Chapter 7 : Ambisi

1371 Kata
Begitu sampai ke rumah, Renata sudah melihat Bagas di sana tengah mengobrol dengan ibundanya. Hari ini Renata ingin menanyakan sesuatu. Erland memang bilang kalau alasannya tidak sekolah hanya karena sakit maagnya kambuh. Renata percaya? Tentu saja tidak. Ayolah laki-laki selemah apa yang sampai tidak sekolah hanya karena sakit maag. Luka-luka di wajah Erland pun seolah jadi penegas bahwa sesuatu terjadi antara Erland dan Bagas. Renata tidak membahas itu di depan Erland, ia lebih tertarik mendengar penjelasan kekasihnya. "Aku mau bicara sama kamu." Sang mama menegur Renata, "Kalau pulang itu salam dulu sayang." "Maaf, Ma," sesal Renata sembari mencium punggung tangan mamanya. Setelah itu ia menyeret Bagas ke luar, mengajaknya bicara di halaman belakang. "Ada apa, sih, Yang?" tanya Bagas. "Aku mau kamu jawab jujur. Kamu sebenarnya apain Erland?" Bagas mengernyit, "Lah, emang kenapa? Dia ngadu macem-macem sama kamu?" "Muka dia bonyok, dan kebetulan pulang sekolah kalian kemarin ketemuan 'kan?" "Aku nggak homo. Mana mungkin ketemuan sama laki!" sambar Bagas dengan raut pura-pura marah. "Aku serius!" "Oke-oke! Aku kasih dia pelajaran supaya nggak deket-deket sama kamu lagi." "Astaga Bagas! Harus banget, ya, kamu main k*******n gitu? Sumpah aku nggak suka! Kalau kamu nggak mau aku berpaling, atau dia ngerebut aku, kamu tunjukin kalau kamu emang pantes buat aku. Sekali lagi aku tekanin, aku nggak suka sama k*******n!" ujar Renata panjang lebar, dan langsung meninggalkan kekasihnya. Bagas tak henti melontarkan sumpah serapah pada Erland. Baru sehari bocah laki-laki itu bersekolah, sudah membuat hubungannya dengan Renata terancam. *** Makan malam kali ini lebih ramai dari biasanya karena kehadiran Devan dan Inka. Reina, cucu mereka sejak sore tadi tidak mau lepas, dan terus berceloteh tentang ini itu. Arlan dan Erland sendiri masih nampak saling diam, belum berani saling menegur. "Lan, gimana sudah baikan?" Devan memecah keheningan. Arlan dan Erland kontan menghentikan kegiatannya, dan menoleh ke arah Devan secara bersamaan. Pertanyaan itu entah ditujukan pada Arlan atau justru Erland, karena keduanya pun merasa sedang tidak enak badan. Devan terkekeh melihat kebingungan keduanya, "Arlan maksudnya." "Aku nggak apa-apa, Yah. Cuma kurang tidur, jadinya pusing." "Memang semalam kamu ngapain, kok bisa sampai kurang tidur? Ayah sudah bilang jangan bekerja terlalu keras, kalau memang sudah waktunya Reina pasti dapat Adek." "Uhukk... Uhukk," tak hanya Arlan yang tersedak, Elena pun sama. "Bercanda," sebelum diomeli Inka, Devan buru-buru meralat pernyataannya tadi. "Oma, Adek itu beli di mana? Leina mau punya Adek. Empat boleh?" "Uhukk... " kali ini Erland yang tersedak. Reina saja sudah sangat merepotkan, dan barusan gadis kecil itu bilang ingin memiliki empat adik? Ah ayolah, mempunyai empat adik itu tidak seperti memelihara kecebong. Percayalah, empat anak manusia pasti merepotkan. Elena menyerahkan segelas air pada putra sulungnya. "A, gimana hari pertama sekolah? Kok hari pertama udah babak belur." "Dijahilin temennya, Yah, tapi udah aku urus," sebelum Erland menjawab, Arlan lebih dulu menjawabnya. Ia tidak ingin putranya disudutkan. Tepian piring Erland penuh dengan sayuran. Ia hanya memakan ayam goreng serta sengaja menyisihkan sayurannya. Erland ingin melihat reaksi sang ayah. Ah... tidak terdengar teguran seperti biasa. Apa ayahnya masih sangat marah? Mengingat hal itu, membuat perutnya seolah terasa penuh. Erland mendorong piringnya, menimbulkan suara yang membuat semua keluarganya menoleh. "Aku selesai," kata Erland pelan. Melihat nasi di piring Erland yang masih sangat banyak, Arlan bersuara, "Tahu nggak, A, kalau di luar sana ada yang bahkan nggak bisa makan. Jangankan lauk pauk yang sehat dan enak, nasi pun kadang hanya bisa mereka lihat di warung-warung pinggir jalan tanpa bisa mereka santap. Bisa sedikit lebih bersyukur? Bisa hargain apa yang udah Allah kasih buat kamu?" cecar Arlan tanpa menghentikan kegiatan makannya. Devan tersenyum. Ia suka melihat Arlan tegas dalam bersikap. Inka beranjak dari duduknya. Ia lantas menghampiri Erland yang kini duduk tertunduk tanpa bergerak sedikit pun, "Kita makan di ruang tamu, yuk, Nak. Oma suapin." Erland bangkit dari duduknya, dan menjauh dari meja makan. Inka buru-buru mengambil piring Erland, "Lan, jangan terlalu keras. Kasihan anakmu." "Jangan terlalu dimanjain, Bunda." Inka tidak menggubris ucapan putranya. Jujur saja melihat Erland ngambekan seperti itu mengingatkan Inka pada Gibran juga Arkan. Keduanya sama-sama manja dan tukang ngambek, dan diantara ketiga putranya memang Arlanlah yang paling dewasa dan jarang sekali bersikap manja. "A, ayo makan lagi, sayang," bujuk Inka. "Kenyang Oma." Inka menggeleng, "Nanti perutnya sakit kalau Aa nggak makan. Oma sedih lho, kalau Aa sampai sakit." Dengan sangat terpaksa Erland membuka mulutnya, dan membiarkan sang oma menyuapinya. Erland mendongak menatap sang oma, "Oma, apa Ayah benci sama aku?" Inka menyambar cepat, "Ayah sangat sayang sama kamu, A." "Kalau sayang kenapa marah? Kalau sayang harusnya nggak pernah marah." "Tidak seperti itu, A. Ada kalanya orang tua akan marah kalau anaknya berbuat salah. Karena apa? Karena mereka ingin yang terbaik demi anak-anaknya. Benar disayang, salah ditegur, begitulah tugas orang tua." "Kalau aku minta maaf, apa Ayah mau maafin, Oma?" "Pasti." Erland tersenyum. Ia bertekad untuk meminta maaf sebelum tidur nanti. *** Ruangan berukuran besar itu menjadi saksi keheningan antara Arlan dan Erland. Arlan duduk di tempat tidur king size miliknya, sedangkan Erland berdiri dengan kepala tertunduk di hadapannya. "Ada apa, A?" Arlan mengalah, ia yang lebih dulu bersuara. "Aku mau minta maaf, Yah." "Untuk?" "Semalam." "Lalu?" "Aku minta maaf kalau udah bikin Ayah marah. Maaf udah bikin Ayah kecewa. Harusnya aku nggak ngelakuin hal bodoh itu," sesal Erland. "Asal kamu janji nggak ulang itu lagi." Erland mengangguk cepat, "Oh iya. Kata Bunda aku juga udah nyakitin Ayah pas mabuk itu, aku juga minta maaf, ya, Yah." "Ayah udah maafin kamu, jauh sebelum kamu minta maaf. Ayah juga minta maaf kalau ruang gerak kamu terbatas karena Ayah terlalu mengekang kamu. Mulai sekarang Ay... " Belum sempat sang ayah menyelesaikan kalimatnya, Erland buru-buru menyela, "jangan! Aku lebih suka Ayah bawel nggak boleh ini itu daripada Ayah diemin." Arlan menarik sudut bibirnya membentuk lengkungan senyum, "Ayah sayang sama kamu, A. Ayah nggak mau sesuatu yang buruk terjadi sama kamu, jadi maaf kalau Ayah terlalu over sama kamu." "Iya, Yah, nggak apa-apa." *** "Reina bobo, oh Reina bobo. Kalau tidak bobo digigit nyamuk," Elena bersenandung sembari berbaring di samping putri kecilnya, tapi mata Reina masih nampak enggan tertutup. "Rei, bobo dong. Udah malem." Reina melipat tangannya di d**a, "Nggak mau. Nanti Bunda pelgi ke kamal Ayah." "Kan Bunda juga ngantuk, Nak." "Bunda sini. Nggak boleh sama Ayah. Ayah banyak kutunya." Elena terkekeh mengingat kebohongannya tempo hari tentang kutu, "Ayah nggak ada kutunya, Rei. Ayah bersih, dan wangi." "Aa yang bau." "Reina yang bau. Bau asem," "Udah mandi, Bunda!" "Yaudah, ayo Reina bobo." Perlahan gadis kecil itu memejamkan matanya. Awalnya Reina terlihat sesekali mengerjap— tanda belum benar-benar tidur, tapi akhirnya ia benar-benar terlelap. Tadi ia memang membiarkan Arlan dan Erland untuk bicara empat mata. Benar-benar sulit mengurusi orang-orang dengan kepribadian berbeda, Arlan si kalem yang tegas, sedangkan Erland si bawel dan manja. Ini tak jauh berbeda ketika Elena harus berhadapan dengan Arlan juga Arkan. *** Erland baru saja hendak menutup mata, namun tiba-tiba ponselnya berdering. Ada notofikasi masuk, seseorang baru saja menambahkannya sebagai teman. Erland menyipitkan matanya. Renata. Gadis itu menambahkannya sebagai teman? Renata : Erland, gue minta maaf atas kelakuan cowok gue. Gue nggak tahu dia bakal bikin lo sampai kayak gitu. Erland : Udh tau, y? ? Demi lo, nggak apa-apa deh bonyok tiap hari ? Renata : Bocah gemblung! Erland : Gue udah suka sama lo dari pas pertama kita ketemu. Lo sangat lembut pas gue sakit, kenapa sekarang jadi galak ? Renata : Gue cuma berusaha profesional sebagai anak PMR. Lo bayangin aja gimana jadinya kalau orang sakit digalakin, sembuh kagak mati iya. Erland : Tapi buat gue beda. Itu yang bikin gue jatuh cinta. Renata : Lo jangan batu. Gue sama Bagas pacaran udah lama. Erland : Lalu? Renata : Ya, nggak adil rasanya kalau lo orang baru tiba-tiba ancurin hubungan gue sama Bagas. Erland : Gue bakal buktiin kalau gue pantas buat lo. Erland mengirim sebuah foto pada gadis itu. Foto yang hanya memperlihatkan mata coklatnya. Tajam, dan menunjukan keseriusan. Erland : Ini pertama kalinya gue jatuh cinta, jadi jangan bikin gue sakit. Read Erland menghela napas berat ketika Renata hanya membaca pesannya tanpa membalas. Erland tahu di sini ia bersalah, tapi Bagas benar-benar tidak pantas untuk Renata. Satu-satunya yang pantas hanya Erland. Hanya Erland. Lambat laun kantuk mulai menguasainya, hingga tak berselang lama ia benar-benar terlelap. Bersambung...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN