Ch. 5 (HH)

2146 Kata
“Adek lo? Maksudnya Gean?” Tanya Akbar dengan wajah yang terkejut. Fera yang mendengar itu langsung berdehem pelan dan menggeleng. “Rian emang suka gak jelas,” jawabnya seraya menatap ke arah lain. Berusaha untuk tidak memperlihatkan wajahnya pada Akbar atau Agung. Karena jika kedua lelaki itu sudah melihat wajahnya, sudah pasti Fera tidak bisa menutupi kebohongannya. Sedangkan Rian yang baru saja salah bicara terkekeh pelan. “Gua sih gak masalah lo sama adek gua, Fer. Tapi, gua saranin jangan ngarepin dia. Umur lo udah kagak muda lagi. Dia juga gak peka sama sekitar. Mending—“ “Kata siapa? Dia peka, kok kalau sama gu—“ Fera terpaksa tidak melanjutkan ucapannya kala mendengar Rian yang terkikik geli dan suara batuk Agung dan juga Akbar yang dibuat-buat. Sialan! Rian sialan! Kakak ipar macam apa yang menjerumuskan adik iparnya sendiri ke lubang malu?! “Ekhem.. keknya ada yang kita kagak tahu ini. Apalagi udah ada kata peka-pekaan. Berat pembahasannya,” goda Akbar yang memang sejak tadi sudah merasa ada yang janggal. Mulai dari Fera yang tidak bisa diam saat melakukan zoom, sampai pada kehadirannya yang mendadak datang setelah Akbar kabari jika Gean akan ikut bersama dengan Rian. Gadis yang biasanya tidak akan mudah disuruh itu tiba-tiba saja datang tanpa harus pemaksaan. Sebuah hal yang sangat langka bukan? “Tapi, Fer, kalau lo sama Gean. Akbar sama siapa? Katanya Akbar mau jadi kandidat pertama buat lo.” Agung menaik turunkan halisnya. Semakin gencar membaut gadis introvert itu malu dan merasa tidak bisa mengelak lagi. Sebab, Fera biasanya akan sangat mudah bocor jika sudah digoda habis-habisan. Apalagi jika yang menggodanya adalah Akbar, Agung dan juga Rian. Sudah pasti gadis tidak akan bisa mengelak. “Apa, sih? Gua sama Gean temenan aja. Sama kaya sama lo pada. Gak usah aneh-aneh, deh!” “Tapi waktu beres rapat yang perusahaan lo ke perusahaan gua, kayanya gua liat Gean anter lo pulang deh. Apa mata gua yang siwer, ya?” Akbar mengusap mata kanannya dengan lembut seraya mengernyit dalam. Mencoba mendalami perannya yang kini sedang memeriksa matanya. Rian yang melihat itu ikut tersenyum kecil. “Pantes aja Gean langsung buru-buru minjem mobil sama gua. Padahal waktu itu gua sama Angel mau makan di luar. Sampe kagak jadi dan makan di kantin lho, Bar,” tambah Rian. Fera mendelik seraya mengerucutkan bibirnya sebal. Ini yang paling ia tidak suka jika sudah berkumpul. Pasti ia yang akan menjadi bahan bully. Entah karena umurnya yang memang sudah tidak muda lagi—dalam artian sudah seharusnya berkeluarga bagi seorang perempuan—para teman lelakinya ini begitu gencar membuatnya malu dan merasa jika apa yang dikatakan mereka ada benarnya. “Kapan nih resminya? Kagak mungkin lama lagi, dong? Kayaknya bentar lagi beneran ada undangan yang ke sebar, ya?” “Ih! Udah, dong! Gua sama Gean gak ada apa-apa. Kenapa, sih? Lagian Abang Fero kagak mungkin setuju jug—“ “Gean?” Panggil Rian seraya menunjuk ke belakang. Lelaki itu juga memasang raut terkejut. Deg. Fera spontan menolehkan kepala dan melihat ke belakang. Bersamaan dengan gelak tawa para temannya yang semakin membesar. Sialan! Fera kira lelaki itu benar ada di sini! Ia sudah ketakutan setengah mati dan teman-temannya berhasil mengerjai ia yang kini sedang merasa ketakutan?! Awas saja mereka! Fera sudah memiliki cara yang paling baik. Mengeluarkan ponselnya, Fera lalu menghubungi anggota grup perempuan yang beranggotakan dirinya, Angel—tunangan Rian, Suzi—Istri Agung dan juga Devani—kekasih Akbar baru-baru ini. “Lagi pada dimana?” Tanyanya begitu sambungan telepon tersambung. Fera segera bangkit saat para temannya sudah mulai menghentikan tawanya dan menatap Fera waspada. “Angel lagi di apartemen. Kenapa, Fer?” Jawab Angel dengan gayanya yang khas. Lembut dan sangat terdengar manis. Fera mengusung senyum jahatnya. Rian yang mendengar itu langsung bangkit dan berusaha meraih ponsel Fera, namun gadis itu dengan baik mengunci ponselnya dengan cepat. Tidak ada yang tahu kode ponselnya. Karena tadi ia sengaja meloudspeaker ponselnya, ia jadi tidak perlu khawatir jika nanti para temannya akan mengambilnya dan berusaha untuk mematikan panggilan grup itu. “Suzi lagi di kamar. Kenapa Mbak Fera? Ada yang mau diomongin? Tumben telepon grup?” Tanya Suzi yang kini malah membuat Agung menutup mata seraya mengusap wajah frustasi. Memang ya, Fera kalau sudah merasa kalah. Maka para wanitanya akan langsung dijadikan sekutu! Dan apa tadi? Kenapa istrinya bisa mengangkat panggilan? Apa sebenarnya tadi tidak tidur dan hanya mengerjainya saja? “Kalau Vani lagi di café Bang Akbar. Kenapa, Mbak Fer? Mau ajak curhat ya?” “Emang Fera suka curhat?” Tanya Angel dengan gayanya yang polos. “Gak pernah, sih. Kirain gitu Mbak Angel.” “Oh… Angel kira Fera suka cerita sama Vani.” “Boro-boro, Mbak. Udah ke save nomor aja udah bersyukur Vani,” Jawab Vani dengan suara yang jelas. Fera yang mendengar itu hanya bisa terkekeh. Sedangkan Akbar mengusap wajahnya nelangsa. Jujur sekali kekasihnya yang satu itu! “Bisa ke apartemen gua, gak? Udah pada tahu kan yang di mana? Kalau gak bisa, gua jemput kalian nanti. Tapi jangan bukain pintu kalau nanti laki lo semua mau masuk. Paham? Ada yang mau gua ceritain sama kalian. Bisa?” Tanya Fera yang sontak membuat ketiga lelaki di depannya membelalak terkejut. “Bisa! Angel siap-siap dulu ya, Fer!” “Suzi juga! Sekalian mau jajan di luar. Suka gak boleh sama Kak Agung.” “Vina on the way ke apart Mbak Fera aja ya? Ini baru keluar parkiran soalnya.” “Iya, gua tunggu. Udah dulu, ya. Matiin sama kalian aja.” “Oke!” TUT. TUT. TUT. “Fer, mainan lo jangan gini dong. Gua gak bisa tidur kalau gak peluk Suzi,” melas Agung seraya menatap Fera dengan wajah nelangsanya. Namun Fera acuh dan tidak berkutik. Akbar sih tidak terlalu masalah. Tapi lelaki dengan tubuh besar itu hanya takut jika nanti kekasihnya akan diracuni oleh Fera dan membuat hubungannya lagi-lagi kandas dengan tidak berakhlak. Sebab Fera mengetahui semua aib Akbar yang bahkan Akbar sendiri tidak tahu jika aibnya sebanyak itu. Rian? Jangan ditanya. Lelaki itu sudah ketar-ketir sejak tadi. Karena rencananya, sehabis kumpul, Rian akan datang ke apartemen Angel dan mengajak gadis itu bicara dengan baik. Keduanya memiliki masalah. Ya, walau bukan masalah serius. Tetap saja Angel akan sangat marah jika Rian tidak berbicara berdua dengan gadis itu untuk menyelesaikan semuanya. Rian sudah kosong. Mendadak otaknya tidak bisa bekerja dengan baik. “Gua gak bisa ngapa-ngapain. Lo semua yang bikin masalah mulu.” “Jangan sensian ya, Manis? Gua minta maaf deh…” sesal Agung seraya mengelus tangan Fera. “Najis! Awas. Gua mau jemput kawanan gua dulu. Udah tahu gua sensian, masih aja pada bercanda! Bye!” “Jadi, apa yang mau Fera omongin?” “Gak ada,” jawab gadis dengan baju kebesarannya itu dengan gayanya yang angkuh. Rokok masih terselip dengan nyaman di antara bibirnya yang kini tampak menebal karena sempat memakan makanan pedas. “Hah?” “Mbak Fera beneran? Kirain penting banget tadi,” desah salah satu wnaita yang kini asyik memakan snack. “Gua cuman butuh temen,” jawab Fera dengan santai. Membuang rokok keluar apartemen, Fera lalu mengambil jaket dan juga kunci mobilnya. Ia tatap ketiga perempuan yang kini tengah menatapnya balik. “Siapa yang mau balik duluan?” Angel, Suzi dan Davina serentak menatap satu sama lain. Ketiganya tidak mengerti dengan maksud Fera. Bukankah tadi gadis itu meminta mereka datang kemari karena ingin menceritakan sesuatu? Lalu sekarang saat semuanya sudah sampai dan sedang menikmati hidangan yang beberapa menit lalu dibelikan olehnya, Fera mengajaknya pulang? Apa benar gadis ini masih waras? Angel yang paham hanya menggeleng kecil dan menyandarkan punggungnya di sofa. Begitupun Suzi yang kembali memakan snack di pangkuannya dengan tenang. Sedangkan Davina mengambil ponselnya yang tergeletak dan mengacuhkan Fera. Membuat gadis dengan kaos hitamnya itu menghela napas panjang. “Gak ada yang mau pulang?” Tanyanya lagi memastikan. Namun ketiga perempuan itu tidak bergeming. Yang mana akhirnya membuat Fera diam dan kembali duduk di dekat balkon sebelum akhirnya mengambil rokok di meja. Kembali menghisap benda itu. Sengaja memperjauh jarak agar ia bisa lebih leluasa menghisap nikotin yang harganya hampir sama dengan satu kilo ayam itu. Matanya menatap pemandangan di bawah sana yang ramai dengan mobil dan juga motor. Walau sedikit lenggang, nyatanya itu bisa membaut Fera focus menatapnya sampai tak sadar jika Angel sudah ada di belakangnya. Gadis dengan piyama merah tuanya itu langsung memeluk Fera dari belakang. Jelas saja hal itu membuat Fera sedikit terkejut. Namun tak lama, karena Fera akhirnya membiarkan Angel memeluknya dari belakang seraya menikmati angin malam bersama. Entah karena hawa dingin atau hanya perasaan Fera saja, tapi pelukan Angel sangat menenangkan dan hangat. Rasanya Fera ingin merasakan kehangatan ini terus. Dipeluk oleh orang lain dan dijadikan tumpuan yang baik. Bukan menjadikan tumpuan untuknya bekerja. “Fera tau, tadi Rian bilang sama Angel buat pulang ke apartemen. Soalnya Rian ke sana. Tapi Angel bilang, Angel lagi mau sama Fera. Rian langsung telepon,” curhat Angel yang hanya ditanggapi dengan gumaman kecil oleh Fera. “Besok, Angel ada jadwal foto. Nuansanya taman. Fera mau ikut?” “Besok gua ngantor,” jawab Fera cepat dan singkat. Yang mana akhirnya diangguki Angel walau gadis yang kini tengah Angel peluk itu kemungkinan tdiak akan melihatnya. “Fera kuat kok. Mau makan gak? Udah dulu ya, ngerokoknya,” bujuk Angel seraya menjauhkan nikotin yang baru akan Fera hisap dengan menahan tangan kecil gadis itu. Fera tidak menolehkan kepala ke arah Angel berada. Gadis itu memilih menepis tangan Angel dan kembali menghisap nikotin itu. Beberapa kali matanya menyipit merasakan angin malam serta asap nikotin itu menyerbu wajahnya. “Ke dalem yuk, Kak Fer. Suzi ngantuk,” ujar Suzi yang entah sejak kapan sudah ada di samping Angel dan mengusap bahu Fera dengan pelan. “Kalian duluan aja. Gua masih mau ngerokok.” Fera segera merebut bungkus rokok yang diambil Davina dan mengusir ketiganya dengan tatapan tajam. Angel dan juga Suzi yang sudah tahu hanya bisa mengela napas pasrah. Sedangkan Davina masih di tempatnya. Bukannya pergi seperti yang dikatakan mata Fera, Gadis itu malah mengambil kursi dan duduk di dekat Fera. Mengeluarkan alat vapenya dari saku, Davina lalu ikut menghisap barang yang ia bawa dan mengeluarkan asap dengan bau stroberi itu. “Kak Akbar itu baik gak, Kak Fer?” Tanya Davina seraya menatap Fera yang tampak acuh dan tidka senang dengan kehadirannya. “b******k,” jawab Fera apa adanya. “Lo ketipu tampang.” Davina tersenyum dan mengangguk. “Iya. b******k banget. Sampe Davina pengen putus,” jawabnya yang berhasil membuat Fera menoleh. “Kenapa Akbar?” Tanyanya yang jelas hanya dibalas dengan senyum kecil oleh Davina. “Kayaknya Kak Akbar lebih perhatian sama orang lain daripada driinya sendiri karena Kak Fera, ya?” Tanya gadis itu dan menaruh alat vapenya sebelum akhirnya duduk menyamping. “Kak Akbar b******k banget. Bilang kalau aku jangan deket-deket sama Kak Fera. Kalau gak, nanti aku sama Kak Akbar bakal putus.” “Gak jelas,” sinis Fera dan kembali menatap datar ke depan. Dvaina tidak menyerah, gadis itu menarik tangan Fera dan menatap gadis yang umurnya 7 tahun di atasnya itu dengan tatapan lembut. “Kak Angel masih mau kok peluk Kak Fera. Kak Suzi juga masih mau dengerin apa yang Kak Fera pengen ceritain. Kenapa masih mau nyimpen sendiri?” Tanya Davina sok tahu. Fera segera mendelik. “Kayaknya lo emang harus putus sama Akbar.” “Hah?” “Sok tahu. Lo orang baru di sini. Gak usah sok tahu pake bujuk gua. Gak mempan. Gua juga gak punya masalah. Urus aja masalah lo sendiri. Gak usah ikut campur,” sarkas Fera yang berhasil membuat Davina membeku di tempatnya. Gadis dua puluh tujuh tahun itu bergegas bangkit dan meninggalkan Davina yang langsung mengeluarkan air mata. Ucapan Fera terlalu menyakitkan. Angel yang melihat itu dari kamar Fera hanya bisa menggelengkan kepala. Membujuk Fera tidak akan bisa dengan cara semudah itu. Fera keras. Jika ingin membuat gadis itu mengatakan semuanya, maka kekerasan juga yang harus dikeluarkan. Sayangnya, baik Suzi maupun Angel tidak bisa melakukan itu. Suzi biasanya bisa. Hanya saja karena sedang megandung, Agung beberapa kali memperingatkannya agar tidak beradu argument maupun fisik dengan Fera. Karena nantinya justru akan memabhayakan bayi dan calon anak mereka. Ditambah Fera anaknya tidak pernah main-main, Davina saja langsung disentak dengan sarkas. Padahal gadis itu yang meminta agar Davina datang. Tapi dia juga yang membuat gadis itu menangis. Memang hanya Fera saja yang bisa. Sedangkan Angel memnag tidak bisa melakukan kekerasan. Terlalu lemah lembut, membuatnya sulit mengimbangi Fera yang kasar. “Bilang sama tuh anak cengeng, balik. Gua tunggu di parkiran,” ujar Fera yang sadar Angel dan juga Suzi sejak tadi memperhatikannya. Kembali mengambil jaket dan juga kunci mobilnya, Fera lalu keluar dari apartemen. Gadis yang kini entah kenapa sangat tempramen itu tidak bisa diajak berkomunikasi sama sekali. Sekalipun dengan bahasa yang halus. Hanya tuhan dan gadis itu saja yang tahu kenapa moodnya tiba-tiba berubah drastic.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN