Bagian 3 (Terlalu mendadak)

1097 Kata
Dua hari kemudian… Nadira duduk di kursi rias dengan wajah kosong, menatap bayangannya di cermin. Riasan pengantin mulai menempel di kulit, gaun putih gading yang sederhana tapi mewah membungkus tubuhnya dengan sempurna. Tapi hatinya? Masih tercekat. Semuanya terasa terlalu cepat. Terlalu mendadak. Rasanya seperti mimpi buruk yang dipaksa jadi kenyataan. Andai dia bisa kabur. Lari dari semua ini. Tapi perkataan Nayla dua malam lalu terus terngiang—tentang hidup enak, gak mikir makan besok, gak pusing bayar listrik, dan bisa olahraga ala sosialita tiap pagi. Nadira mengembuskan napas panjang. Tangannya meraih ponsel di meja. Jari-jarinya membuka galeri, lalu berhenti di foto pria bernama Alven Mahendra—lelaki yang akan jadi suaminya hari ini. Wajahnya tampan, kelas atas. Gaya hidupnya bisa ditebak dari kemeja branded dan jam tangan mewah yang melingkar di pergelangan. Tapi yang membuat Nadira mengerutkan kening bukanlah dia, melainkan sosok perempuan yang berdiri di sebelahnya di salah satu unggahan i********:. Wajah itu... Dia kenal betul. Juminten. Atau sekarang, di bio i********:-nya: Minthea V. Perempuan yang pernah jadi mimpi buruk masa SMA-nya. Ketua geng, tukang pamer, tukang bully. Dan ya, Nadira pun pernah jadi targetnya. Bedanya, Nadira bukan tipe yang diam. Ia melawan. Bahkan pernah menampar Juminten di depan kelas saat perempuan itu merobek bukunya. Dan sekarang? Si perempuan itu pacaran dengan calon suaminya? Lucu sekali hidup ini. “Siap?” Suara ceria Laura, sahabat Nadira, membuat lamunannya runtuh. Gadis tinggi dengan rambut bob pendek itu masuk tanpa permisi, membawa energi besar seperti biasa. “Buset... cakep banget sahabat aing,” katanya sambil menatap Nadira dari ujung kepala sampai kaki. “Beneran, muka bisa disulap kalau tangan make-up artist udah kerja.” Nadira mencibir lalu menunjuk ponsel. “Lihat temanmu. Juminten jadi Minthea sekarang. Hebat ya, dapet cowok kaya.” Laura langsung menyambar ponsel dari tangan Nadira dan melihat fotonya. “Wih, cakep juga tuh cowok. Duitnya pasti banyak. Gak gratis ini, beb. Cewek kayak gitu pasti jual selangkangan.” Nadira tertawa kecil. “Kamu aja yang ngomong, bukan aku ya.” Laura menyeringai, mengembalikan ponsel. “Dulu gue pernah jual, hehe.” Nadira menoleh cepat, separuh kaget, separuh ngakak. “Gila, kamu beneran mucikari ya waktu itu?” “Yoi. Waktu SMA masih seru-serunya. Banyak cewek cari duit instan, gue bantu pasarin ke om-om. Komisinya gede, tinggal duduk manis.” Nadira menyandarkan punggung ke kursi. “Kenapa kamu gak jual aku, La? Kan aku teman kamu juga?” Laura mencebik. “Ngapain. Kamu beda. Gak bisa dijual. Terlalu lurus, terlalu galak. Lagian sekarang udah ada yang beli—calon suami sultan pula. Udah, ayo keluar. Jangan banyak mikir. Jaga dagu, senyum elegan.” Nadira menghela napas panjang lalu berdiri. Laura sigap merapikan bagian bawah gaunnya, memastikan tak ada yang kusut. Tak lama, Nayla masuk dengan langkah cepat. Wajahnya cerah, meski ada cemas di matanya. “Kak,” katanya sambil menarik napas, “ayo. Sebentar lagi akad. Calon suami Kakak udah nunggu di ballroom.” Deg. Jantung Nadira berdetak keras. Ini saatnya. Ia berjalan perlahan, dibimbing dua perempuan yang paling mengenalnya. Dalam balutan gaun putih itu, ia tampak tenang. Tapi di dalam, pikirannya berputar ratusan arah. Akan seperti apa pria itu? Apa benar dia serius, atau cuma menurut karena tekanan keluarga? Apa dia tahu kalau pacarnya adalah pembully masa laluku? Nadira tak tahu jawabannya. Tapi satu hal pasti: ia takkan jadi perempuan lemah. Bukan istri yang menangis diam-diam karena pria yang bahkan tak ia pilih sendiri. Tidak. Nadira Halim akan tetap berdiri—bahkan kalau harus sendirian. *** Alven berdiri di salah satu sisi ballroom yang dihias mewah. Jas putih gading berpotongan rapi membalut tubuh tingginya. Sebuah peci hitam melekat di kepalanya, menambah kesan khidmat yang mungkin baru pertama kali ia rasakan. Nafasnya berat. Bukan karena ketatnya kemeja, tapi karena udara yang mendadak terasa dingin menusuk tulang. Sebentar lagi, perempuan yang baru ia lihat fotonya akan duduk di sampingnya. Dan ia harus mengucap ijab kabul—mengikat hidup dengan seseorang yang belum pernah menyentuh hatinya. Matanya menyapu ruangan. Tamu-tamu mulai duduk rapi, sebagian besar kolega dan keluarga besar. Beberapa saling berbisik, sebagian lagi memperhatikan dekorasi dan hidangan. Namun, pandangan Alven berhenti di satu titik. Seorang perempuan duduk di barisan tengah. Gaun merahnya mencolok di antara tamu lain yang dominan warna pastel. Rambut hitamnya disanggul separuh, make-up-nya rapi, tapi senyumnya tidak ada. Minthea. Alven menarik napas panjang. Jantungnya berdebar, bukan karena senang—tapi canggung. Tatapan mereka bertemu sekilas. Tidak ada kemarahan, tidak ada senyum. Hanya kesedihan diam yang menggantung di sorot mata perempuan itu. Mereka tak saling menyapa. Alven tak bergerak mendekat. Hanya tangan kirinya yang mengepal di balik jas, menahan sesuatu yang tak bisa ia jelaskan. Minthea tetap menatapnya dari kejauhan, tak berkata apa-apa, tapi matanya berbicara. Dan Alven bisa membacanya jelas: “Aku masih di sini. Tapi hari ini, kamu jadi milik orang lain.” Seorang panitia mendekat, memberi isyarat agar Alven duduk di kursi akad. Dengan langkah berat, ia bergerak ke depan. Suara ayat suci mulai menggema, menambah tekanan yang sudah lebih dulu menyesakkan d**a. Tak lama lagi, perempuan itu akan datang. Perempuan yang akan dipanggilnya istri. Dan Minthea akan tetap duduk di situ—menyaksikan semuanya. *** Pintu ballroom terbuka perlahan. Semua kepala menoleh. Para tamu berdiri, menciptakan lorong panjang menuju pelaminan akad. Dan di ujung lorong itu—Nadira Halim melangkah masuk. Gaun putih panjang menyapu lantai, berkilau lembut di bawah cahaya kristal. Make-up flawless menegaskan fitur wajahnya yang tegas tapi anggun. Langkahnya ringan tapi penuh kendali. Tidak ragu. Tidak goyah. Bagaikan seorang ratu yang tahu kekuatannya. Tatapan Nadira menyisir seluruh ruangan. Hening. Sampai matanya berhenti pada satu titik. Minthea. Perempuan itu berdiri di barisan tengah, wajahnya memucat. Mata mereka bertemu—dan dalam sepersekian detik, Nadira bisa melihat jelas ekspresi kaget, takut, malu—semuanya menumpuk di wajah mantan kakak kelasnya yang dulu gemar menghina hidup orang lain. Nadira tak memalingkan wajah. Sebaliknya, ia mengangkat sebelah alis dan tersenyum tipis. Singkat. Tapi cukup untuk menyampaikan pesan: “Kamu pikir kamu menang? Sekarang lihat aku.” Minthea tak mampu membalas. Matanya melebar, tubuhnya kaku. Dengan tenang, Nadira meluruskan pandangannya ke depan. Di sana, duduk seorang pria dalam balutan jas putih dan peci hitam. Punggungnya tegap. Gagah. Aura kuasanya terasa bahkan dari jauh. Alven. Calon suaminya. Nadira menarik napas pelan. Tangannya gemetar sedikit, tapi langkahnya mantap. Ini bukan soal cinta. Bukan soal mimpi pernikahan indah. Ini tentang harga diri, tentang keberanian, tentang berdiri di panggung kehidupan yang dipilihkan orang lain—dan tetap tampil sebagai pemenang. Langkah demi langkah mendekatkan mereka. Langkah demi langkah mengikat dua takdir yang belum saling mengenal. Dan satu langkah lagi... sebelum nama mereka sah terikat dalam akad.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN