“Fer, tolong ambilin map ungu, dong. Maaf. Mbak lagi ribet soalnya.” Wanita dengan baju hamilnya itu menunjuk salah satu map yang jaraknya cukup jauh dengannya namun dekat dengan gadis berbaju kaos merah polos.
“Yang ini, Mbak?” Tanya gadis itu seraya mengangkat map yang dimaksud wanita tadi. Setelah mendengar jawaban bahwa itu adalah map yang benar, tanpa ragu gadis itu bangkit dan memberikannya. Gadis itu hanya membalas dengan senyuman kala ucapan terima kasih ia dengar dengan jelas. Kakinya kembali melangkah menuju tempat duduknya yang berada tak jauh dari kubikel wanita tadi. Menghela napas pelan, gadis itu lalu kembali mengetik kumpulan data yang baru saja ia terima.
“Kamu nanti siang mau ke kantin gak, Fer?”
“Gak, Mbak,” jawab gadis itu singkat. Wajahnya yang cantik namun penuh dengan kedataran itu membuat beberapa orang yang juga ada di ruangan yang sama mencebik kesal. bukan tanpa aasan gadis itu terlihat lebih mencolok daripada yang lain. Di saat yang lain berlomba-lomba memakai dress atau pakiaan formal berupa kemeja dengan celana jeans, gadis dengan rambut hitam legam sebahu yang dicepol itu malah menggunakan kaos biasa berwarna merah dengan celana kulot selutut yang mana memiliki benang-benang halus di bagian bawahnya.
“Kenapa? Padahal katanya hari ini Bu Sri buat menu baru, lho.”
“Iya, Mbak Fera. Kali-kali ke kantin, Mbak. Seru tahu, Mbak.”
“Nggak, deh. Nanti saya ke kantin kalau kerjaan udah beres.”
Mendengar jawaban dari gadis itu, beberapa anak magang yang mengajaknya dengan sok akrab langsung menghela napas panjang. Mereka merasa usaha yang ia lakukan sia-sia. Membujuk dengan kasar malah kena hantaman bogem. Membujuk dnegan baik-baik, sellau aja ada alasannya.
“Gak baik, Fer diam aja di ruangan. Nanti istirahat temenin Mbak makan ya? Kayanya anak Mbak pengen liat kamu makan,” ujar wanita hamil yang tadi sempat meminta bantuan gadis itu. Decakan kasar terdengar sangat keras, membuat orang-orang yang ada di kubikelnya masing-masing langsung menelan salivanya takut. Tak terkecuali wanita hamil yang sempat mengajak gadis itu tadi.
“Mbak pengen lihat saya makan apa?” Tanya gadis itu dengan suara tajam khasnya. Pertanyaan yang sangat diluar dugaan ketika gadis itu memiliki banyak sekali pekerjaan yang menumouk. Terutama setelah gadis itu mengeluarkan decakan kasarnya. Semakin membuat orang-orang melongo di tempatnya.
“Ka-kamu beneran mau temenin Mbak makan dan berangkat ke kantin?”
“Tergantung. Mbak mau saya makan apa?”
Para pegawai yang awalnya sibuk dengan tugas masing-masing itu langsung berbicara tanpa suara. Memberitahukan makanan yang harus gadis itu makan saat di kantin. Membuat wanita hamil itu menggaruk halisnya bingung sekaligus merasa segan.
“Jadi gak, Mbak?” Tanya gadis itu lagi dengan suara yang super dingin dan menusuk.
“Ja-jadi, Fer. Kira-kira makanan apa yang kamu suka?”
Helaan napas kecewa terdengar sangat keras. Yang mengartikan jika pertanyaan itu sudah keluar maka gadis pemalas super misterius itu akan kembali menolak.
“Apa aja saya makan,” jawab gadis itu dengn wajah kesalnya karena secara tidak langsung merasa jika ini semua ada kaitannya dengan pegawai yang lain.
“Kalau gitu gimana kalau makan pempek? Mbak ada rekomendasi pempek yang enak banget di kantin.”
“Harus banget di kantin?” Tanya wanita itu yang tampak tak menyukai tempat yang terus dikatakan oleh para teman-teman sekantornya.
“Aneh lo mah, Fer. Di mana-mana, orang itu pasti nyaman kalau di kantin. Apalagi kalau kondisi keuangan yang sangat mendukung kaya lo. Lah, lo malah gak suka.”
Fera Ganesha. Gadis yang memakai kaos merah itu mendengkus sebal. Kenapa ia harus suka dengan tempat yang memiliki nama kantin itu? dalam kamus Fera, tempat ternyaman adalah kamar. Selain itu tidak ada lagi tempat nyaman dan indah yang pernah Fera temui. Lagipula apa sih hebatnya kantin kantor? Isinya sama saja kan? Hanya ada berisi penjual dengan meja dan kursi untuk makan llau maknanan-makanan menggiurka yang selalu berhasil membuat lapar. Tidak ada gitar lstrik, tidak ada band yang manggung atau music rock dan jazz yang terdengar.
Semuanya kantin sama saja. Jadi, kenapa Fera harus menyukai tempat itu? Di banding kantin, Fera malah lebih menyukai café kantor yang tempatnya ada di lantai paling bawah dekat parkiran. Tempat yang memiliki nuansa lebih baik dan pastinya lebih menarik dari pada kantin. Bagi umurnya yang sudah menginjak umur 26 tahun pastinya.
Benar. Fera sekarang berumur 26 tahun. Gadis tua yang belum juga mendapat pasangan apalagi menikah dengan. Gadis yang masih saja memikirkan masa depan tanpa harus memikirkan bagaimana memiliki pasangan atau mungkin bagaimana menjalin hubungan. Gadis tua yang selalu saja menolak ajakan para temannya saat ia diminta untuk pergi ke kantin. Gadis yang sangat betah berad di dlam ruangannya sendiri dengan tugas-tugas yang menumpuk luar biasa.
Gadis manis yang sayangnya memiliki wajah datar, dingin dan tidak bisa keluar dari zona nyamannya. Juga gadis pintar dengan kelulusan paling cepat sepanjang hidupnya.
“Mbak juga kayanya salah kalau ajakin nih anak ke kantin,” ujar seorang lelaki yang asalnya dari bagian pemasaran. Namun entah kenapa bisa masuk ke dalam ruang khusus karyawan bagian IT. “Kalau Mbak mau ajakin Fera itu harusnya ke café atau tempat-tempat hiburan yang punya live musicnya. Baru Fera semangat.”
“Lho, Mbak Fera suka café yang ada live musicnya?” Tanya salah satu teman Fera yang ada di bagian IT. Bukan teman sebenarnya, hanya orang yang sangat Fera butuhkan kala ia bekerja.
“Lumayan,” jawab Fera acuh.
“Wah! Aku gak nyangka kalau orang kaya Mbak Fera suka sama tempat kaya gitu. Aku kira Mbak sukanya tempat yang kalem, yang adem yang gak banyak orang rebut dan pastinya tentram. Ternyata Mbak suka tempat kaya gitu!” Takjub anak yang lainnya dengan mata berbinar. Fera menelan salivanya kasar. Padahal tentang masalahnya yang suka pergi ke café itu hanya diketahui oleh orang-orang terdekat. Tapi karena lelaki bermulut bocor ini membuat satu rahasia Fera terungkap begitu mudahnya.
“Pantesan kalau istrahat gak ada di kantin sama di kantor. Ternyata ada di café.”
“Kalau gitu, istirahat kali ini kita ke cae bareng-bareng aja. Pengen liat kalau Mbak Fera ada di luar kantor.”
“Pengen banget liat saya di luar?” Tanya Fera dengan ttaapan mata tajamnya.
“Soalnya Mbak, kan suka diemnya di kantor doang. Sekalipun keluar, Mbak kayanya cuman ke toilet.”
Fera meringis mendengarnya. Segitunya ia tidak pernah keluar dari ruangan?
“Iya, ya. Kalau diinget-inget juga Mbak Fera kalau keluar itu cuman mau ambil pesenan dari satpam atau gak ke toilet.”
“Sama kalau dipanggil sama Pak Bos!” Tambah salah satu dari mereka dnegna semangat. Fera menghela napas kasar. Padahal sudah 3 tahun ia berad di sini. Dan selama tiga tahun itu juga hidupnya tenang-tennag saja. Tapi gara-gara lelaki bagian pemasaran ini, Fera rasa hidupnya tidak akan tenang.
“Oh, ya udah. Mbak mau lihat kamu makan di café aja kalau gitu,” ujar Weni. Wanita yang tengah mengandung anak ketiganya itu menatap Fera dengan penuh semangat.
Fera, sosok yang tertutup dan sangat membenci kumpulan-kumpulan orang itu sekarang harus berhadapan dengan para temannya yang menjengkelkan. Orang-orang yang selalu Fera hindari keberadaanya selama ini. Mengepalkan tangan seraya mengulum bibirnya kesal, Fera menarik tangan lelaki itu dengan kuat. Meminta agar lelaki itu ikut dengannya keluar. Saat mereka keluar, yang lain langsung menatap keduanya dengan tatapan horror. Mereka yakin kalau Fera akan membuat lelaki itu babak belur. Dan ucapan turut berduka cita pasti segera mereka terima sebentar lagi.
“Apa maksud lo?” Tanya Fera tanpa basa-basi. Setelah berada di luar, Fera langsung menatap wajah lelaki itu dengan tatapan tajam. “Gak usah buat masalah!”
“Siapa yang buat masalah sih, Fer.”
“Maksud lo ngasih tahu semua itu ke semua orang buat apa?”
“Fer, tenang.”
“Gak usah usik hidup orang lain kalau hidup lo gak mau diusik.” Setelah mengatakan hal tersebut, Fera bergegas pergi ke dalam ruang kerjanya lagi. Kakinya melangkah dengan kesal menuju bangkunya. Membuat aura menyeramkan menyelimuti ruang kerja tersebut. Beberapa orang yang awalnya ingin bertanya atau sekedar bertanya langsung mnegurugkan niatnya dan berakhir terdiam. Melihat Fera yang sedang menahan kekesalan jelas tak ada yang ingin menyapanya.
“Mbak, tolong kirim data yang tadi aku kasih buat diperbaiki, ya.”
“Eh, sekarang?” Tanya wanita dengan kemeja putihnya itu dengan terkejut.
“Iya, sekarang. Emang belum berers?” Tanya Fera dengan nada dinginnya.
“U-udah, Fer. Sebentar, Mbak kirim lewat email ya.”
“Oke. Fera tunggu.”