Perkenalan
Suasana duka menyelimuti keluarga Viola, Lukas---kakeknya---meninggal dunia sore tadi, mereka langsung datang ke kediamannya setelah ditelepon oleh paman Sam bahwa kakek terjatuh di kamar mandi, setelah beberapa jam langsung tiada. Padahal putrinya---Revalin---berniat datang besok sekalian untuk liburan akhir pekan bersama suami dan anaknya, rupanya takdir berkata lain.
Petir menyambar-nyambar, kilatan cahaya membuat suasana makin mencekam. Jenazah kakeknya sudah sejak dua jam yang lalu, tinggal Rose yang belum sepenuhnya bisa menerima perjalanan atau melawat besok masih tinggal, kemungkinan besok pagi barulah mereka pulang. Rose sudah ditemani Revalin di kamarnya.
Matanya terus mengawasi sekeliling, sulit terpejam. Guruh yang tak henti-hentinya bersahutan, membuatnya tak bisa tidur hingga sekarang pukul satu malam. Ditemani earphone ko guild yang menghantarkan lagu dalam ponselnya, juga lampu tidur temaram di sisi kanan ranjang, ia mengedarkan pandang ke sekeliling, mencari apapun barangkali ada sesuatu yang menarik.
Dan ia bangkit ketika melihat beberapa tumpukan buku usang tertumpuk rapi di atas meja belajar. Dilihatnya satu persatu, ada empat buku berbeda. Buku dengan sampul hitam yang diujung-ujungnya sebagian dimakan tikus, menyisakan mungkin tiga perdelapan yang masih bisa dibaca ... diletakkannya di samping kanan sendiri, ada buku lain dengan sampul warna coklat bertuliskan sejarah suatu kota, novel romansa dengan sampulnya warna merah bata dan terakhir buku tak ada sampulnya. Ia membolak-balik buku itu, mencoba mencari tahu apa sebenarnya isi dari buku tersebut, membaca satu bait tulisan di sana.
Rasa penasaran Viola muncul ketika sekilas melihat tulisan werewolf dikalimat terakhir halaman tersebut, sudah tak ada daftar isinya, langsung loncat ke halaman 21. Ia membuka halaman dengan cepat, melihat ke bagian buku paling belakang juga robek beberapa halaman, ada sampai halaman 57 saja.
'Nggak papa sobek ada juga yang hilang, biar aku cepat ngantuk baca aja lah seadanya,' batin Viola.
Ia membaca dengan penuh penghayatan. Satu, dua, tiga halaman terlewati ... Tujuh, delapan, sembilan halaman terlalui begitu saja, matanya lama kelamaan tertutup dengan sendirinya, buku tersebut masih dipegang teuh huuurgeletak diperutnya.
"Vi, bantuin mama!" seru ibunya membangunkan putri tunggalnya itu. Menyibak gorden sepanjang satu meter itu, cahaya matahari masuk leluasa.
Viola merentangkan tangan, membuka matanya sedikit, matahari rupanya sudah tinggi.
"Hoooaaammm." Ditutuplah mulutnya yang bau naga.
"Bantuin mama masak di dapur, lusa kita daftar sekolah, setelah semua beres mama sama papa akan pulang," ucap Revalin.
"Ya ... Ma. Bentar lagi lah," jawab Viola malas untuk bangun. Revalin menarik selimut putrinya, menarik lengan anaknya agar cepat bangun, saudara yang masih tinggal juga sudah bangun.
"Awas ya nggak cepetan bangun! Mama malu punya anak cewek males, susah dibilangin."
"Iya-iya, Ma. Bangun nih, jarang-jarang kan aku bangun agak siangan," rengek Viola kemudian duduk, mengucek kedua matanya.
Ia langsung menuju dapur, tersenyum tipis saat melewati saudara ayah dan ibunya. Neneknya masih diam membisu, menatap sembarang dengan tatapan kosong. Viola langsung ke kamar mandi untuk membersihkan wajahnya.
Beberapa menit kemudian ia keluar dan langsung membantu ibu serta dua tantenya yang sibuk mengiris sayur dan mengupas bawang.
"Aku bantu ngapain ini, Ma ... Tan?" ucap Viola, ia satu-satunya cucu yang sudah menginjak dewasa, yang lain masih balita dan usia sekolah dasar.
"Kamu bantuin tante aja ngupas bawang ya, Vi," ucap tante Lisa memberi ruang untuk Viola bergabung dengannya, mengangsurkan pisau sesaat setelah Viola duduk.
"Oke ... siap."
Sore harinya.
Saudara Viola yang tinggal beda kota pulang satu persatu, hari sudah sore. Matahari hampir tenggelam, dan langit sudah berubah warna menjadi jingga. Segera Viola mandi dahulu karena bergantian dengan yang lain. Hanya ada dua kamar mandi. Satu di dalam rumah dan satu di luar rumah. Di belakang sana agak lumayan jauh katanya masih ada hutan, ia takut kalau harus mandi malam-malam di kamar mandi belakang.
Selesai mandi ia berganti pakaian hangat, pepohonan yang masih banyak juga dekat dengan hutan membuat hawa sekitar rumah sejuk dan senantiasa dingin.
Viola mengenakan jaket serta setelan piyama panjang, memainkan ponsel duduk di sofa depan TV dengan saudara-saudaranya yang juga berkumpul, berbincang ringan. Mereka tak begitu banyak bercanda karena sedang dalam suasana berduka cita.
"Permisi" seru beberapa orang yang tiba-tiba muncul, berdiri di berjejer di depan pintu, menunggu untuk dipersilakan masuk. Kulirik sekilas mereka, mama tergopoh-gopoh menghampiri dengan beberapa saudara lainnya.
Menyilakan mereka masuk, kedatangan mereka membuat rumah ini sesak karena rumah ini tak terlalu besar. Rata-rata pemuda dan bapak-bapak yang datang untuk mengucapkan bela sungkawa, sedang para wanita sudah banyak yang datang kemarin.
Viola menyalimi mereka satu persatu dengan saudaranya yang lain, yaitu anak-anak kecil. Ada salah seorang pemuda yang menarik perhatiannya. Viola dan keponakannya masuk ke dalam, kembali menonton TV, tapi Viola terus mencuri-curi pandang ke lelaki itu.
Yang dipandangnya malah tersenyum ke arahnya. Seketika jantungnya serasa ingin melompat karena kaget lelaki yang dipandanginya menoleh ke arahnya tiba-tiba. Viola jadi salah tingkah, membuang muka, membuat salah satu keponakan yang duduk di dekatnya curiga.
"Hayoo, Kak Vio liatin siapa? hehe," celetuk salah satu keponakannya yaitu Rhea.
"Ssssssstttt!" Viola menempelkan telunjuknya di depan bibirnya. "Aku gak liatin siapa-siapa, kamu diem, jangan bilang yang nggak-nggak ya Rhe," bisik Viola ditelinganya.
Rhea mengangguk namun tersenyum, balik membisikkan sesuatu pada Viola.
"Kasih tau aku dulu, kakak ngincer cowok yang mana, cepet kasih tau aku."
Viola melotot, menaruh kedua tanggannya dipinggangnya lalu mendekat ke arah Rhea.
"Nggak ada, Rhe. Udah deh nanti aku beliin es krim, mau nggak?" bujuknya pada anak kelas enam SD itu. Ia menggelengkan kepalanya seraya tersenyum.
"Aku bukan anak-anak lagi, Kak."
"Terus kamu maunya apa?" tanya Viola sedikit kesal.
Tak ada yang peduli dengan percakapan dua anak manusia itu, bukan. Mereka semua sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Jadi, mereka tak mempermasalahkan mereka merebutkan apa atau berdebat tentang apa.
"Yaudah deh, kakak nyerah. Sini ... aku bisikin," ucapnya lelah menyangkal. Yang dibisiki juga manggut-manggut sambil tersenyum. Lalu menatap ke arah depan, mencari sosok yang di ceritakan.
"Hehe, iya Kak emang ganteng hehe," ucap Rhea cengengesan.
Malam sudah larut, para saudara semua pulang. Hanya tinggal keluarga Viola yang ada.
"Nak, kamu jadi kan temenin nenek di sini?" tanya neneknya penuh harap, memegang tangan cucunya.
"Iya, Nek. Aku jadi temenin nenek, kok. Nggak usah khawatir."
"Syukurlah, Nak. Makasih ya mau temenin nenek," ucap nenek merangkul cucunya senang, begitu pula Revalin dan Barry menatap ibu dan anaknya dengan haru.