“Gua kira lo gak bakal bisa datang ke sini.”
Rian tersenyum kecil. Lelaki yang kini memakai hoodie putihnya itu lalu melambai pada seseorang yang baru saja membuka pintu café. Lelaki yang sama dengan Rian—memakai hoodie putih dan juga celana jeans selutut itu menatap dingin pada pengunjung café yang sedang menatapnya dengan tatapan terpukau. Di kedua bibirnya terselip sebuah rokok yang menyala dan masih tersisa setengah.
“Di sini free rokok, kan?” Tanya Rian yang diangguki oleh seorang lelaki yang tak lain dan tak bukan pemilik café.
“Tenang aja. Di sini gak ada larangan buat ngerokok, kok.” Rian lalu mengangguk dan menarik sebuah kursi agar adik kembarnya, a.k.a Gean untuk duduk di sebelahnya. Lelaki itu lalu duduk bersama dengan Rian dan menatap sekitar yang tampak ramai.
“Café lo penuhnya malam. Ada ruang apa nih?” Tanya Gean yang jelas langsung mendapat sentilan kecil di keningnya oleh sang kakak. Lelaki itu meringis dan menatap Rian dengan kesal. Memangnya ia masih kecil harus disentil seperti itu?
“Di sini kan deket sama kampus. Deket juga sama kos-kosan mahasiswa. Belum lagi sekarang ada yang suka booking deket taman. Jadi ya, malemnya aktif. Cuan gak harus aktif siang, Bos!” Jawab Akbar dan menaikkan halisnya beberapa kali. Gean mengangguk pelan dan menghisap rokoknya beberapa kali sebelum menghembuskannya perlahan. Lelaki yang merasakan hawa dingin mulai menusuk itu langsung memesan satu gelas coklat hangat yang memang sangat pas untuk malam ini.
“Yang lain pada di mana? Katanya mau datang?” Rian menatap Gean dengan cengo. Kenapa tiba-tiba anak itu menanyakan keberadaan para temannya?
“Padahal tadi disuruh ikut malah ngotot gak mau ikut,” sindir Rian yang berhasil membuat Gean mencebik kecil.
“Tadi kan gua lagi sibuk persiapan buat besok,” alibi Gean seraya mematikan rokoknya yang tersisa sedikit itu. Mengambil yang baru dari kantung celananya, Gean mengulurkan tangan pada Rian. Meminta korek pada lelaki yang beberapa kali mencegahnya untuk berhenti merokok.
“Udah kenapa, sih? Lo kalau Mama tahu udah dimarahin!” Ucap Rian seraya memberikan sebuah korek api pada adiknya.
“Gua tahu. Makanya ngerokok di luar,” jawab Gean dan kembali menghisap asap nikotin itu penuh nikmat. Rian yang melihatnya hanya bisa mencebik. Ia tidak tahu sejak kapan Gean mulai sangat aktif menghisap rokok. Yang pasti, segala hal sudah Mamanya lakukan agar Gean tidak terlalu candu pada barang tersebut. Namun bukannya sembuh, Gean malah merokok di luar dan tanpa sepengetahuan Mamanya. Rian juga sudah pasrah dengan apa yang adiknya lakukan. Ia juga sudah mencegah dan meminta Gean untuk mengubah saja cara merokoknya dengan mengganti barang tersebut.
Tapi Gean bilang rasanya berbeda. Apalagi jika sudah makan, rasanya akan sangat asam di mulut. Dan seperti ada yang kurang. Seperti makan tanpa lauk. Begitu yang lelaki itu katakan setiap sehabis makan dan dilaang merokok oleh Rian. Tidak tahu pasti kenapa bisa begitu, sebab Rian sendiri bukan perokok. Ia menjaga kesehatannya dan juga karena larangan Angel—tunangannya.
“Fera kayaknya gak bakal ke sini,” ujar Akbar dan mengambil satu batang rokok yang Gean berikan.
“Kenapa?” Rian yang baru akan membuka mulut langsung menutupnya kembali kala suara Gean sudah lebih dulu keluar. Lelaki itu mengulum senyum melihat Gean yang tampak kecewa. Jadi, lelaki itu ikut dengannya malam begini karena ada sesuatu yang sebenarnya ingin ditemui, heh?
“Kayaknya sih iya. Nyiapin bahan buat besok rapat kali,” jawab Akbar seraya menunjukkan sebuah status w******p milik Fera. Di mana kamar gadis itu yang berwarna hitam menjadi background dan Fera yang sedang mengetik cepat disertai lagu rock yang membahana di dalam kamar gadis itu. Dalam diamnya, Gean mengusung senyum tipis. Lelaki itu menggaruk pipinya dan mengalihkan pandangan begitu mendengar Rian yang terbatuk kecil.
“Ini pesenannya, Kak,” ujar salah satu pegawai Akbar seraya menaruh gelas mug yang berisi coklat hangat pesanan Gean.
“Lo hebat, Bar. Udah sibuk di kantor gua, jabatan aman, sekarang punya café. Otak lo dalam mencari cuan emang gak ada duanya,” puji Rian seraya tersenyum lebar. Akbar yang mendengar itu langsung mengusap hidungnya merasa bangga. Sedangkan Gean yang melihat itu semua hanya bisa mendengkus sebal. Ternyata Akbar bisa merasa bangga juga, ya?
“Ini juga dibantu bokap, Yan,” ujarnya tanpa bisa menutupi rasa bangga.
Tuk.
“Anjir! Panas b**o!” Umpat Akbar saat mug yang terasa panas itu menempel di pipinya. Membuat Rian langsung tergelak dan Gean menahan tawanya. Melihat bagaimana lelaki besar itu baru saja mengumpat dengan suara yang sangat khas.
“Pak Akbar bahasanya kasar banget, dah!” Gean tertawa mendengar kembarannya baru saja mengejek Akbar yang saat ini terlihat mengembangkan lubang hidungnya karena kesal.
“Padahal gua tadinya pengen keliatan kek orang sok gitu. Lah, lo malah buat gua gagal,” ujar Akbar seraya mengusap pipinya yang terasa panas dan memerah. Lelaki itu memiliki kulit sedikit gelap. Tapi masih lebih baik daripada Agung. Kulit Akbar mungkin lebih tepatnya kuning langsat. Maka dari itu setiap luka dan warna merah akan terlihat sangat jelas. Sama dengan si kembar yang memiliki kulit putih.
“Jadi lo ke sini mau ngapain?” Tanya Gean pada kembarannya yang sedang membalas pesan di ponsel lelaki itu.
“Hah? Ya gua mau kumpul aja sama yang lain. Emangnya mau ngapain lagi?”
Gean mendengkus sebal. Menghabiskan segelas coklat hangat yang ada di tangannya, Gean lalu menunjuk gelas itu pada Rian. Yang mana Rian sudah paham jika ia yang harus membayar hal itu. menganggukkan kepalanya pelan, Rian lalu menunjukkan pesan sang mama yang ada di ponselnya pada Gean.
“Lo kalau mau balik, balik aja. Mama gak ada temen,” ujar Rian yang lebih terdengar seperti perintah agar Gean yang menjaga wanita kesayangan mereka di rumah. Gean mengangguk patuh dan menunjukkan kunci mobilnya pada Rian yang lagi-lagi hanya dibalas dengan anggukan oleh Rian.
“Lo berdua bisu apa emang punya telepati, sih? Dari tadi ngangguk-ngangguk doang. Ngomong kagak,” seru Akbar yang tampaknya kesal dengan interaksi si kembar. Gean terkekeh pelan sebelum pergi begitu saja, tanpa berpamitan pada Akbar atau Rian. Lelaki itu memasukkan satu tangannya ke dalam saku hoodie dan satunya lagi memainkan kunci seraya mengapit rokok. Mata tajamnya melihat mobilnya yang masih ada di depan café. Menghela napas panjang, Gean rasakan kekecewaan hinggap di dadanya.
Kenapa ia harus kecewa? Memangnya apa yang sedang ia tunggu? Bukankah ia ikut dengan Rian hanya karena ingin merokok saja? Kenapa harus merasa tidak senang dengan apa yang ia lihat sekarang? Perasaanya selalu saja aneh akhir-akhir ini. Labil hanya karena satu orang perempuan. Benar-benar jauh dari kata Geandra Anggara.
Memasuki mobilnya dan mulai menjalankan benda beroda empat itu, berbelok sedikit guna keluar dari depan café, Gean lalu memberikan kartu parkir yang ada di dashboard mobilnya pada satpam di sebelah kanan. Bersamaan dengan sebuah motor ninja hitam yang berhenti di pos satpam sebelah kiri. Mengambil kartu parkir.
***
“Makasih, Pak.”
“Sama-sama, Neng. Tadi kayanya Mas Rian juga sudah ada di dalam.”
Fera yang akan menjalankan motornya menuju parkiran itu spontan menghentikannya dan membuaka kaca helm. Melihat ke arah kanannya saat tak sengaja mendengar suara yang tampak tak asing. Matanya menyipit guna melihat siapa yang ada di dalam mobil itu. Namun baru akan memastikannya lebih baik, suara klakson dari belakang motornya membuat Fera mengurungkan niatnya dan memilih pergi dari pos guna menyimpan motornya.
Itu tadi bener dia?
Membuka helmnya perlahan, Fera ingin memastikan kembali. Namun sayangnya mobil itu lebih dulu pergi. Membuat Fera hanya bisa menghela napas dan menarik kunci motornya. Tak lupa gadis itu merapikan sedikit rambutnya sebelum memasukan kedua tangan ke dalam jaket kulit yang saat ini ia pakai. Mengambil satu bungkus rokok dari salam sana, Fera lalu mengeluarkan satu batang sebelum akhirnya menghisap asap nikotin itu dengan perlahan. Mengusap matanya sebentar dengan tangannya yang lain, Fera melihat sekitar yang tampak ramai dengan anak-anak muda. Senyumnya terangkat kecil. Fera jadi teringat masa-masa ia berkuliah. Di mana akan menghabiskan waktu lebih banyak di café daripada di kampus atau perpustakaan.
Grep.
“Sendiri aja, Neng?”
Fera spontan menoleh pada lelaki yang kini merangkul lehernya dan tersenyum miring. Mengangkat kotak rokoknya, Fera bermaksud menawarkan. Tapi gelengan kepala ia dapatkan. Membuat gadis itu akhirnya kembali memasukkan kotak rokok miliknya ke dalam kantung jaket.
“Gak sama istri lo?” Tanya Fera pada lelaki itu seraya merangkul erat pinggangnya.
“Kan istri kedua ada di sini. Ngapain mikirin yang ada di rumah,” bisik lelaki itu yang jelas langsung mendapatkan tatapan tajam dari Fera.
“Najis!”
“Gak boleh gitu, Sayang. Kan udah dikasih uang belanja bulanan. Besok aku pulang ke rumah kamu kok.”
“Agung! Geli tau gak?!” Sentak Fera seraya melepaskan tangannya dan tangan Agung yang masih anteng di lehernya. Lelaki yang dari dulu selalu membuat lelucon itu langsung tertawa dan melihat Fera dengan tatapan jahil.
“Sensi mulu dari dulu! Baik-baik kenapa, sih? Lo cewek, Fer.”
“Emang apa hubungannya cewek sama sensi?” Tanya Fera sewot. Gadis itu membuka pintu café dan menatap sudut ruangan yang di mana teman-temannya sudah berkumpul dan sedang melambaikan tangan. Memberitahu pada Agung dan juga Fera bahwa mereka ada di sana.
“Kagak bakal ada laki-laki yang mau, tau rasa lo! Cewek itu harus lembut, baik hati, ramah. Jenis cewek yang imut gitu, lho… Lah, lo mah kagak ada imutnya sama sekali.”
“Gak usah rubah sifat. Nanti juga kalau jodoh datang,” jawab Fera yang berhasil membuat Agung terkekeh pelan.
“Kaya Gean, ya?” Bisik lelaki itu sebelum akhirnya berlari untuk menghindari Fera yang mungkin akan mengamuk sebentar lagi.
Sedangkan Fera yang mendengarnya langsung terdiam kaku. Gadis itu menatap Agung dan ikut berlari. Mengejar teman laknatnya yang sudah ia kenal sejak duduk di bangku SMP. Menatap tajam Agung yang kini berlindung di tubuh Rian, Fera menunjukkan tinjunya pada lelaki itu yang langsung dibalas dengan permintaan maaf Agung. Lelaki itu masih sama saja dengan dulu. Masih takut dengan kepalan tangan Fera yang tidak seberapa—bagi Fera pastinya.
“Awas aja itu mulut kompor lagi! Gua beneran bakar pake rokok, ya?!” Ancam Fera seraya menarik kursi. Gadis itu mengibaskan tangannya di depan wajah. Entah hanya perasaaannya saja atau memang udara malam ini terasa sangat panas, sampai-sampai Fera harus mengipasi wajahnya yang kini terasa terbakar. Belum lagi telinganya yang dibiarkan terbuka itu juga sepertinya memerah. Sialan! Memang Agung ingin dibunuh sejak pembuatannya ya?!
“Kenapa sih lo berdua? Berisik banget, dah.”
“Biasa, macan kalau dikasih daging suka pura-pura dulu. Padahal nanti langsung diambil sambil senyum,” jawab Agung seraya mengedipkan sebelah matanya pada Fera yang dibalas dengan delikan tajam.
“Suzi di rumah sama siapa? Tumben lo bsia keluar?” Tanya Akbar seraya menatap Agung yang masih mengatur napasnya akibat berlari tadi.
“Ada Mama. Udah kagak manja juga.”
“BIsa-bisanya lo bilang udah kagak? Orang-orang sukanya istri itu manja. Lah lo, kagak mau punya istri manja.”
Agung menghela napas dan menipiskan bibirnya menatap Akbar yang baru saja berkomentar. “Kalau manjanya tingkat biasa sih gua gak masalah. Lah, ini? Tremor lo kalau manjanya kaya Suzi!”
“Kenapa?” Fera menatap Agung juga. Gadis itu juga tampaknya sudah tidak terlalu kepanasan dan sudah mulai terbiasa.
“Bilang kangen, kagak mau lepas, pake baju yang lo kasih, tapi langsung tidur. Mana tahan lo kalau kaya gitu! Untung gua kuat banget imannya.”
Pletak.
Agung meringis kala Akbar menjitaknya seraya tertawa. “Anjir! Kamar mandi, dong?” Tanyanya seraya tergelak keras. Lelaki itu memegang perutnya yang terasa kram karena tertawa sangat puas. Apalagi mendengar kalimat itu dari mulut Agung yang sama sekali tidak bisa membuatnya tidak tertawa. Didukung dengan mimic wajah yang sangat pas. Siapapun pasti akan tertawa jika mendengar hal tersebut.
“Baju yang gua kasih? Yang mana?” Fera mengernyitkan keningnya seraya mematikan rokok yang sudah hampir habis ke dalam asbak yang Akbar sodorkan. Gadis itu menatap penasaran pada Agung yang malah mendelik.
“Gak usah lo pura-pura!” Sewot Agung.
“Apa, sih? Emang gua gak tahu.”
“JARING IKAN!” Jawab Agung seraya mengambil gelas yang baru saja pelayan sodorkan padanya. Fera yang teringat hal itu langsung membuka mulutnya lebar-lebar seraya terkekeh pelan.
“Gimana? Pas kan di Suzi? Tahu kok gua bentukannya dia kaya gimana,” jawab Fera yang semakin membuat Agung kesal setengah mati.
“Kalau lo gimana, Yan? Kagak bakal ada kemajuan nih sama Angel? Kuat banget, dah. Mana sering nginep lagi. Angel cantik banget itu, Yan!” Goda Akbar yang melihat Rian sejak tadi hanya diam. Lelaki itu hanya tersenyum manis. Jenis senyum yang sangat Fera kagumi sejak dulu. Bahkan sampai saat ini, Fera masih ikut tersenyum melihat senyum manis itu. Sekalipun di hatinya sudah tidak ada lagi rasa, tetap saja menikmati senyum Rian adalah yang paling tidak bisa ia hindari.
“Doain aja semoga kakaknya satu lagi cepet-cepet nikah,” jawab Rian santai. “Dari pada itu, Fera sendiri gimana? Akbar kan udah punya calon. Nah, lo?”
Fera yang mendapat pertanyaan langsung dari Rian itu hanya bisa tersenyum canggung. “Tunggu aja undangannya.”
“Sama siapa? Adek gua emang udah lamar lo?” Tanya Rian polos.
Fera yang mendengar itu jelas langsung menatap Rian dengan mata menajam.
“Adek lo? Maksudnya Gean?”