Sekilas Tentangnya

1219 Kata
"Pak, sepertinya hari ini Bapak terlihat kurang sehat. Apa tidak sebaiknya Bapak pulang untuk beristirahat?" Arlan tak terusik sama sekali dengan ucapan sang sekretaris. Pikirannya penuh. Semua kenangan yang terekam dan selama beberapa tahun tersimpan rapat, seolah kembali berhamburan, memunculkan rasa sakit yang sama. Padahal, sedemikian sulit untuk Arlan membujuk otaknya agar mau melupa. Erland berhasil membuat luka itu kembali menganga. Apalagi, seharian ini orang kantor pun saling berbisik membicarakan apa yang dilakukan putranya. Mirna semakin panik melihat gerak-gerik Arlan yang mencurigakan. Tubuh pria itu bersiram peluh, matanya pun bergerak-gerak gelisah, sementara diajak bicara pun masih tak memberi tanggapan. "Astagfirullah," ucap Arlan. Tangannya bergerak mencengkeram area belakang kepala yang mendadak terasa sakit. Bersamaan dengan itu, kilas balik pahit masa kecilnya kembali berputar. Tentang bagaimana Arlan kecil ditinggalkan, bergulat dengan rasa sakit, pengorbanan Arkan, sang nenek, usaha keras orang tuanya bahkan Elena bergulir otomatis. Tawa Arkan hingga detik saudara kembarnya menutup mata pun seolah berebut ambil bagian. "Pak? Bapak baik-baik aja?" Masih tak terdengar jawaban. Mirna menggigit bibir melihat wajah bule Arlan yang semakin memias. "Pak, dengar saya?" Hingga detik berikutnya tubuh pria itu limbung membentur lantai. Kesadaran Arlan bak terhisap sepenuhnya. Suara Mirna yang semula terdengar samar, tak lagi terjamah oleh indra pendengarannya. Membiarkan gelap yang mendominasi pandangan si pemilik netra cokelat itu membawanya semakin tenggelam. "Pak Arlan!" Perempuan itu berusaha membawa kesadaran Arlan kembali dengan mengguncang tubuhnya. Sesekali memberi tepukan pelan di pipi sang atasan. Namun, karena usahanya tak kunjung membuahkan hasil, Mirna langsung berlari ke luar ruangan meminta pertolongan. *** Elena sebenarnya tidak setuju Erland meminta dipulangkan siang ini. Memang sudah tampak lebih baik, tapi ia tetap merasa tidak tenang jika Erland belum melakukan pemeriksaan penunjang yang bisa membuatnya yakin anak itu baik-baik saja. "Kamu mau ke kamar apa rebahan di sini dulu, A?" "Di sini dulu aja, Bun. Sakit jalan ke atasnya." Perempuan itu menghela napas, lalu membantu putra kesayangannya berbaring di sofa. Di satu sisi Elena masih merasa kesal, tetapi di sisi lain ia juga tidak tega jika Erland sudah berakhir seperti ini. "Kamu tuh jangan bandel kenapa sih, A? Ngeyel banget kalau dibilangin sama orang tua. Ayah sama Bunda melarang kamu ini itu bukan tanpa alasan, kami mengupayakan yang terbaik buat kamu. Tahu, kan, badannya udah enggak sesehat dulu?" "Kalau hari itu aku enggak nakal dan mau nunggu Ayah, semua enggak akan begini, ya, Bun?" Sejujurnya Elena tidak berniat mengingatkan dan membuat putranya sedih. Hanya saja, sesekali Erland perlu diajak kembali ke masa itu agar bisa belajar dan mengerti hukum sebab akibat. Elena tahu, pemikiran Erland sedang lincah-lincahnya. Penasaran pada banyak hal. Tapi, tidak semua harus dicoba, cukup dengan sekadar mengetahuinya saja. Kecelakaan saat itu membuat Erland harus rela hidup hanya dengan seperempat bagian lambung dalam tubuhnya. Putranya sempat marah dan melakukan protes keras karena tidak bisa lagi makan dengan normal seperti anak-anak lainnya. Bobot tubuh pun merosot jauh. Arlan dan Elena stres bukan main menyaksikan hal itu, tetapi dokter berusaha menenangkan dengan mengatakan kondisi Erland akan membaik secara berangsur-angsur, meskipun tetap tidak bisa senormal sebelumnya. Awal-awal pasca operasi, Erland hanya bisa menelan satu sampai tiga sendok makanan saja—dengan ragam pantangan. Mungkin itu yang membuat Erland jengkel dan selalu uring-uringan. Dokter juga mengatakan, meskipun tubuh telah benar-benar beradaptasi dengan kondisi baru, maksimal Erland hanya bisa menyantap tiga perempat porsi makanan dari porsi biasa. "Semua udah terjadi, A. Mulai sekarang, kamu cuma harus hati-hati. Dengar kalau orang tua ngomong. Dan satu lagi, jangan pernah bikin Ayah sakit. Kasihan Ayah, Nak. Kehidupan kamu sekarang jauh lebih beruntung dari Ayah dulu." Erland tertegun cukup lama. Sang bunda sering sekali menyuarakan kalimat yang sama, seolah kehidupan ayahnya dulu benar-benar pahit. Kenapa Erland yang bahkan kehilangan organ masih tidak lebih buruk dibanding apa yang dialami ayahnya dulu? Separah itukah? "Bunda!" Teriakan melengking itu berhasil membuyarkan pembicaraan serius keduanya. Elena menoleh, tersenyum menyambut kehadiran putri kecilnya. "Sayang, ya ampun baru mau Bunda jemput." "Ugi nakal, Bunda," adunya, "cubit-cubit." "El, maaf aku langsung masuk. Tadi Reina berantem sama Nugi. Jadi, Nugi aku titip sama Mbak, terus Reina aku bawa ke sini. Ternyata kamu udah pulang." "Enggak apa-apa, Hilya. Aku justru mau bilang makasih karena kamu mau aku repotin buat jagain Reina. Tadinya mau ke sana, tapi aku khawatir tinggalin dia sendiri," ujar Elena sembari melirik Erland dengan ekor matanya. "A Erland kok udah pulang? Udah dibolehin emang?" "Kayak enggak tahu dia aja." Elena yang menjawab. Hilya hanya terkekeh. "Aa sakit, Bun?" Reina bertanya. Bocah kecil itu duduk bertopang dagu memandangi sang kakak dengan kaki menggantung di sofa karena Reina memang belum cukup tinggi. "Iya. Rei juga jangan nakal, ya? Nanti sakit kayak Aa." Mata bulatnya mengerjap lucu, lalu anak itu mengangguk beberapa kali seolah mengerti. "Kalau gitu aku pulang dulu, ya, El. Kasihan Mbak, Nuginya lagi rewel baget. Semua orang diajakin berantem." "Iya, sekali lagi makasih banyak, ya, Hilya. Maaf bikin repot." "Enggak apa-apa kok. Santai aja." Selepas kepergian Hilya, Elena memusatkan perhatiannya pada Erland juga Reina. Erland tampak memejamkan mata, sementara Reina hanya mengamati dalam diam. Bibir bocah kecil itu melengkung ke bawah, terlihat sedih entah kenapa. "Sayang, kok mukanya ditekuk gitu. Kenapa?" "Aa sakit, Bun? Suka malah-malah sih. Galak. Jadi, sakit. Enggak boleh nakal bial enggak sakit, ya, Bun?" "Reina pintar. Iya, enggak boleh nakal kalau enggak mau sakit." Elena menimpali. "Oh iya, mana yang dicubit Ugi? Sini Bunda lihat." Dengan semangat Reina menunjukkan tangan mungilnya yang kemerahan karena dicubit Nugi. Mereka memang seumuran. Kalau tidak Reina yang usil, pasti Nugi yang gantian menjahili. Melihat Erland sudah jauh terlelap, Elena membawa Reina sedikit menjauh agar Erland tidak terganggu dan cukup istirahat. *** "Bilangin sama cowok lo itu, jangan barbar jadi orang. Keterlaluan tahu enggak. Teman gue sampai kayak gitu." Renata mengerjap beberapa kali, masih berusaha menguasai diri. Barbar bagaimana maksudnya? Kenapa lelaki putih bermata minimalis itu tiba-tiba memarahinya? "Kita, kan, bisa ngobrol baik-baik. Kenapa nyolot gitu, sih?" Hana balas marah atas apa yang dilakukan pemuda di hadapannya. "Kalian benar-benar enggak tahu atau emang enggak mau tahu? Kemarin setelah futsal, Erland diajak pergi sama cowok lo, Kak. Dan lo tahu apa yang terjadi sama dia? Erland sampai masuk rumah sakit dan itu gara-gara Bagas!" Ah, Erland. Sekarang Renata mengerti arah pembicaraan mereka. "Emang Bagas ngapain? Kenapa Erland bisa masuk rumah sakit?" Alvin merogoh ponselnya, membuka galeri, lantas memperlihatkan video yang diunduhmya semalam. "Ini. Dia bikin teman gue mabuk dan mempermalukan orang tuanya. Ini udah benar-benar di luar batas. Enggak cuma Erland dan orang tuanya, nama baik sekolah ini juga jadi jelek." Hana merapat, ikut menonton video dalam ponsel pemuda bernama Alvin. "Lo enggak punya bukti kalau Bagas yang melalukan ini." Renata masih berusaha membela sang kekasih. "Gue emang enggak punya bukti langsung, tapi gue yakin emang dia orangnya. Gue akui, Erland salah gangguin cewek yang udah punya cowok. Tapi, kalau Bagas beneran cowok, harusnya dia juga memilih cara lebih dewasa buat minta teman gue berhenti gangguin lo." "Gue minta maaf atas nama Bagas." "Lo salah orang. Minta maaf sama Erland langsung," pungkas Alvin sambil lalu. Ia tidak suka temannya dipermainkan seperti itu. Sejak semalam Alvin ingin sekali menemui Erland, tetapi sang ayah ada di rumah. Sangat tidak mungkin untuknya keluar malam di saat ayahnya ada. Alvin berani melawan siapa pun yang mengganggu orang terdekatnya, kecuali satu, sang ayah. Renata tak tinggal diam. Ia langsung bergegas mencari keberadaan kekasihnya. Bagas harus diberi pelajaran agar tidak bertindak melewati batas. |Bersambung|
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN