Chapter 5 : Kecewa

1248 Kata
Mirna Pak, tolong buka i********: lambelambean sekarang. Alis tebal Arlan bertautan membaca pesan dari sekretarisnya. Konyol, pikirnya. Sekarang Arlan tengah cemas setengah mati karena sudah selarut ini Erland belum juga pulang, sementara Mirna malah menyuruhnya membuka salah satu akun gosip di i********:. Mirna Saya enggak lagi bercanda, Pak. Atau mau saya kirim videonya? Enggan menunggu lama, pria bermata cokelat itu akhirnya membuka akun tersebut. Sekilas tidak ada yang aneh. Bahkan, Arlan tidak berpikir buruk untuk caption yang tertulis. Namun, ia terkejut begitu melihat slide kedua dalam postingan tersebut, ditambah beberapa komentar dari netizen. Dalam video itu tampak bahwa putranya dalam keadaan mabuk. "Ayah itu parah. Dia enggak pernah kasih kebebasan untuk melakukan apa yang gue mau. Suruh makan sehat, sakit sedikit ke rumah sakit, kayak gue itu bakal mati besok. Gue minta motor malah dikasih sepeda. Kurang lawak apa? Makanya, sekali-kali gue pengin hidup tanpa Ayah." Setelahnya anak itu tertawa. Sejurus kemudian tawa yang tak kalah keras juga keramaian turut terdengar. Arlan meremat d**a, lalu menyimpan kembali ponselnya. Ia tidak peduli sesakit apa hatinya karena apa yang Erland katakan dalam video tersebut. Rasa cemasnya jauh lebih kentara. Terlebih Arlan tahu kalau sekarang putranya di bawah pengaruh alkohol. Padahal, Erland sama sekali tidak boleh menyentuh minuman itu. Jika Erland adalah Arlan, mungkin saat itu juga hanya tinggal nama. Habis di tangan Devan. "Lan, Erland belum kelihatan?" "Belum. Kamu tahu rumah temannya? Aku mau ke sana." "Yang sering disebut, sih, Alvin. Tapi, aku enggak tahu di mana rumahnya." "Ya udah, aku cari aja. Barangkali ada di lapangan futsal sekitar sini." Elena menangkap keanehan dalam diri Arlan. Sang suami tampak berwajah mendung, seperti tengah sedih. "Lan, kamu enggak apa-apa?" tanyanya kemudian. "Enggak kok." "Kamu boleh membohongi siapa pun di luar sana, tapi jangan aku. Itu enggak akan berhasil. Udah belasan tahun kita sama-sama, Lan." Pria itu memaksakan seulas senyum. "Apa caraku mendidik Erland salah, El?" Elena menangkup wajah sang suami. "Kenapa? Dia bikin masalah? Enggak ada yang salah dari cara kamu mendidik dia, tapi Erland belum cukup dewasa untuk menangkap maksudnya. Aku tahu kamu ingin yang terbaik. Aku tahu kamu punya banyak ketakutan." "Aku cuma enggak mau kehilangan dia." "Aku tahu, Sayang. Kenapa? Erland melakukan apa?" Arlan mengambil ponselnya, membuka akun i********: tadi, lalu menyerahkannya pada Elena. Wajah Elena pun tak kalah keruh setelah melihat video tersebut. Elena bahkan menangis, memikirkan betapa sakit hati Arlan sekarang. Suaminya benar-benar dipermalukan di depan khalayak ramai. "Lan," panggilnya. Suara perempuan itu tercekat, sarat akan rasa sesak. "Hei, jangan nangis. Aku enggak apa-apa. Aku cuma berharap, Erland akan benar-benar bahagia kalau hidup tanpa aku." "Lan, bilang apa sih?" Tangis perempuan itu semakin keras. Ia mendongak menatap dalam mata bening sang suami. Tangannya bergerak mencengkeram ujung kaos Arlan. "Aku enggak suka kamu bilang kayak gitu. Enggak ada satu anak pun yang akan baik-baik aja hidup tanpa sosok ayah. Dalam keluarga, ibu itu penghangat dan ayah penguat. Kalau kehilangan salah satunya, bisa kamu bayangkan bagaimana hancurnya dia?" "Dia bisa, aku yakin." "Lan." Lelaki itu mencium puncak kepala sang istri, tersenyum, lantas berkata, "Aku cari Erland dulu, ya. Lebih baik kamu masuk. Takut Reina bangun terus nyariin kamu." *** Sekitar pukul 02.00 dini hari, Arlan langsung membawa putra kesayangannya ke rumah sakit karena Erland ditemukan tidak sadarkan diri tak jauh dari lapangan futsal tempat mereka bermain sebelumnya. Arlan bersumpah akan memberi teguran keras pada siapa pun yang sudah memperlakukan putranya seperti ini. "Dok, tolong anak saya." Sang dokter yang tampak berwajah keruh itu hanya mengangguk sebagai jawaban, kemudian melontarkan beberapa pertanyaan, terutama ihwal riwayat penyakit yang diderita pasien. Mudah saja bagi Arlan menjawab semua pertanyaan dokter, meski beda penyebabnya, tetapi kondisi seperti ini bukan kali pertama terjadi. Ponselnya berdering. Arlan memilih menjauhkan diri sejenak, dan membiarkan dokter memberi pertolongan. Nama sang istri terpampang di layar ponselnya. Sekarang, bagaimana ia menjelaskan? Elena pasti sangat cemas. "Halo. Assalamu'alaikum." "Halo, Lan. Wa'alaikumsalam. Erland udah ketemu? Sekarang udah hampir pagi lho, kenapa kalian belum pulang? Kalian di mana?" "Erland di rumah sakit. Jangan khawatir, dia lagi ditangani dokter. Lebih baik sekarang kamu istirahat sama Reina. Besok baru ke sini." "Tapi, Lan. Aku mau ke--" "Jangan keras kepala, El." Meski diucapkan dengan intonasi biasa, tetapi diamnya Elena di seberang sana cukup kembuat Arlan yakin kalau sang istri tengah ketakutan. "Maaf," sesalnya. "Kamu hati-hati di sana. Titip Erland. Besok pagi aku langsung ke sana." "Iya. Aku tutup dulu, ya, El. Assalamu'alaikum." "Wa'alaikumsalam." Pria itu kembali menghampiri putranya usai dokter melakukan tindakan. Meski tidak tahu apakah Erland sudah membaik atau belum, tetapi Arlan yakin dokter sudah mengupayakan yang terbaik. Arlan menghela napas, lantas mengusap pelan puncak kepala Erland. Anak itu sama sekali tak terusik dengan pergerakannya. "Ayah sayang sama kamu, A. Kenapa sih harus sampai sejauh ini?" Sejak kejadian hari itu, Arlan memang berusaha memberikan perhatian penuh pada putranya. Tidak disangka kalau Erland justru menganggap itu bentuk sebuah kekangan. Padahal, tak sedikit pun Arlan berniat demikian. Arlan hanya punya banyak ketakutan. Di masa remajanya ia sudah terlalu banyak mencecap kehilangan, jadi Arlan berusaha keras menjaga semua yang dimilikinya sekarang. Seandainya ada yang harus hilang pun, Arlan lebih rela kalau itu dirinya. "Cepat sehat, Nak. Ayah sayang kamu." *** Erland mengerjap beberapa kali saat sang baskara menampakkan sinar kegagahannya. Pemuda itu mengerang kecil merasakan sensasi pening di kepalanya. Erland terkejut karena begitu membuka mata, ia sudah berada di ruang perawatan lengkap dengan infus di tangan. Sang bunda terlihat sedang mengobrol dengan dokter, sebelum akhirnya berbalik seraya menanyakan keadaannya. "Udah bangun, A? Ada yang sakit?" Anak itu belum mau menjawab, masih bingung kenapa bisa berakhir di tempat ini. Seolah menangkap kebingungan dalam raut wajah putranya, Elena berusaha memberi penjelasan. "Kamu enggak ingat apa yang terjadi semalam, hm?" Erland menggeleng. "Kamu mabuk, A. Dan lihat ini," kata Elena sembari merogoh ponsel dalam tasnya. Ia membuka akin i********:, lantas memperlihatkan apa yang dilihatnya semalam. "Ini yang kamu lakukan semalam." "Bun ... ini ... ini kenapa bisa?" "Harusnya Bunda yang tanya, kenapa bisa seperti ini, A? Kamu tahu? Ayah pasti terluka karena apa yang kamu ucapkan. Yang paling mengecewakan, kamu mencederai kepercayaan kami. Susah payah Bunda membujuk Ayah untuk membiarkan kamu sekolah formal seperti anak lain, tapi apa yang kamu lakukan? Baru masuk kamu udah berbuat sejauh ini. Kamu mempermalukan Ayah." Bagas s****n! Erland memang tidak mengingat semuanya, tetapi ia tahu Bagas melakukan sesuatu padanya semalam. Buktinya dalam video tersebut Erland seperti orang mabuk. Percuma menjelaskan, permasalahan akan meruncing jika ia mengadukan semua yang dilakukan kakak kelasnya. "Ayah mana, Bun?" "Ayah ke kantor. Ayah marah banget bukan karena dia dipermalukan, tapi karena orang itu membiarkan kamu tergeletak sendiri di dekat lapangan futsal. Kalau Ayah enggak nyari kamu ke sana, Bunda enggak tahu apa yang bakal terjadi sama kamu." "Bunda, aku minta maaf." "Jangan minta maaf sama Bunda. Yang paling sakit hatinya itu Ayah. Apalagi kamu sampai bilang ingin hidup tanpa Ayah. Hati-hati kalau bicara, A. Kalau doa kamu didengar, kamu juga yang akan menyesal." Elena tak lagi bersuara, sibuk meredam kesedihannya. Sebagai saksi bagaimana kerasnya masa kecil Arlan, ia tidak suka suaminya disakiti lagi, oleh Erland sekalipun. Erland tidak pernah tahu apa yang melatarbelakangi sikap sang ayah yang demikian, tetapi tidak seharusnya berpikiran sejauh itu. "Nanti aku minta maaf sama Ayah." "Ini peringatan keras dari Bunda, A. Bunda sayang sama kamu, tapi kalau kamu buat Ayah sakit lagi, Bunda juga bisa marah." Erland benar-benar kehabisan kata. Kesalahannya kali ini sudah di luar batas. Padahal, sejak awal sang ayah sudah memberi ultimatum untuk tidak melakukan hal-hal merugikan seperti itu. Sekarang Erland mengerti, ternyata berusaha terlihat dewasa itu tidak selalu menyenangkan. |Bersambung|
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN