The.Vi - 7

1407 Kata
Theo yang terbiasa tidur di rumah Vivi kini harus pulang kerumah mewahnya. Ia terus berdecak kesal, karena semenjak ia tak menemukan Vivi di asrama, ponsel cewek itu tidak dapat dihubungi. Mobil Theo sudah masuk ke garasi, ia berjalan malas masuk kedalam rumah. Seorang kepala asisten rumah bernama Pak Tommy menyapanya. "Selamat datang, Tuan Muda." "Hmmm," jawab Theo malas. Theo berjalan masuk kedalam rumah lalu menuju kamarnya yang berada dilantai dua. Baru saja ia akan membuka pintu, suara ibunya terdengar memanggil. "Theo? Tumben pulang, Sayang?" "Theo lagi males, mama bisa bilangin ke semuanya buat gak ganggu Theo dulu." "Hmm, lagi marahan sama Viana?" Theo yang terkejut ibunya menyebut nama Viana langsung bertanya. "Mama tau nama Viana darimana?" "Meski mama sibuk, tapi mama gak pernah lupa buat perhatiin anak-anak mama,"jelasnya Wanita yang masih terlihat muda itu bernama Aqila Sanchez, ia adalah ibu kandung dari Matheo. Wanita berdarah Amerika dengan tubuh langsing dan memiliki tinggi kisaran 170cm itu sangat menyayangi Matheo melebihi apapun. Ya, meski anaknya tak hanya Theo. Bisnis yang dijalankan oleh Aqila Sanchez bergerak dibidang apartemen elite di kota Surabaya dan juga Tokyo, Jepang. Tak heran jika wanita itu jarang berada dirumah karena urusan bisnisnya. "Saran mama, jangan terlalu posesif sama Viana. Imut dan cantik, mama suka. Jangan sampai kendor ya, Sayang. Ajak main kesini kalo mama dirumah!" ujar Aqila yang akhirnya melangkah pergi dari hadapan Theo. Theo masih berdiri didepan pintu, ia masih menelaah mengenai ucapan mamanya. Kling Dering ponsel Theo membuatnya tersadar, ia mengeluarkan benda dengan layar berukuran 6" dari saku celananya. Chat Grup: Arde : The, lo dimana? Anda : Rumah Arde : Rumah Vivi? Anda : Rumah gue sendiri, bangke! Mamad : Gabung sini, Bos! Kita nobar vokep terbaru. Anda : Males! Arde, Mamad : Tumben? Read. Theo kembali memasukkan ponselnya, ia melangkah memasuki kamarnya. Yheo melempar tasnya keatas ranjang, lalu ia menjatuhkan tubuhnya juga diatas ranjang. "Emang gue posesif ya?" gumam Theo pada diri sendiri. Cowok itu mengusap wajahnya kasar. Ia memejamkan matanya, berharap saat bangun Vivi sudah menghubunginya. *** *Dalam mimpi Theo ... Theo sedang berada disatu kamar hotel. Tubuhnya menjadi tembus pandang, ia sedikit bingung saat berusaha memegang benda disekitarnya tetapi tak bisa tersentuh. "Kenapa badan gue transparan gini? Bangke, gue belum mau mati anjir!" gumam Theo. Ceklek Pintu kamar itu terbuka, menampakkan Vivi yang masuk bersama seorang laki-laki. "Ayang! Lo ngapain ama orang itu?" suara Theo tak dapat didengar oleh Vivi. Theo berkali-kali mengerjapkan matanya. Emosi muncul ketika melihat lelaki itu menjamah tubuh kekasihnya. Theo mengumpat dan menyumpahi keduanya. "Bangke! Apa-apaan ini! Vivi!" teriak Theo yang sayangnya tak dapat didengar oleh Vivi. "Akkhhh ... terus begitu, ehmmm," desah Vivi saat pusat gairahnya terasa penuh oleh kejantanan lelaki itu. "Oh yeah, kau selalu nikmat, sayang, " desah lelaki itu. Tiba-tiba saja pandangan Theo memburam, ia mengusap wajahnya kasar. Mencoba menerima apa yang baru saja ia lihat. Saat pandangannya kembali, ia melihat Vivi berada dibawahnya. Kejantanannya sudah berada didalam liang senggama kekasihnya. "Aakkhh, Ayang jangan diem ... gerakin napa sih, yang!" rengek Vivi yang merasa frustasi dengan Theo. "Ha? Yang?" "Hmm? Ada apa? Kok diem sih, kan ga enak, yang! Ihhh, buruan gerakin." Theo menggerakkan pinggulnya, meski kejantanannya sudah masuk kedalam liang sempit itu, tetapi ia tak bisa merasakan kenikmatan. Hanya desahan Vivi yang terdengar, tidak dengan Theo. Tiba-tiba saja kepalanya dipukul oleh seseorang. Theo membuka matanya, ia memfokuskan pandangannya lagi. "Mama!" teriak Theo. "Kau itu kenapa sih? Tidur pake acara desah gitu, aahh Vivi aahhh Vivi," ujar Aqila menirukan suara desahan Theo. "Serius, Ma? Theo desah gitu?" "Tuh lihat! Mimpi basah, sayang? Astaga anak mama m***m dibawa sampek mimpi." "Whooaaa," Theo langsung melompat dari atas ranjang, ia berlari menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Aqila tertawa terbahak-bahak melihat tingkah anaknya yang sudah remaja. "Mama beresin ranjangmu dulu ya, The?" "Iya, ma. Maaf ya ma?" "Iya, gapapa kok. Wajar kali anak seusia kamu mimpi basah," "Hehehe." "Kalo udah selese mandi, buruan turun ya! Mama udah masakin buat makan malammu." "Oke, ma!" Aqila keluar dari kamar anaknya, ia membawa serta selimut yang basah karena Theo. Lima belas menit kemudian, Theo sudah keluar dari kamar dengan pakaian lengkapnya. Ia berjalan menuju ruang makan untuk menghampiri mamanya. "Ayo makan, sayang," panggil Aqila. Theo duduk diseberang Aqila, ia mengambil nasi dan lauk yang sudah dihidangkan diatas meja. "Papa masih di Surabaya, ma?" tanya Theo pada mamanya. "Iya, mungkin besok papa pulang. Kenapa? Kangen?" "Ha? Hmm, dikit." "Makannya sering pulang dong! Jangan tidur asrama terus, biar tau pas papa sama mama dirumah. Apalagi kamu juga jarang bertemu dengan adikmu." "Iya, ma." "Entar Theo sering pulang kalo ga ada latihan." Theo menyantap hidngan yang ada dihadapannya hingga tak tersisa. Perutnya sudah kenyang, kini ia akan kembali kekamarnya untuk memeriksa apakah Vivi sudah menghubunginya atau belum. "Ma, Theo kekamar dulu." "Iya." Theo melangkah menjauhi dapur. Ia berjalan santai dengan tangan diatas kepalanya. Sampai dikamar, Theo melihat ada pesan masuk. Grup Chat GAS : Opiknya Sharap : The, lo dimana bangke? Masih hidup apa udah innalillahi? Anda : Dirumah! Ada apa? Lo kangen ma gue? Opiknya Sharap : Tumben lo pulang. Raganya Ami :Vivi belum ketemu? Anda : Belum. Opiknya Sharap : Kuy ngumpul ditempat gue! Main bilyard kuy. Anda : Males! Opiknya Sharap : Ga dateng gue bikin bangkrut perusahaan bokap lo! Anda : Bangke banget sih bocah satu ini! Ya, ya gue otewe! Raganya Ami : Meluncur. Orisnya Rhea : Otw, Pik. Read. Theo berganti pakaian, ia mengenakan kaos tipis dan celana pendek. Saat berjalan  menuju pintu utama, ia bertemu dengan mamanya. "Mau kemana?" "Rumah Ovi, ma." "Owh, hati-hati dijalan!" "Iya, ma! Pergi dulu, bye ma." Theo menekan tombol pada layar ponselnya, seketika pintu garasi mobilnya terbuka. Theo mengambil kunci mobil BMW i4 yang ada didalam sebuah kotak kunci diatas nakas. Cowok itu melajukan mobilnya menuju rumah Ovi dikawasan elit tengah kota Jakarta. *** Hanya ada empat lelaki dirumah Ovi, mereka adalah Theo, Raga, Oris, dan Ovi selaku pemilik rumah. Mereka menghabiskan waktu bermain bilyard dan bercengkrama. "Anjeli mana nih?" tanya Raga. "Kagak tau, dari tadi susah banget dihubungin," jawab Ovi. "Biasanya kalo kayak gini tu anak pasti lagi naena ma selirnya," celetuk Theo. "Siapa tau aja Anjeli lagi tidur," sahut Oris. "Iya ... tidur ama selirnya yang kesekian, wkwkwkwkwk," ujar Raga. Permainan bilyard itu sedikit seru, apalagi sejak Ovi membuat pengumuman. "Eh, kalo kalian ada waktu kosong kita main ke puncak kuy! Ajakin cewek-cewek kita juga biar seru," cetus Ovi. "Tar gue pikirin dulu ye Pik, kalo udah siap mental!" sahut Raga sedikit lesu. "Lo gimana, Ris?" tanya Ovi pada Oris. "Entar gue ijin dulu ama nyokapnya Rhea." "Yaelah, Ris. Segitunya lo, kan orang tua Rhea kagak ada dimari," ujar Ovi. "Minta restu orang tua itu penting, Pik! Emang lo main tancap gas!" jawab Oris. "Kan emang kita anak GAS, Ris!" celetuk Ovi. "Udah kelar rumpinya? Buruan, giliran siapa ini?" tanya Raga. "Woy, The! Galon mulu lo! Buruan main!" seru Ovi. "Iya." Theo kembali fokus bermain, ia lebih banyak diam kali ini. Hal itu tak membuat permainannya menjadi canggung. Sesekali ketiga temannya berusaha menyemangati Theo. "Lu kek bayi kagak nyusu seminggu tau gak!" celetuk Ovi. "Kek lu kagak aja! Ditinggal Sharap sehari aja lu udah sewa detektif," sahut Theo. "Kan mending, dari pada lu. Diem tanpa usaha, mana ada ketemu kalo kagak usaha." "Yaelah, Pik. Ponselnya aja mati, mo nyari kemana?" "Mau gue pinjemin detektif gue?" "Tunggu besok lah! Kalo kagak ada kabar gue suruh orang gue buat nyari." "Emang Vivi kemana?" tanya Oris. "Bilang ke gue sih, tu anak mau minggat," jawab Ovi. "Serius bilang ke lo gitu, Pik?" tanya Tbeo yang tak percaya pada ucapn Ovi. "Yee ... kagak percaya ya udah!" Waktu menunjukkan pukul dua belas tangah malam. Ketiga cowok yang berada di rumah Ovi berpamitan untuk pulang. Masing-masing mengemudikan mobil sport nya, mereka melajukan mobilnya dan berpisah didepan gerbang karena arah yang berbeda. *** Theo sedang menatap layar kecil digenggamannya. Hingga kini belum ada balasan chat dari Vivi. Theo berencana menyuruh seseorang untuk mencari Vivi jika pagi ini tak ada kabar dari cewek itu. "Aarrgghh! Kemana sih lo itu! Ga biasanya lo ngilang kayak gini, Vi!" ujar Theo kesal. Waktu sudah menunjukkan pukul tiga dini hari. Theo masih belum bisa tenang sampai kekasihnya ditemukan. "Kenapa gue kagak kepikiran sih," gumamnya sembari menekan ponsel mencari nomor telepon rumah Vivi. Sayangnya tidak ada jawaban saat Theo menelepon. Tentu saja itu karena sekarang masih gelap, asisten rumah pasti masih terlelap dalam tidurnya. Lagi-lagi Theo berdecak kesal, ia harus menunggu hingga matahari menampakkan diri beberapa jam lagi. Ia memutuskan untuk berbaring diatas ranjang sembri memainkan game yang ada diponselnya. Namun, matanya tak dapat lagi bertahan. Pada akhirnya Theo tertidur dengan ponsel yang masih menyala. *Bersambung... Baca juga cerita lain GAS di empat Author kece lainnya. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN