Dilema

1500 Kata
Erland berbaring di tempat tidur king size miliknya. Beberapa kali ia membolak-balikan tubuhnya, mencari posisi yang enak. Ia lapar, tapi enggan makan makanan rumah. Bundanya memasak makanan yang sengaja dihaluskan. Bubur buatannya pun benar-benar halus. Menjijikan. Memang itu anjuran dokter, tapi bagaimana mungkin makanan lembek itu sanggup ditelannya. Erland mengambil ponselnya, kemudian menulis sesuatu di sana. Erland : Kak Erland : Kak Hanaaa Erland : Kakkk bales anjir Hana : Apaan ? Erland : Laperr Hana : Ya makan, malah laporan Erland : Mau makan ini. Bawain ke rumah.  Hana : Astaga! Makan yang ada aja kenapa. Erland : Gue kasih hadiah deh kalo lo bawain itu ke rumah. Hana : Ogah! Takut digorok bokap lo. Kan lo gak boleh makan begituan. Erland : Kak lo baik deh Read Erland : Cantik lagi Read Erland : Lucu. Sayang Kak Hana ? Read Erland : Jangan diread doang kenapa, Kak. Astagaaaaaa Hana : Erland kamvrettt gue baper! Erland tergelak membaca pesan terakhir yang dikirim kakak kelasnya itu, namun detik berikutnya ia meringis memegangi perutnya yang sakit akibat tertawa terlalu keras. Hana : Kalo gue kesana nanti ditodong jadi mantu gimana? ? Erland : Pede lo, Kak. Gue mau lanjut tidur lagi yaak. Byee ? *** Sekesal apa pun, sebagai seorang sahabat, Hana berusaha selalu ada untuk Renata. Seperti hari ini, disaat hubungan Renata dengan Bagas kandas, Hana bersedia menjadi pelipur bagi sahabatnya itu. Sejak sore tadi Renata terus menangis sembari melontarkan makian untuk Bagas-yang sungguh tidak ada gunanya. "Udahlah, Ren. Sejak awal lo udah tahu konsekuensinya kalau pacaran sama Bagas. Dia itu emang makhluk paling b******k tahu nggak. Dia sama sekali nggak pantes ditangisin." Renata mengusap air matanya, "Gue jadi nyesel malah nyakitin Erland yang tulus sama gue, cuma demi Bagas yang bajingan." Deg Hana diam. Pernyataan itu seolah menghadirkan arti ganda. Setelah menyesal, bukan tidak mungkin Renata akan membiarkan Erland masuk ke dalam hatinya, dan itu artinya Hana harus pergi. Apa yang tumbuh di hatinya kini, sangat belum terlambat jika dihentikan. Anggap saja Erland adiknya-sebatas itu. "Dia orang yang paling polos dan tulus yang gue kenal, Ren. Jangan sakitin dia lagi. Dia serius soal ini pertama kalinya dia jatuh cinta, dan lo beruntung cinta itu buat lo," ujar Hana. Renata menatap sahabatnya kemudian mengangguk, "Gue tahu, tapi karena kemarin-kemarin gue terlalu percaya sama Bagas jadi gue menampik kalau ada orang yang benar-benar tulus cinta sama gue." "Lupain Bagas, oke? Lo pasti bisa dapetin yang lebih baik." Renata mengangguk. Dalam satu gerakan ia menghambur ke pelukan Hana, "Makasih, ya, Han. Lo emang sahabat gue. Sorry karena ketololan gue kemarin." "Lo nggak salah kok," Hana balas memeluk sahabatnya. Sebuah senyum mengembang, meskipun hatinya sekarang ketar-ketir karena takut jika pada akhirnya kedekatan Renata dan Erland, akan menjauhkan Erland darinya. Hana menggeleng, membuang jauh pikirannya. Apa pun yang terjadi nanti, setidaknya itu yang akan membuat Renata juga Erland bahagia, "jangan nangis lagi." *** Arlan melirik hitam yang melingkar di pergelangan tangannya. Sudah jam makan malam, tapi Erland tak terlihat turun dari kamar. Elena tengah menjemput Reina di kamarnya. Begitu melihat Elena kembali sembari menggendong putri kecilnya, Arlan angkat bicara, "Erland kok belum turun, El?" "Mau ayam, Bunda. Ayam... mau ayam," Reina menyela seraya bertepuk tangan kegirangan melihat beberapa potong ayam goreng yang sudah terhidang di meja makan. "Sebentar, ya, Nak," Elena menurunkan Reina, membiarkannya duduk manis di kursi. Elena melirik suaminya, "Erland belum turun? Aku lihat dulu deh, kayaknya ketiduran lagi," lanjutnya. Arlan hanya mengangguk. Ia bangkit dari duduknya, menghampiri Reina yang kesulitan mengambil ayam goreng, "Mau Ayah ambilin, Rei?" Reina menatap mata sang ayah lantas mengangguk semangat, "Mau. Dua, Yah. Eh... hmm tiga." "Jangan banyak-banyak, nanti perutnya gendut. Reina mau perutnya gendut kayak badut?" Gadis itu menggeleng kuat. Reina tahu seperti apa itu badut, dan Reina tidak ingin perutnya sampai menyerupai perut badut. Sementara Elena yang kini memasuki kamar Erland, dikejutkan dengan posisi tidur putranya. Mata Erland terpejam, mulutnya setengah terbuka, namun posisinya duduk bersandar pada kepala tempat tidur. Elena buru-buru mendekat, "Aa... " panggilnya. Erland membuka matanya perlahan, begitu merasa tidurnya diusik, "Bunda... " sahutnya dengan suara serak khas orang bangun tidur. "Aa kok tidurnya kayak gitu? Nanti badannya sakit." Erland diam tak menjawab, dan saat itu Elena sadar kalau Erland berusaha meraup udara sebanyak-banyaknya melalui mulut, itupun begitu kepayahan. "A? Sesak, ya?" tanya Elena. Erland mengangguk samar. Sebenarnya rasa sesak mulai dirasakannya sejak sore tadi, tapi Erland tidak bilang pada orang tuanya. "Sebentar, Bunda panggil Ayah dulu." Elena langsung bergegas turun untuk memanggil suaminya. *** "Lo t***l! Kenapa chat gue, pas gue lagi sama Renata?" sentak Bagas. Irene memutar bola matanya jengah. Ia memang sengaja melakukan hal itu. Lagi pula wanita mana yang benar-benar ikhlas diduakan? Tidak. Bagas miliknya. Hanya miliknya. "Heh jalang! Kenapa lo diam aja? Lo sengaja bikin gue sama Renata putus?" "Lo pikir gue nggak sakit selama ini selalu jadi nomor dua? Kita satu sekolah, tapi lo lebih sering sama Renata. Gue juga pacar lo Bagas! Dan satu lagi, jangan panggil gue jalang, karena gue menyerahkan semuanya cuma sama lo. Cuma buat lo!" Bagas tersenyum miring, "Lo pikir gue cinta sama lo? Salah lo kenapa mancing-mancing buat gue sentuh. Kucing gak dikasih ikan aja nafsu, apalagi sengaja dikasih. Makanya jadi cewek jangan terlalu murah!" Plakkk Irene melepaskan sebuah tamparan keras pada pipi laki-laki itu. Dengan lelehan air mata, ia mulai kembali berbicara, "Jaga mulut lo, ya. Gue nggak serendah yang lo pikir. Gue begini karena gue cinta sama lo. Mana gue tahu kalau ternyata lo sebangsat ini." Bagas mencengkram leher Irene, membuat nyali perempuan itu ciut seketika, "Kenapa kalau gue b******k? Lo mau apa kalau gue b*****t? Lo mau putus? Dengan senang hati. Mulai sekarang, KITA PUTUS!" Bagas melepas cengkramannya, menyambar kunci mobilnya kemudian berlalu meninggalkan Irene yang masih menangis. Irene benar-benar menyesal sekarang. Dengan dalih cinta, ia menyerahkan semuanya. Dan lihat apa yang terjadi? Setelah ia hancur, tidak akan ada yang mampu membantunya. Laki-laki yang ia cintai membuangnya begitu saja layaknya s****h. "GUE BENCI SAMA LO BAGAS!" *** Arlan membantu menegakkan tubuh Erland, sedangkan Elena memberikan air hangat untuk Erland minum. Erland diam saja ketika ayah bundanya memperlakukannya demikian, karena faktanya ia benar-benar lemas dan sesak. Arlan mengangkat t-shirt yang dikenakan putranya, kemudian membalurkan minyak kayu putih di bagian punggung juga d**a. Setelah selesai, ia menutupnya kembali, lantas menaruh WWZak atau botol karet yang berisi air panas untuk menghangatkan d**a Erland. Itulah pertolongan kecil yang mungkin dilakukannya di rumah ketika Erland mendapat serangan. "Napas pelan-pelan, A. Coba dari hidung," tutur Elena sembari mengusap penuh sayang rambut Erland. Erland mengikuti instruksi bundanya. Diliriknya sang bunda yang nampak begitu cemas, "Sa... kit, Bunda," lirihnya. Elena tak kuasa menahan laju air matanya. Meskipun Erland sudah duduk di kelas satu SMA, tetap saja seorang anak empat belas tahun yang masih butuh perhatian penuh dari orang tuanya. Elena mengecup singkat dahi Erland yang terasa panas, "Aa makan, ya, sekarang? Biar nggak sakit." Erland menggeleng. "Kalau nggak mau makan, Ayah terpaksa bawa kamu ke rumah sakit, A." Semenjak Erland dinyatakan sakit, Arlan memang lebih hati-hati memberikan asupan makanan pada putranya. Setiap pagi, Arlan menyiapkan bubur untuk Erland. Arlan memberikan makanan yang halus, agar kerja lambung Erland tidak terlalu berat. "Pahit, Yah." Mulut terasa pahit atau asam, normal terjadi ketika asam lambung naik. Dan Arlan paham betul akan hal itu, "Kita makan sama-sama. Ayah bakal makan apa yang Aa makan. Gimana? Deal?" Bocah laki-laki itu tetap menggeleng. Arlan menghela napas panjang, "Kalau Aa gak makan, Ayah juga gak makan." Pernyataan ayahnya barusan cukup menampar Erland. Ia tidak mungkin membuat ayahnya ikut tidak makan, "Aku mau makan. Hhhh... " Elena mengusap air matanya, lalu tersenyum. Bukan Arlan namanya jika tidak bisa membuat putranya menurut. Senyum Elena memudar, berganti pelototan kaget saat mendapati Reina sudah berdiri di ambang pintu dengan wajah belepotan noda kecap. Reina jika makan memang tak bisa lepas dari kecap. Ayam goreng dan kecap. Menu yang harus selalu ada, "Yaallah, Reina!" Arlan dan Erland sontak menoleh. Reina menjilati jari-jari mungilnya, sedangkan tangan satunya masih memegang satu paha ayam, "Aa mau ayam goleng?" Elena mengusap wajahnya kasar, "Benar-benar anak ajaib," katanya seraya bangkit, hendak membawa Reina keluar dan mengganti pakaian gadis kecil itu. "Ihh... Bunda, Aa mau ayam goleng. Leina mau kasih gak boleh," Reina berceloteh tak suka karena ia digendong paksa keluar dari kamar sang kakak. Arlan hanya cekikikan, lantas kembali memfokuskan dirinya pada Erland, "Ayah mau bawa makanan, ya. Aa jangan dulu tidur." *** Hana mendadak cemas karena pesannya tak juga dibalas oleh Erland, padahal Hana memberikan kabar bahagia pada laki-laki itu. Hana : Erlaaaannnd, Bagas sama Rena putus. Kalau mau PDKT, ini waktu yang tepat. "Kenapa gak dibales, ya?" Hana melempar ponselnya sembarang. Ah... ini aneh. Mengapa bisa ia sebegitu cemasnya pada Erland? Bukan cemas pada Erland, tapi cemas akan hubungannya dengan Erland. Apa harus benar-benar selesai, bahkan sebelum sempat mereka memulai semuanya. Tak bisa dipungkiri... Hana memang terlanjur berharap, tapi ia tidak mungkin membuat persahabatannya dengan Renata hancur hanya karena Erland. Bagaimanapun Renata yang lebih dulu mengenal Erland, dan Erland pun telah menaruh hati pada Renata, bukan padanya. Bersambung...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN