Bagian 5 (Tidak ada malam pertama)

1146 Kata
Ballroom perlahan mulai sepi. Satu per satu tamu pamit dengan senyum lelah, meninggalkan ruangan yang kini hanya berisi aroma bunga lili dan sisa kilau lampu kristal. Nadira menunduk sopan saat orang terakhir memberi ucapan selamat, lalu melepaskan napas panjang yang terasa seperti beban sejak pagi. Akhirnya selesai juga. Alven masih berbincang sebentar dengan keluarga besar di ujung ruangan. Wajahnya tetap tenang, seolah tak ada hal yang mengusik di dalam dirinya. Tapi bagi Nadira, setiap tatapan mata itu terasa menembus d**a—semua orang melihat mereka sebagai pasangan sempurna, padahal hanya dua orang asing yang diikat janji karena nama besar. Begitu mereka masuk ke kamar hotel tempat mereka menginap malam itu, suasana berubah drastis. Tidak ada musik, tidak ada senyum, hanya keheningan yang nyaris menyesakkan. Nadira berjalan pelan menuju meja rias. Gaun pengantin putih yang panjangnya menyapu lantai terasa semakin berat setiap langkahnya. Bahunya pegal, lehernya kaku, dan perasaannya… kosong. Ia duduk, menatap pantulan wajahnya di cermin besar yang dikelilingi lampu temaram. Perempuan di sana terlihat begitu cantik—makeup sempurna, rambut disanggul rapi, perhiasan berkilau di setiap lekuk leher dan telinga. Tapi matanya... mati. Ia menghela napas pelan, mulai melepaskan anting satu per satu, lalu menyusul kalung dan gelang. Suara klik kecil dari kait perhiasan terdengar nyaring di ruangan yang terlalu sunyi itu. Dari belakang, Alven berjalan melewatinya tanpa banyak bicara. Ia melepas jas, membuka beberapa kancing kemeja, lalu melangkah ke kamar mandi dengan langkah panjang dan tegap. Tidak ada ucapan, tidak ada pandangan, bahkan tidak ada sekadar “terima kasih untuk hari ini”. Hanya bunyi pintu kamar mandi tertutup, lalu suara air mengalir—dingin, konstan, dan terasa seperti pembatas antara dua dunia. Nadira menatap pantulan itu lagi. Dirinya yang duduk sendirian di depan cermin besar, sementara suaminya berada di balik pintu kamar mandi. Ia menghapus makeup perlahan, gerakannya hati-hati seolah takut merusak sesuatu yang rapuh. Foundation-nya luntur, eyeliner-nya memudar, tapi air matanya tidak jatuh. Ia tidak sedih. Tidak juga kecewa. Hanya... lelah. "Selamat menempuh hidup baru, Nadira Halim," gumamnya pelan pada bayangan di cermin, suaranya nyaris seperti ejekan pada diri sendiri. Pintu kamar mandi terbuka. Alven keluar dengan kemeja putih tipis dan rambut yang masih basah. Bau sabun dan parfum maskulin bercampur, memenuhi ruangan. Nadira menoleh sekilas, tapi segera menunduk lagi, mengambil kapas untuk menghapus sisa lipstik di bibirnya. Alven berhenti di depan lemari, mengambil jaket hitam. Gerakannya cepat, seolah sedang mengejar waktu. “Kamu mau keluar?” tanya Nadira tanpa menoleh, suaranya datar tapi sopan. “Sebentar aja. Ada teman yang harus kutemui.” Jawabannya ringan, seolah bukan sesuatu yang mencurigakan. Tapi nadanya terlalu tenang, terlalu terlatih. Nadira tersenyum kecil, hanya dari sudut bibir. “Oh… teman ya,” ucapnya pelan, hampir seperti bisikan. Tidak ada tanya lebih lanjut. Tidak ada protes. Ia hanya melanjutkan gerakannya, menyisir rambut perlahan dengan tatapan kosong ke arah cermin. Alven sempat melirik dari belakang. Ada sesuatu di cara perempuan itu duduk—anggun tapi dingin, tenang tapi menekan. Ia ingin bicara sesuatu, tapi lidahnya kelu. Entah kenapa, menghadapi Nadira justru membuatnya merasa seperti sedang berdiri di hadapan seseorang yang tahu lebih banyak dari yang ia kira. “Aku gak lama,” katanya akhirnya, hanya sebagai formalitas. Nadira mengangguk kecil. “Hati-hati di jalan, Mas.” Ucapan itu terdengar begitu biasa. Tapi entah kenapa, justru membuat d**a Alven terasa lebih berat. Ia menatapnya sebentar, lalu berbalik dan keluar tanpa menutup pintu sepenuhnya. Begitu langkah-langkahnya menjauh, Nadira menatap cermin lagi. Di pantulan kaca itu, wajahnya tampak lebih tenang. Ia tersenyum tipis—senyum yang tak menyiratkan marah, tak juga pasrah. “Teman, ya...” gumamnya pelan, lalu menunduk, melepas sisa jepit rambut di kepalanya. Begitu helai-helai itu terurai, pundaknya terlihat lebih kecil, tapi aura tenangnya tetap ada. Beberapa menit kemudian, ia berdiri, berjalan ke kamar mandi, dan menyalakan air hangat. Air mengalir, menghapus sisa makeup, juga sisa hari yang panjang dan penuh kepura-puraan. Dan malam itu, di kamar yang seharusnya menjadi awal kisah dua hati, hanya ada satu yang tertidur sendirian— sementara yang lain bergegas menuju seseorang yang tidak pernah benar-benar hilang dari hatinya. ** Sementara itu— Langit malam Jakarta mulai memudar di antara lampu-lampu gedung. Alven memarkir mobil di depan sebuah apartemen mewah, menarik napas panjang sebelum turun. Ia mengetik pesan singkat. Aku di bawah. Boleh naik? Tak lama kemudian, balasan muncul. Pintu tidak dikunci. Masuk saja. Alven menelan ludah. Ia tahu ini salah. Tapi langkahnya tak berhenti. Begitu pintu apartemen terbuka, aroma lembut parfum khas Minthea langsung menyambutnya—aroma yang sama yang menempel di pikirannya sepanjang hari. “Thea...” suaranya serak. Perempuan itu berdiri di depan sofa, masih dengan gaun merah yang tadi ia kenakan di pernikahan. Tatapannya redup tapi tajam, bibirnya tersenyum samar. “Kenapa datang, Ven? Bukannya kamu seharusnya... di kamar, dengan istrimu?” Alven tak menjawab. Ia menatap wajah itu—wajah yang sudah terlalu lama ia hafal—lalu dalam satu gerakan cepat, ia memeluknya erat. “Thea, aku minta maaf,” ucapnya pelan, hampir seperti bisikan. “Aku gak bisa biarkan kamu ngerasa sendirian malam ini.” Minthea membeku sesaat di pelukannya. Tangannya sempat terangkat, ingin menolak, tapi akhirnya jatuh di punggung Alven. “Aku gak sedih, Ven,” suaranya gemetar. “Aku cuma gak nyangka... aku harus nonton orang yang kucintai nikah sama orang yang dulu—” Ia berhenti, menelan kata-katanya sendiri. Napasnya berat. Alven menatapnya, jemarinya menyentuh pipi Minthea, menahan air mata yang hampir jatuh. “Aku tahu ini gak adil buat kamu... dan aku pun gak tahu harus gimana. Tapi aku gak bisa pura-pura gak peduli.” Minthea menggigit bibir bawahnya. “Jadi ini cuma rasa kasihan, Ven?” “Enggak,” jawab Alven cepat. “Aku cinta kamu. Cuma... aku gak bisa nolak keputusan keluarga.” Mereka terdiam lama. Udara di antara mereka tebal oleh rasa bersalah, rindu, dan luka yang sama-sama belum sempat disembuhkan. Minthea menunduk, suaranya pelan. “Tapi malam ini... dia istrimu, Ven. Bukan aku.” Alven memejamkan mata, menahan debar di d**a. “Aku tahu.” Ia mengusap rambut Minthea perlahan, menatap wajah yang selama ini berusaha ia lupakan. “Tapi hatiku tetap milikmu.” Thea menarik napas pelan, matanya mulai berkaca-kaca. “Kalau kamu bener cinta aku... jangan biarkan aku kehilangan kamu sepenuhnya.” Alven menunduk, menyentuhkan dahinya ke kening Minthea, lama. “Aku di sini, Thea. Aku gak akan ninggalin kamu.” Suara napas mereka menyatu, lembut tapi berat. Tangannya masih saling bertaut, seolah keduanya takut dunia akan memisahkan mereka lagi. Sementara di luar sana, lampu-lampu kota berkelip seperti saksi bisu dari cinta yang salah waktu dan tempat. Minthea menyandarkan kepala di d**a Alven, suaranya nyaris tak terdengar. “Andai saja dunia gak sekejam ini...” Dan Alven hanya bisa menatap ke langit-langit, menahan sesak yang tak kunjung reda. Karena di saat yang sama, di kamar hotel yang lain, seorang perempuan bernama Nadira tertidur sendirian—menyandang gelar istri tanpa benar-benar punya suami di sisinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN