Ch. 2 (HH)

1377 Kata
“Abang jangan lari-lari gitu!” “Abang udah telat, Ma. Abang berangkat duluan. Assalamualaikum!” Jawaban salam terdengar stelah pintu tertutup rapat. Hal yang membuat wanita berumur itu menghela napas seraya mengelus d**a tak mengerti dengan anak pertamanya. Berbeda dengan si sulung yang sibuk dan langsung berangkat ke kantor, lelaki yang kini tengah duduk di meja makan itu malah terlihat lebih santai. Adik sekaligus anak keduanya yang berbeda 10 menit dari si sulung itu tengah mengunyah roti dengan santai. Terkadang tangannya yang terbebas meraih ponsel dan memainkannya tanpa terlihat memiliki beban hdiup. “Kamu gak ke kantor, Dek?” Tanya sang mama dengan suara lembutnya. Lelaki itu menguap sekali dan menggelengkan kepala. Merasa tidak perlu terburu-buru dengan apa yang baru saja ditanyakan sang mama. “Lho, kenapa gak ke kantor?” “Ke kantor. Tapi nanti aja. Masih lama kok.” “Iya sih.. baru jam setengah tujuh juga. Kamu berangkat jam setengah delapan, kan?” “Iya.” “Bisa-bisanya kamu masih duduk.” Lelaki yang baru akan meminum susunya itu menolehkan kepala seraya mendengkus sebal. Pria paruh baya yang masih menggunakan piyama tidurnya itu memandang anak bungsunya dengan ttaapan kesal. Sedangkan sang anak hanya diam seakan tidak mendengar apa yang baru saja diucapkan Papanya. “Bukannya hari ini ada rapat?” Tanya Riana—wanita yang menyandang status sebagai ibu rumah tangga di rumah besar ini. Geo—kepala keluarga sekaligus pria yang baru menyindir anaknya itu memandang jengah lelaki di sampingnya. Sudah hidup tidak ada semangat sama sekali ditambah kegiaan yang tidak ada perubahan. Seperti itu setiap harinya. Padahal umurnya bukan lagi ukuran untuk masa main-main dan melakukan apapun sesuka hati. “Kamu beneran gak niat bekerja?” Tanya sang papa dengan nada sarkasnya. Geandra Anggara Risolv. Lelaki dua puluh tujuh tahun yang masih melajang dan tidak begitu tertarik untuk melakukan hal-hal yang sangat berrati. Lelaki yang selalu bisa membuat naik darah Papanya dikala seharusnya ia lebih banyak membuat orang tuanya merasa sangat senang karean kemajuan anak-anaknya. Lelaki yang selalu saja membuat onar dan membuat berbagai macam hal yang pastinya memancing kemarahan sang ayah dan juga membuat Mamanya melakukan kesabaran yang lebih. Gean sebenarnya bukan tak ingin membuat masalah atau melakukan hal-hal yang tidak berguna. Ia hanya kurang suka dengan sesuatu yang diatur atau tidak sesuai dengan apa yang diinginkan. Terkadang Gean merasa dunia tidak adil baginya. Di saat Kakak kembarnya bisa membuat sesuatu yang disukainya dan mendapat jabatan yang tinggi, lelaki itu malah dituntut membuat sesuatu yang dikehendaki sang ayah. Gean juga sebenarnya bisa disiplin dan konsisten dengan sesuatu, hanya saja untuk kepentingan yang menurutnya baik dan menunguntungkan untuk dirinya sendiri. Jika tidak ada gunnaya dengan diirinya, untuk apa Gean lakukan? “Dek, mending sekarang kamu ke kantor. Kasian Bang Rian kalau nanti ada apa-apa.” Gean menghela napas panjang. Tidak aka nada gunanya menyela atau mungkin membuat keributan pagi ini. Dan lagi, akan sangat rumit nantinya jika ia membantah atau tidak melakukan sesuai yang Mamanya minta. Menegak segelas s**u coklat kesukaanya, Gean lalu bangkit setelah mengecek ponselnya sekali lagi. Baru akan berjalan pergi dari ruang makan, dririnya berpapasan dengan gadis berambut blonde yang memakai dress panjang dengan lengan pendek. Senyum Gean terbit begitu saja. Ia menatap gadis itu dengan tatapan kesal. sempuran sekali kebahagiaan kembarannya. “Eh, ada Kak Angel. Sini sayang, duduk,” sapa Mamanya dengan suara yang menyiratkan rasa antusias. “Makasih, Tante. Rian udah berangkat ya, Tan?” “Iya. Baru aja berangkat. Katanya ada rapat. Dia emang gak bilang sama kamu?” “Bilang, Tante. Tapi gak bilang kalau berangkatnya sepagi ini. Padahal dia sendiri yang minta Angel bawain sarapan buat sekarang.” “Duh, itu si Abang emang suka banget pergi buru-buru. Ya udah, ke kantor aja, Kak. Bareng sama Gean. Kebetulan Gean juga baru mau berangkat. Iya kan, Dek?” Gean yang memang belum beranjak dari duduknya itu hanya bisa menatap datar tunangan kembarannya sekaligus mencebik melihat gadis itu yang menatapnya penuh harap. Tak  mau membuat Mamanya kecewa, Gean hanya bisa mengangguk dan menggerakkan keplalanya agar Angel ikut dengannya menuju kantor. “Jangan bawa ngebut. Kamu bawa Angel soalnya.” “Gak apa-apa, Tante.” “Bukan gitu, Kak. Adek kan emang suka bawa mobilnya kebut-kebuttan. Kadang juga kalau gak diingetin pasti nanti bakal ngebut supaya cepet-cepet sampe.” “Terus aja, Ma jelek-jelekkin Geannya,” ketus Gean seraya memakai jas biru yang ia ambil dari sofa. Lelaki itu menghampiri Mamanya untuk berpamitan. Tak lupa lelaki itu mengecup pipi sang mama dan mengambil tangan wanita itu untuk ia kecup punggung tangannya. Setelahnya, ia berlalu menuju sang papa yang sibuk dengan sarapannya di meja. Kalau saja ia tidak lupa jika pria itu adalah orang tuanya, sudah pasti Gean memilih pergi menuju pakiran daripada menyempatkan diri untuk berpamitan. “Gean berangkat!” Teriak Gean dengan suara kerasnya. “Hati-hati!” Gean tersenyum kecil sebelum akhirnya pergi menuju parkiran. Mengeluarkan mobil hitamnya. Awalnya ia ingin sekali membawa motor. Namun mengingat jika ia akan membawa seorang gadis, membuat Gean mengurungkan niatnya dengan sangat. “Makasih ya, Yan,” ujar Angel dengan senyum yang terpatri manis. Gean menganggukan kepalanya. Angelica Paramitha. Gadis yang usianya tidak jauh darinya dan juga Gean itu adalah tunangan Rian sejak 6 tahun yang lalu. Benar. Gadis ini adalah tunangan kakaknya selama 6 TAHUN. Tolong diingat! Gean sampai tidak tahu kenapa gadis ini mau saja menerima Kakaknya dan menunggu sampai elaki itu benar-benar berhasil selama 6 tahun lamanya. Bahkan ketika keduanya terpisah jarak karena Rian yang harus melanjutkan studinya di Belanda, gadis ini tetap setia dengan Kakak kembarnya. Ya, kalau diingat memang tidak sebentar sih usaha Kakak kembarnya demi mendapatkan sosok Angel yang dulunya pernah menyukai Gean. Enam tahun oennatian Angel juga rasanya bukan apa-apa di banding apa yang Kakaknya dulu lewati demi mendapatkan gadis ini. “Rian berangkat dari jam berapa, Yan?” Tanya Angel membuka obrolan. “Gak lama dari lo datang,” jawab Gean seadanya. “Tapi kok Angel gak liat mobil keluar dari rumah Gean, ya?” “Ya gak tau,” ketus Gean dengan nada tak bersahabatnya. Lelaki itu sibuk menatap jalan dengan tangan yang sibuk mneyetir. Sesekali lelaki itu memainkan ponselnya menghalau rasa bosan yang datang. “Gean gak akan nyari pacar?” Tanya Angel dengan suara lirihnya. Merasa takut jika memberikan pertanyaan keramat yang selalu dihindari lelaki itu. Gean menghela napas panjang seraya menatap Angel dengan tatapan tidak bersahabatnya. “Lo sama Rian kapan nikah?” Tanya Gean telak. Angel langsung bungkam. Gadis itu juga langsung menatap keluar setelah mencebik. Bukan bermaksud membuat masalah. Gean hanya tidak mau gadis ini kembali menanyakan hal yang sama. Mengingat pertanyaan itu selalu saja membuat mood Gean turun. “Nanti kalau Angel sama Rian udah nikah, Angel bakal terus tanya pertanyaan kaya gitu ke Gean. Liat aja nanti!” Balas gadis itu penuh percaya diri. Gean hanya menggumam mengiyakan. Sebenarnya bukan masalah besar bagi Gean untuk menjawab ucapan Angel tadi. Tapi Gean hanya sedang tidak ingin membuat hari-harinya buruk dengan menghancurkan perasaan bahagianya sekarang. Dan lagi, rasanya akan sangat panjang kalau ia mengatakan yang sebenarnya. Akan sangat jadi masalah kalau ia menjelaskan semuanya. Juga jarak jalan yang mereka tempuh sebentar lagi akan sampai ke kantor. Dan penjelasan tentangnya yang kenapa belum juga mengambil keputusan untuk menjalin hubu gan atau mungkin emmantapkan hati memiliki jawaban yang sangat panjang. Dan jika ia berbicara pada Angel akan sangat membosankan sekaligus menjengkelkan. Angel pasti tidak akan mau mendengar setengah. Gadis itu akan terus memancing apa yang ia ingin dengar. Memaksa Gean menjelaskan semuanya dengan sangat terperinci lalu memberitahukannya pada Rian. Memikirkannya sampai pada Rian saja sudah membuat Gean eksal. Apalagi jika ia memikirkan sampai Rian memberitahukannya pada Mama dan Papanya lalu smapai ke keluarga besarnya juga langsung mendapat ucapan dari Tante-Tante menjengkelkan. Tidak! Pemikirannya terlalu over jika berfikir sampai ke sana. Menghela napas panjang, Gean memberhentikan mobilnya saat lampu merah. Diam-diam matanya menatap kotak bekal yang dibungkud totebag berwarna abu. Pasti rasanya akan sangat menyenangkan jika ada yang memberinya sarapan atau makan siang setiap harinya seperti yang Rian dapatkan setiap hari. Atau mungkin ada yang mengabarinya dan memintanya datang untuk makan siang bersama-sama. Hah.. Itu semua terlalu sempurna bagi hidup Gean yang tidak ada apa-apanya ini. Apalagi mnegingat jika ia tidak memiliki pasangan atau orang special yang bisa memberikannya kebahagian kecil Menunggu memang tidak seenak itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN