Bagian 4 (Tatapan kebencian)

1105 Kata
Suara “sah!” menggema di ruangan, diikuti tepuk tangan dan ucapan selamat dari tamu undangan. Nadira mengangkat wajah perlahan. Ada senyum di bibirnya, tapi tak sampai ke mata. Ia menatap sekilas ke arah lelaki di sampingnya—Alven Mahendra, pria yang kini sah menjadi suaminya. Suaminya, di atas kertas. Tapi bukan di hati. Alven menatap lurus ke depan, tanpa banyak ekspresi. Wajahnya tenang, nyaris datar. Dari cara dia menggenggam tangan Nadira saat ijab kabul tadi pun, terasa jelas—semua ini bukan tentang cinta. Perjodohan ini hanyalah kesepakatan bisnis antara keluarga Mahendra dan keluarga Halim. Sebuah penyatuan dua perusahaan besar demi proyek yang sama. Dan Nadira, anak perempuan satu-satunya, menjadi jaminan kerja sama itu. Nadira tahu. Alven pun tahu. Mereka berdua hanya pemain dalam panggung keluarga, berpura-pura saling bahagia di depan tamu yang datang membawa doa. “Sudah sah, Nadira.” Suara Alven dalam, bariton, tapi datar. Tak ada nada lembut di sana, hanya sopan santun yang harus diucapkan. Nadira tersenyum, menunduk sedikit. “Iya, Mas Alven. Terima kasih sudah... menerima perjodohan ini.” Ucapan itu halus tapi penuh makna. Sekilas, Alven menoleh. Ada sesuatu di matanya—entah kagum karena keberanian Nadira, atau hanya rasa tak suka karena perempuan itu berani bicara dengan nada setenang itu. Tamu bersorak, fotografer menekan tombol kamera, dan musik lembut mulai mengalun. Namun, satu pandangan di tengah keramaian menusuk lebih dalam dari yang lain. Minthea. Perempuan bergaun merah itu duduk di barisan tengah. Rambutnya disanggul rapi, matanya menatap lurus ke arah pelaminan. Di balik senyum manisnya, ada bara api yang bahkan Nadira bisa rasakan dari jauh. “Selamat ya, Alven...” gumamnya pelan, nyaris tak terdengar oleh siapa pun. Ketika sesi salaman dimulai, Minthea berdiri. Langkahnya mantap, aura percaya diri masih sama seperti dulu. Dan ketika ia naik ke pelaminan, Nadira bisa mencium aroma parfum mahal yang dulu sangat khas di koridor sekolah mereka. “Selamat, Alven.” Suara Minthea lembut. Tangannya terulur dengan senyum menggoda. Alven balas menjabat, menatapnya sekilas. “Terima kasih, Minthea.” Nadira hanya duduk di sampingnya, menatap adegan itu tanpa reaksi. Tapi di dalam dadanya, ada rasa getir yang menetes pelan. Ia tahu... pandangan itu bukan pandangan biasa. Pandangan dua orang yang masih terikat masa lalu. Lalu Minthea menoleh padanya. “Selamat juga, Nadira. Kamu beruntung sekali. Gak semua orang bisa punya suami sekelas Alven Mahendra.” Nada suaranya halus, tapi racunnya jelas. Nadira tersenyum pelan. “Ah, saya juga gak nyangka. Tapi kadang Tuhan kasih rezeki ke orang yang sabar, kan?” Beberapa orang terdiam. Alven menoleh sekilas, nyaris ingin menyela, tapi Nadira sudah menatap lurus ke depan lagi—elegan, seolah tak terjadi apa-apa. Minthea tertawa kecil. “Benar juga. Tapi semoga kalian bisa bahagia... meski tanpa cinta.” Kalimat terakhir itu seperti bisikan, tapi cukup untuk membuat Nadira mengangkat satu alisnya. Ia berdiri, menatap langsung ke arah Minthea. “Bahagia itu pilihan, Mbak. Cinta bisa tumbuh, tapi dendam?” Nadira mencondongkan tubuh sedikit, tersenyum samar. “Itu yang paling susah hilang, kan?” Alven diam. Tapi jemari di pahanya mengepal. Ia bisa merasakan ketegangan di antara dua perempuan itu—dan entah kenapa, ia merasa... terjebak. Minthea melangkah pergi dengan senyum tipis. Dan untuk pertama kalinya sejak akad, Alven menatap Nadira benar-benar. “Sepertinya kamu gak terlalu suka kalah, ya?” Nadira menggeser pandangannya padanya, senyum kecil di bibirnya tak goyah. “Aku cuma gak suka diremehkan, Mas. Apalagi di depan orang yang dulu pernah kujatuhkan.” Ada jeda panjang di antara mereka. Lalu Alven tersenyum tipis, dingin tapi jujur. “Kayaknya pernikahan ini gak bakal tenang.” Nadira menatapnya balik. “Tenang itu membosankan.” Dan untuk pertama kalinya, mata mereka bertemu—bukan karena kewajiban, tapi karena rasa penasaran. ** Musik lembut mengalun, kamera berkilat, dan senyum terus dipertahankan seolah semua benar-benar bahagia. Padahal, di antara cahaya lampu kristal itu, dua hati sedang saling diam untuk alasan yang berbeda. Nadira menatap tamu-tamu yang datang memberi selamat. Tangannya terasa dingin, tapi ia tahu cara menyembunyikannya: dengan senyum manis dan tatapan lembut. Itu pelajaran paling berharga dari hidup—tetap terlihat kuat walau hati retak pelan-pelan. Di sampingnya, Alven duduk tegak dengan ekspresi tenang. Tapi dadanya terasa sempit. Sejak Minthea berdiri dan mengucapkan selamat tadi, pikirannya berantakan. Senyum perempuan itu, sorot matanya, cara ia menatapnya… semua terasa seperti luka lama yang tiba-tiba dibuka kembali. Minta maaf, Thea, bisiknya dalam hati. Seandainya aku bisa memilih… yang duduk di sampingku sekarang bukan dia. Tapi perjanjian sudah diteken. Nama keluarga sudah diucap. Hubungan mereka—yang dulu selalu disembunyikan dari publik karena perbedaan status—kini benar-benar terkubur di balik janji suci yang bahkan tak lahir dari cinta. Alven menarik napas panjang, mencoba fokus, tapi pandangannya beberapa kali tanpa sadar mencari sosok bergaun merah itu di kerumunan. Setiap kali mata mereka hampir bertemu, jantungnya berdebar. Dan setiap kali ia ingat Nadira di sampingnya, debar itu berubah jadi rasa bersalah. Tamu berikutnya datang—Laura. Sahabat Nadira yang dari tadi menahan diri untuk tidak berteriak saking bahagianya. “Eh, gila! Cantik banget, Dir!” katanya sambil memeluk sahabatnya erat. Kemudian ia berbisik cepat di telinga Nadira, dengan suara nakal khasnya. “Beh... aura suamimu tuh bukan kaleng-kaleng. Hati-hati, malam ini bisa gempa lokal, loh.” Nadira spontan mencubit pergelangan tangan Laura, menahan tawa di tengah rasa malu yang mendadak menyeruak. “Diam, La! Ada kamera,” bisiknya balik, masih dengan senyum di wajah. Laura malah tertawa kecil. “Yah, maaf, tapi serius, dia tuh tipe yang kalo melirik aja udah kayak ngebacok perasaan. Lo siap kan?” Nadira menunduk, menutup wajahnya dengan punggung tangan seolah merapikan poni, padahal hanya ingin sembunyi dari sorotan kamera dan ucapan sahabatnya. Fotografer langsung mengabadikan momen itu—seakan Nadira tengah tersipu bahagia. Padahal, hatinya kosong. Alven melirik ke arahnya sekilas. Bukan karena terpesona, tapi karena bingung—bagaimana perempuan itu masih bisa tersenyum, sementara ia sendiri nyaris kehabisan napas menahan sesak. Saat Laura turun dari pelaminan sambil melambai, Nadira kembali duduk tegak. Senyum di wajahnya masih ada, tapi di baliknya ada kalimat yang tak sempat terucap: “Aku tahu kamu gak cinta, Mas. Tapi aku juga bukan perempuan yang akan menangis hanya karena itu.” Sementara di sisi lain, Alven menelan ludah pelan. Ia ingin cepat pergi dari ruangan ini—ingin melupakan semua mata yang menatapnya, terutama satu pasang mata yang pernah ia cintai sepenuh hati. Tapi begitu ia menoleh, pandangannya jatuh ke tangan Nadira yang menggenggam buket bunga di pangkuannya. Tegas. Anggun. Tapi... sepi. Dan untuk sesaat, ada sesuatu yang bergetar di dalam dirinya—bukan cinta, bukan juga iba—tapi kesadaran: perempuan yang duduk di sampingnya ini, mungkin jauh lebih kuat daripada dirinya sendiri.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN