Mata indahnya mulai terbuka. Mengerjap pelan guna menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam retinanya. Tangan mungilnya mulai terangkat, menyentuh keningnya yang terasa di timpa sesuatu. "Kompresan?"
Pandangannya teralihkan ke Arthur yang sedang tertidur dengan kondisi duduk. Seketika, Lily melupakan masalah kemarin. "Terimakasih, Arthur." Bisiknya sembari mengelus lembut puncak kepala Arthur.
Tanpa di sangka, pria itu menangkap pergelangan tangan kecil Lily sehingga gadis cantik itu merasa terkejut.
Ekspresi wajah terkejutnya tampak sangat menggemaskan di mata Arthur. Demon tampan itu menegakkan tubuhnya dan memeriksa kening Lily. "Untung saja demammu sudah turun."
"Lily demam?"
"Iya."
"Arthur yang merawat Lily?"
Alis hitamnya naik sebelah ke atas mendengar pertanyaan aneh matenya. "Siapa lagi memangnya?" Ia melotot kaget ketika Lily memeluknya secara tiba-tiba.
"Sekali lagi terimakasih, Arthur."
Dalam diam, Arthur keheranan. Seharusnya 'kan matenya menangis dan minta dilepaskan. Kemarin saja berani kabur dari istananya. Tapi kenapa hari ini Lily malah bertingkah seakan tidak terjadi apa-apa hari kemarin? Apa matenya ini tidak takut lagi karena dirawat semalaman? Jika iya, maka matenya adalah manusia bodoh dan naif. Matenya ini akan mudah dimanfaatkan oleh seseorang dan tentu saja itu akan berakibat fatal di kemudian hari.
Sepertinya dia harus mengubah kepribadian polos Lily. Pelan-pelan, akan dia ajari Lily arti hidup yang sesungguhnya.
"Kenapa kemarin kabur dari istana?" Tanya Arthur iseng.
Lily melepaskan pelukannya dan tertunduk dalam seperti anak kecil yang telah melakukan kesalahan. "Lily takut dibunuh oleh Arthur."
Tatapannya kian menajam. "Dengar, aku tidak akan pernah membunuhmu karena kau adalah belahan jiwaku. Membunuhmu sama saja dengan membunuh diriku secara perlahan. Jadi, jangan takut lagi padaku!"
Lily manggut-manggut di tempat. "Tapi Arthur juga jangan jahat ke Lily."
"Aku tidak jahat kepadamu."
"Arthur sering membuat Lily menangis. Itu jahat namanya!"
"Bukan jahat. Salahkan saja dirimu yang terlalu menggemaskan sewaktu menangis.
"Ish."
Lily bersidekap d**a mendengar jawaban Arthur. Apakah wajah menangisnya memang semenggemaskan itu? Kalau iya, dia tidak akan menangis lagi meskipun dijahati Arthur agar pria itu tidak lagi berusaha membuatnya menangis.
Gadis cantik itu terpekik kaget ketika tubuhnya di gendong secara tiba-tiba. Belum sampai di sana kekagetannya, Arthur membawanya meloncat dari lantai lima. Pegangannya kian mengerat pada leher Arthur karena takut terjatuh dan wajahnya di sembunyikan ke d**a Arthur.
Sementara Arthur, tersenyum geli melihat wajah ketakutan Lily. "Buka lah matamu, honey." Titahnya pada Lily yang sudah diturunkannya.
"Kenapa kita ke sini?"
"Kakimu masih lemas, butuh air dulu baru bisa kuat kembali. Berenang lah, aku juga akan ikut berenang denganmu."
Seolah terhipnotis mendengar perkataan Arthur, Lily mengangguk dan mulai masuk ke dalam kolam sehingga kakinya berubah dengan ekor.
Tanpa sempat melihat ekornya sendiri, tubuhnya dibuat menegang oleh Arthur yang tiba-tiba memeluk tubuh polosnya. "Lepasin Lily." Pintanya dengan suara tercekat.
Arthur diam. Tidak menyahut ucapan matenya sama sekali.
"Lepasin Lily. Lily ingin berenang, Arthur."
Rengekan manja mate cantiknya membuat Arthur tersenyum gemas. Dikecupnya puncak kepala gadis itu sekilas. "Besok kita akan menikah, honey. Jangan berusaha kabur lagi dari sini karena itu hanya akan menambah beban hidupmu."
Dibelainya punggung telanjang Lily dengan lembut tapi bagi Lily itu terasa sangat mengintimidasi.
"Lily tidak akan kabur lagi." Cicit Lily pelan.
"Ini baru mateku." Melepaskan pelukannya dan menangkup wajah cantik Lily. "Bagaimana kalau kita berlomba berenang?"
"Lomba?"
Arthur mengangguk seraya terus menatap mata matenya intens.
"Apa ada hadiahnya?"
Tanpa gadis polos itu sadari, Arthur menyeringai penuh makna. Terlalu mudah untuk dikibuli. Itu lah matenya.
"Ada. Hadiahnya adalah yang menang boleh meminta apa pun dari yang kalah. Bagaimana?"
Lily menggeleng. "Tidak jadi. Lily tidak ingin berlomba. Tubuh Lily masih lelah."
"Baiklah. Sekarang aku akan membuat tubuhmu tidak lelah lagi."
Arthur mendorong tubuh Lily pelan hingga tubuh matenya menempel di tepian kolam renang. Bibirnya mulai bekerja dengan lihai. Menciumi bibir mungil Lily lembut dan menggoda gadis itu agar ikut hanyut dalam permainan yang diciptakannya.
****
"Sudah terasa lega dan tidak lemas lagi, bukan?"
Lily mengangguk pelan.
Arthur berenang mendekat, menarik pinggang Lily hingga menempel ke tubuhnya, dan mengecup bibir gadis itu sekilas.
Lily hanya diam menatap polos ke arah Arthur. Membuat pria satu itu gemas saja.
"Peluk leherku dengan erat jika tidak ingin terjatuh."
Belum sempat Lily bertanya, gadis cantik itu di buat menjerit kaget karena Arthur menggendong dan membawanya terbang secara tiba-tiba.
Takut terjatuh, Lily semakin mengeratkan pelukannya di leher Arthur dan menyembunyikan wajah di d**a bidang pria itu dengan mata terpejam erat.
Arthur yang menyadari ketakutan matenya tersenyum geli.
Dasar mate penakut, batinnya.
Kaki Arthur mendarat sempurna di lantai kamar mereka. Tatapannya terus tertuju penuh pada Lily yang masih memejamkan mata di d**a bidangnya.
Nafasnya tercekat ketika melihat keadaan tubuh polos matenya. Ingin rasanya merasakan tubuh nan menggoda matenya itu sekarang tapi perut matenya sudah berbunyi. Pertanda matenya kelaparan.
Mana mungkin Arthur tega membiarkan Lily kelaparan karenanya. Selain itu, dia juga tidak ingin Lily jatuh sakit sehingga menganggu acara pernikahan besok.
"Tatap aku, kita sudah sampai di kamar, honey."
Ragu-ragu, matenya itu menyembulkan wajahnya. Dan untuk kesekian kalinya, Arthur merasa terpesona dengan wajah cantik nan imut Lily.
"Turunin Lily."
Permintaan lembut Lily membuat kesadaran Arthur kembali sepenuhnya. Pria tampan itu tersenyum miring sembari memainkan jarinya di hidung mancung nan mungil Lily.
"Yakin ingin turun? Sekarang kau tidak punya kaki loh."
"TIDAK!!"
"Sttt. Jangan berisik. Aku tidak suka!" Geram Arthur.
Namun kali ini, Lily tidak terlihat takut dengan geraman Arthur karena yang paling ditakutinya adalah kakinya menghilang. Gadis itu menatap Arthur penuh permohonan dengan puppy eyesnya yang mampu membuat Arthur luluh seketika. "Kembalikan kaki Lily seperti semula, Arthur. Lily tidak ingin punya ekor seperti ikan. Lily hanya ingin punya kaki."
Arthur menunduk dan mengecup bibir mungil Lily sekilas. "Tunggu setelah kau selesai mandi, aku akan mengganti ekormu dengan kaki lagi."
"Beneran ya?" Tanya Lily bak anak kecil yang takut dibohongi orangtuanya.
"Iya, honey."
"Kalau begitu ayo mandi!" Serunya riang.
"Iya." Tawa Arthur. Membawa Lily ke kamar mandi dan meletakkan gadis itu di dalam bathub setelah mengisi bathub tersebut terlebih dahulu dengan air dan sabun beraroma vanila.
Arthur mulai memegang lengan Lily.
"Eh, kenapa Arthur masih di sini? Lily ingin mandi."
Helaan nafas kasar keluar dari mulut orang yang ditanyai. "Tentu saja aku di sini karena ingin memandikanmu."
Lily menutup bagian tubuh depannya dengan kedua tangan sambil menatap Arthur horor. "Lily bukan anak kecil yang harus dibantu mandi. Lily bisa sendiri, Arthur."
"Kemarin-kemarin katanya anak kecil. Yang benar yang mana? Anak kecil atau bukan anak kecil?"
Mendengar godaan Arthur, Lily memanyunkan bibirnya. "Pokoknya Lily ingin mandi sendiri."
"Kenapa hm?"
Alis Arthur menyatu, keningnya mengernyit, dan otaknya menerka-nerka melihat kepala Lily tertunduk hingga wajahnya ditutupi oleh rambut.
Kenapa lagi dia? Bisik batinnya.
"Kenapa?" Ulang Arthur sekali lagi.
"Lily malu!!"
Arthur sontak tertawa mendengar jeritan tertahan Lily. Diangkatnya dagu Lily dengan lembut dan melayangkan kecupan ringan di bibir gadisnya itu. "Kenapa harus malu? Aku ini matemu. Lagipula bukan kah aku sudah pernah melihat dan merasakan tubuhmu?" Tanyanya jahil dan mampu membuat wajah Lily Semerah tomat.
"Ah, imut sekali." Arthur mengigit pipi Lily karena terlampau gemas. Sedangkan Lily meringis kesakitan dengan mata terpejam. Untungnya Arthur tidak lama mengigit pipinya.
"Sekarang saatnya mandi." Kekeh Arthur dan mulai memandikan Lily dengan telaten. Menyabuni seluruh tubuh matenya itu tanpa terkecuali. Mengabaikan Lily yang malu bukan kepalang.
Setelah selesai memandikan tubuh Lily, ia juga memasangkan pakaian ke tubuh Lily. Begitu lembut dan penuh kehati-hatian sehingga Lily tidak bisa untuk tidak terpesona.
Tidak hanya sampai di sana, Arthur juga kembali menggendong Lily ke bawah, menuju ruang makan. Padahal Lily tidak mengatakan dirinya lapar tapi Arthur sudah peka duluan.
Arthur yang begitu lembut membuatnya lupa diri akan siapa diri Arthur yang sebenarnya.
Begitu lah Lily, gadis polos yang mudah melupakan semuanya jika sudah diperlakukan dengan lembut.
-Tbc-