Ch. 3 (HH)

2125 Kata
“Kamu yang buat?” Anggukan pelan dari seorang gadis yang saat ini tengah duduk berhadapan dengan lelaki berjas hitam itu membuat semuanya terjawab. “Berapa lama kamu buat alat ini? pengeluarannya?” “Sekitar satu bulan, Pak. Pengeluarannya hanya beberapa bagian saja. seperti Memory card, kabel USB dan beberapa data baru yang saya beli. Sesuai dengan permintaan Bapak mengenai data yang minggu lalu dibahas,” jawab gadis itu dengan lugas. Mengeluarkan sebuah proposal dari dalam tasnya, gadis itu lalu membuka lembaran yang memang di sana sudah tertera harga dan barang-barang yang ia beli utuk membuat alat menakjubkan yang saat ini sedang dipegang oleh atasannya. “Yang buat proposal?” “Mbak Weni, Pak.” Pria di depan sana lalu mengangguk pelan. Memeriksa barang yang saat ini sedang dipegangnya dengan seksama, pria itu lalu menaruhnya ke atas meja. “Saya akan periksa lebih lanjut masalah ini. Kamu bisa pulang.” “Kira-kira berapa lama saya bisa dapat—“ “Satu minggu. Saya akan usahakan akan memberikan hasilnya satu minggu dari sekarang. Kalau memang sesuai dengan permintaan perusahaan AR, saya akan membawanya ke sana dan menjadikannya barang khusus. Kamu tidak keberatan?” Gadis di seberang sana langsung mengangguk semangat dan tersenyum. “Tidak sama sekali, Pak. Kalau begitu, saya pamit pulang. Terima kasih atas waktunya.” “Sama-sama.” Gadis itu mengambil tangan pria di depannya dan berjabat sebentar sebelum akhirnya pergi dari ruangan yang besarnya hampir sama dengan satu kamarnya. Melirik sebentar pada jam tangan yang ia pegang, Fera diam-diam mengulum senyumnya. Fera tidak menyangka jika apa yang ia buat akan dipikirkan dengan baik oleh atasannnya. Ya, walau selama ini memang tidak ada kendala setiap ia memberikan barang hasil buatannya. Tapi, itu adalah pure hasil buatan Fera sendiri. Tidak ada yang ikut campur atau ikut membantu masalah biaya. “Gimana, Fer?” Fera spontan memegang dadanya terkejut melihat siapa yang kini ada di depannya. Tersenyum kecil, Fera lalu mengangguk sekali. Yang berhasil membuat wanita hamil di depannya itu berjingkrak riang seraya memeluk Fera. Rasa senang Fera akhirnya tidak hanya ia saja yang merasakan. Tapi juga wanita hamil ini. “Makasih ya, Mbak. Udah bantu saya buat proposalnya.” “Gak masalah. Oh iya, Mbak juga kebetulan udah dijemput. Mbak pulang duluan gak papa? Atau kamu mau bareng?” Tanya wanita hamil itu seraya menatap ponselnya yang bergetar. Fera menggeleng dan menunjukkan kunci motor yang sejak tadi ada di kantung celananya. “Oke. Kalau gitu Mbak pulang duluan ya, Fer. Hati-hati bawa motornya.” “Oke,” jawab Fera singkat sebelum akhirnya melihat punggung wanita itu yang menjauh. Tersenyum kecil, Fera lalu merogoh saku kemejanya. Mengambil sebuah permen karet dari sana sebelum mengunyahnya seraya berjalan keluar dari kantor. Memasuki lift, Fera melihat jamnya lagi. Masih jam setengah 5 sore. Masih ada waktu 1 jam setengah untuk ia pulang ke rumah. Menghela napas pelan, Fera sandarkan punggungnya pada besi di belakang. Tangannya menyugar rambut sebahunya yang tak diikat. Melihat ke atas lift, Fera lalu memejamkan matanya sejenak. Dia lagi apa, ya? Ting. Fera membuka mata dan menggelengkan kepalanya pelan. Bersamaan dengan pintu lift yang terbuka dan seorang lelaki yang masuk ke dalam. “Kenapa lo? Geleng-geleng sendiri di dalem lift.” “Gak,” jawab Fera singkat pada lelaki di sampingnya yang kini sedang membuka tali lanyard hijau miliknya. Fera yang melihat itu hanya bisa menghela napas pelan. Kenapa harus satu lift dengan lelaki ini, sih? “Gua denger lo buat barang baru lagi. Buat perusahaan mana lagi? Kok bisa, Fer?” Tanya lelaki itu tanpa jeda. Fera hanya menghela napas pelan. Terlalu malas menjawab apa yang ditanyakan lelaki itu dengan jawaban seadanya. Karena jika ia menjawab, pasti lelaki itu akan bertanya lagi dan lagi. Lalu memintanya untuk berbicara lebih dan mengajaknya minum bersama. Bukannya terlalu pede, tapi Fera sudah terlalu sering menjawab lelaki itu yang akhirnya akan berujung di café dekat dengan kantor. Dan Fera sedang malas untuk minum kopi sore ini. Fera sedang ingin meluangkan waktunya dan mengistirahatkan diri setelah sebulan penuh menguras tenaga. “Kalau boleh tahu sama perusahaan AR, kan? Perusahaan yang di sana ada temen se-band lo dulu. Siapa namanya?” Seakan diingatkan, Fera langsung terdiam. Gadis itu tiba-tiba menunduk sebelum akhirnya tersenyum kecil. Menutupi ujung bibirnya yang saat ini tertarik karena sedang tersenyum membayangkan hal yang lampau. Tangannya lagi-lagi menyugar rambutnya ke belakang. Mata kecilnya menatap sneakers yang ia pakai. AR Group, ya? “Fer? Lo gak akan keluar? Liftnya nanti ke tutup lagi lho…” Fera mendongkak dan buru-buru keluar dari benda persegi panjang itu. Matanya menatap lelaki di sampingnya yang saat ini sedang tersenyum lebar. “Kenapa lo senyum?” Tanya Fera yang sudah muak dengan wajah aneh lelaki itu. “Tadi lo senyum, ya?” Tebak lelaki itu seraya menunjuk wajah Fera. Bukannya mengiyakan atau tersipu malu, Fera justru menatap tajam lelaki itu dan berjalan cepat. Melihat respon Fera yang seperti biasanya, membuat lelaki itu mau tak mau langsung tergelak di tempat. Kakinya ikut melangkah dan sejajar dengan tubuh Fera yang memang menjulang tinggi. Padahal gadis itu sekarang sedang memakai sneakers flat yang sama sekali tidak akan membuatnya menambah tinggi. “Besok kata Mbak Lusi, semuanya harus pake sepatu pantofel, kan? Lo punya emang?” “Gak,” jawab Fera. Gadis itu merogoh sakunya dan menempelkan card access pada sebuah monitor kecil yang ada di depannya. Membuka pintu kaca itu dengan tangan kirinya, Fera lalu melihat ke atas. Di mana langit terlihat sangat cerah dengan warna jingga yang begitu terang. Sepertinya ini sudah sangat cukup untuk membuatnya nyaman. “Terus? lo pake apa nanti?” “Apa urusannya sama lo?” Tanya Fera sarkas. Gadis itu sengaja memberhentikan langkah kakinya dan menatap lelaki yang sejak tadi mengikutinya itu dengan tatapan dinginnya. Sudah merasa kesal dengan semua sikap lelaki itu yang tiada hentinya bertanya. Fera yang memang sudah lelah sejak pagi hanya ingin damai saja saat ini. Dan merayakan keberhasilannya dengan caranya sendiri. Tapi lelaki ini benar-benar membuat Fera tidak bisa hanya untuk merasa tenang. “Ya, kali aja lo butuh bantuan. Gua kan punya adik perempuan sama Kakak perempuan. Mereka pasti punya sepatu pantofel. Pasti cukup di lo,” saran lelaki itu dengan tulus. Namun sayangnya Fera tidak berminat sama sekali untuk meminjam barang yang ada pada lelaki di depannya ini. Selain karena Fera yang memang memiliki watak, ‘sekali pakai hancur’, Fera juga enggan berurusan dengan lelaki itu secara terus-menerus. Sekarang saja rasanya sudah sangat muak. Apalagi jika nanti lelaki itu benar-benar meminjamkan sepatu milik Kakak atau adiknya. Sudah pasti hal itu akan diungkit. “Maaf, bukannya gua gak mau dan gak suka sama tawaran lo. Tapi gua udah punya sepatu, selain pantofel. Dan gua emang diharuskan pakai sepatu itu mulai besok. So, I think, rencana lo biar deket sama gua gagal lagi. Sorry, Derren,” ujar Fera panjang dan berbalik untuk pergi dari depan lobi. Gadis itu tampaknya masih enggan untuk berurusan dengan lelaki semacam Derren. Manis, ramah dan baik. Nyatanya tidak bisa membuat Fera terlihat lebih baik. Sikapnya masih tetap dimgin dan kejam. Tidak ada—atau lebih tepatnya—belum ada yang bisa membuatnya berubah dengan baik. “Hah! Gagal mulu!” *** “Abang, jangan makan pizza di piring hijau, ya! Itu punya Adek!” Gean melirik ke arah sofa yang saat ini sedang dipakai Mamanya untuk bermanja dengan masker wajah dan juga cat kuku. Di samping wanita itu ada seorang perempuan yang tak lain dan tak bukan adalah Angel. Menggosok rambutnya yang basah dengan handuk kecil di bahu, Gean lalu melirik Kakak kembarnya yang kini sibuk menatap layar laptop di dapur dengan Bluetooth earphone yang terpasang di kedua telinganya. Sepertinya lelaki itu sedang mengadakan rapat dadakan. “Ini punya gua?” Tanya Gean begitu sampai di dapur dan menunjuk 3 potong pizza yang ada di piring kaca berwarna hijau. Lelaki yang wajah dan umurnya sama dengan Gean itu mengangguk dan menunjuk sebuah gelas yang tak jauh dari piring Gean. “s**u kacang hijau,” ujar Rian saat melihat adiknya akan bertanya. Gean lalu mengangguk dan bangkit. Membawa kedua barang itu ke dalam kamarnya agar ia bisa mengerjakan pekerjaannya yang belum selesai saat di kantor tadi. Namun baru akan melangkah, tangan Rian sudah lebih dulu melambai. “Jadi rapat tadi?” Gean menggeleng. “Nggak. Kayanya diundur. Gua gak tahu, tadi pihak sana ngomong langsung sama Akbar soalnya,” jawab Gean seraya melirik kecil pada layar laptop Rian. Tumben sekali lelaki itu bisa berbicara dengannya saat ada pertemuan penting. Karena biasanya lelaki itu akan sangat sensitive jika diganggu saat sedang sibuk-sibuknya. Sadar jika Gean penasaran, Rian segera mematikan mode Bluetoothnya dan membiarkan Gean ikut mendengar. “Lo kali-kali yang ajak kita main, Fer! Masa kita terus!” Gean mengernyitkan keningnya begitu sadar siapa yang baru saja berbicara di seberang sana. “Wey! Lo pake efek apa dah di zoom? Kok muka lo bisa ada dua gitu?” Gean menatap datar pada Agung—teman Rian yang kini sedang meledeknya seraya tertawa. Padahal lelaki itu tahu jika ia dan Rian memang kembar. Ya, memang pada dasarnya orang tukang bercanda. “Siapa? Gean?” Tubuh Gean seketika membeku. Lelaki yang baru akan pergi itu kembali menolehkan kepala. Mencoba melihat kembali laptop Rian. Mencoba memastikan siapa yang baru saja menyebut namanya tadi. Rasanya seperti ada di sebuah ruang waktu yang terhenti. Dan hanya ia yang sedang bergerak sendirian. Apa ia memang tidak salah dengar? Apa benar suara gadis itu? kalau benar, apa boleh Gean berharap jika gadis itu ada di sana dan akan tersenyum kala melihat wajahnya? “Iya. Itu Gean,” jawab Rian dan memutar laptopnya agar Gean terlihat dengan sangat jelas. Lelaki yang hanya memakai kaos tipis dan juga celana jeans selututnya itu mengerjap begitu melihat orang-orang yang ada di layar laptop Rian. Tidak ada gadis itu di sana. Lalu, tadi siapa yang baru saja menyebut namanya? Jelas-jelas itu adalah suara gadis yang selama ini Gean tunggu. Apa memang sejak tadi ia hanya berhalusinasi saja? Bagaimana jika ternyata memang gadis itu tidak ada dan hanya ia saja yang berharap jika memang gadis itu yang bertanya padanya. “Ya ampun, itu perut apa roti, Bang? Kok sobek bener,” kelakar Agung yang gagal focus dengan kaos tipis berwarna putih yang Gean kenakan. Mendengar hal itu, Gean langsung tersadar dan berbalik. Niatnya untuk ke kamar kembali datang. Menghela napas pelan, Gean lalu melirik sekali lagi pada laptop Rian. Membuat sang empunya mengernyitkan kening bingung. “Lo mau pake ini laptop?” Tanya Rian seraya menunjuk laptop yang ada di atas meja makan. “Hah?” “Dari tadi lo liatin laptop gua soalnya. Gua kira lo mau pake ini laptop. Atau lo mau ikutan vicall?” Tanya Rian yang jelas kali ini langsung dibalas dengan delikan tajam dari Gean sebelum akhirnya lelaki itu pergi dari ruang makan dan naik ke tangga. Kembali ke kamarnya untuk bersemedi seraya menghabiskan camilan yang Mamanya buat. “Lho? Kok lo doang lagi sendiri?” Rian yang mendengar suara temannya itu kembali mengalihkan focusnya pada laptop. “Ya lo tiba-tiba gak ada. Pergilah anaknya,” jawab Rian seraya terkekeh pelan. “Mati lampu di sini, Yan! Wifi rumah tetiba mati! Ya gua mau gimana lagi kalau gak nyalain data hape, kan? Makanya sempet keluar dulu.” Rian menganggukkan kepalanya mengerti. Lelaki itu mengambil ponselnya dan membalas beberapa pesan di sana. Membiarkan para temannya asyik berbicara satu sama lain. “Pak Bos malam ini sibuk tidak?!” Tanya Agung dan Akbar bersamaan. Kedua lelaki itu lalu tertawa bersamaan. Rian yang paham dan tahu siapa yang dimaksud kedua sahabatnya itu hanya bisa menggelengkan kepala dan menatap keduanya datar. “Sibuk sih nggak. Cuman lagi nemenin Angel aja paling di apartemennya.” “Lo jangan aneh-aneh, Yan. Nikahin cepet dah!” “Iya, Yan. Bentar-bentar gua denger lo nemenin Angel mulu. Kagak nyuri pendahuluan kan lo?” Tanya Akbar penuh selidik. Rian yang mendengar itu langsung menggelengkan kepalanya dan tersenyum. “Nggaklah! Gila aja kali kalau gua berani kaya gitu. Bisa abis gua sama dua kakaknya. Emangnya mau ngapain malam ini? ngeband, lagi?” “Boleh juga tuh. Kayanya tangan gua udah gatel mau mainin drum.” “Alah sok-sokan drum! Sekarang mah megangnya tangan cewek mulu juga,” Ujar Agung seraya mencebik kecil di sana. Rian yang mendengar itu sontak tertawa. Namun matanya tiba-tiba saja focus pada salah satu temannya yang kini tampak melihat ke kanan dan ke kiri. “Lo kenapa, Fer? Nyari siapa?” Tanya Rian seraya menolehkan kepala ke belakang tubuhnya. “Ah, nggak. Gua gak nyari siapa-siapa,” bohong gadis itu dan pura-pura focus pada ponselnya. Rian hanya bisa tersenyum kecil dan melihat ke arah tangga. Di mana ada Gean yang saat ini masih diam seraya memegang piring dan juga gelasnya. Lelaki itu ternyata masih penasaran dengan orang yang baru saja memanggil namanya tadi. Unik juga, batin Rian.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN