tidak dapat dibayangkan nasib Lily jika menikah dengan Arthur. Pasti Lily akan dibunuh juga pada akhirnya seperti pria tadi." Monolognya pada diri sendiri. Angin tiba-tiba berhembus kencang hingga membuat tubuhnya menggigil. Anginnya terasa berbeda dari angin yang biasanya. Diusapnya lengan terbukanya berulang kali, guna memberikan kehangatan pada diri sendiri. Akan tetapi, itu percuma saja. Ia tetap merasakan tubuhnya menggigil. "Lebih baik segera pergi dari tempat ini." Gumamnya seraya berdiri. Berjalan dengan pelan dan penuh kehati-hatian karena kakinya terasa semakin ngilu. Di atas pohon, seorang pria tampan yang sedari tadi membuntutinya tersenyum miring. Sangat menggemaskan sekali melihat wajah cantik itu lari dengan wajah kalut. Ia tidak berniat menampakkan dirinya karena ingin tahu sampai mana kemampuan gadis itu untuk kabur dari daerah kekuasaannya. "Dasar gadis bodoh. Percuma saja kau lari dariku karena aku tidak akan pernah melepaskanmu sampai kapan pun." Kekehnya sinis. "Melarikan diri dariku sama saja dengan menambah penderitaan diri sendiri. Sebaiknya setelah hari ini kau menjadi kapok dan tidak berani lagi kabur dariku." Pria itu terus mengikuti Lily yang terlihat linglung akibat jalan yang bercabang banyak. Gadis itu tampak berpikir keras dalam memilih jalan mana yang akan dia tempuh selanjutnya. Jalan bercabang itu adalah jalan masing-masing menuju daerah kekuasaan lain seperti ke daerah vampir, werewolf, mermaid, fairy, penyihir, mutan, dan makhluk lainnya. Sebagai pemimpin tertinggi dunia immortal, maka dia bisa bebas pergi ke daerah lain sementara untuk makhluk lain tidak bisa bebas berkeliaran di dalam daerah kekuasaannya. Sekali masuk, maka tidak akan bisa kembali lagi jika tanpa seizinnya. Pria itu masih menikmati pemandangan matenya yang berusaha kabur dengan bodohnya dari cengkramannya. Padahal seharusnya gadis itu merasa senang dan bahagia bisa menikah dengannya yang tampan, kuat, dan berkuasa ini. Bukan malah takut dan berusaha kabur. Gadisnya memang benar-benar berbeda dari gadis lain. Gadisnya berusaha kabur di saat gadis lain selalu berusaha mendekatinya dengan berbagai cara. Arthur tertawa geli melihat matenya syok karena werewolf tiba-tiba muncul di hadapannya dan semakin tertawa kencang melihat Lily pingsan seketika. Pria tampan itu mulai terbang ke arah Lily yang pingsan lalu menggendong tubuh mungil Lily. "Gadis bodoh, jangan kabur lagi dariku karena hanya akan percuma!" Gumamnya sembari mengecup bibir pucat Lily dengan gemas. -Tbc-
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN