Arti mencintai yang sesungguhnya itu bukan tentang bagaimana kamu egois untuk mendapatkan, tapi tentang bagaimana kamu bersukarela mau melepaskan.
(DF.04 Dean Haidar Argani)
***
"Abang bantuin tes yang bagian ini dong," kata Dean seraya menyerahkan buku paket farmakognosinya.
"Kamu gak tidur? Lecek banget mukanya."
Diandra berjalan dari arah dapur menghidangkan beberapa makanan di meja makan untuk sarapan kedua putranya. "Dek, jangan kebiasaan, ah, SKS kayak gitu. Sakit nanti kamu. Kalau mau, dari jauh-jauh hari hafalannya nyicil."
"Baru ingat semalam, Ma. Itu juga di kasih tahu sama Dee. Bang ih cepat. Jangan berurutan, ya. Jadi, acak gitu Abang tanyanya. Misalkan, Catechu keluarganya apa? Gitu."
Dio mengangguk saja menuruti permintaan sang adik. "Catechu keluarganya apa?"
"Rubiaceae."
"Pemeriannya?"
"Tidak berbau. Rasa mula-mula pahit dan rasa kelat-sepat, kemudian agak manis."
"Carbo adsorbens penggunaannya apa?"
"Hm, itu ... antidota."
"Sambil makan!" Diandra tahu-tahu sudah memegang piring berisi nasi dan ayam goreng, kemudian menyuapi Dean. Jika tidak begitu, putra bungsunya tentu tidak akan sempat sarapan. "Abang juga sambil makan."
Dean memang terkadang manja. Namun, di luar anak itu selalu ingin terlihat dewasa dan mandiri, terlebih di depan Dee. Diandra sudah tahu itu sejak lama. Dean tak segan bicara tentang apa pun padanya, tanpa ada yang ditutup-tutupi. Itu membuat kehadirannya seakan dihargai. Pernah ada satu masa di mana Dio menolak hadirnya dengan alasan anak lelaki itu tidak ingin siapapun menggantikan ibundanya, tetapi perlahan Dio mulai menerima. Ya, statusnya memang bukan ibu kandung Dio dan Dean, tetapi jangan tanya bagaimana ia menyayangi keduanya.
"Dek, kata teman Abang suara kamu bagus. Apalagi di video terbaru itu."
Dean mengerutkan dahi mengingat video apa yang dimaksud kakaknya. "Oh, yang cover lagu Rama itu, Bang?"
"Iya yang bertahan, ya, judulnya kalau gak salah? Di situ kamu nyanyinya gak setengah-setengah, menjiwai banget."
"Pasti total dong, Bang. Orang ada maksud terselubung di lagu itu." Sang mama menyahuti.
Fyi, Dean sering mengunggah kegiatan sehari-harinya ke youtube——jika sempat. Entah itu sedang jalan-jalan, kegilaannya di sekolah, atau hanya meng-cover lagu seperti yang disebutkan sebelumnya. Baginya kegiatan itu menyenangkan.
"Dih, maksud apa coba, Ma? Enggak ada, ya."
"Ya bertahan, walaupun yang didapat baru setengah hatinya Dee. Setengahnya lagi Dee masih suka sama orang."
"Telak, Dek. Nusuk sampai ari-ari."
Dean mengerucutkan bibir. "Wah, Mama parah nih!" seru Dean sembari geleng-geleng. "Mama kalau ngomong suka benar."
Diandra tertawa renyah. Ia paling senang menggoda putranya dengan hal itu. Walaupun perasaannya tak terbalas, Dean tetap berteman baik dengan Dee. Jangankan terbalas, Dee tahu kalau Dean menyukainya saja mungkin tidak. "Buka lagi mulutnya ayo."
"Udah, ah, Ma. Kenyang."
"Kenyang apa orang baru beberapa suap."
"Kenyang, Ma."
"Ayamnya aja habisin, ya? Ayo buka mulutnya."
Dean pasrah saja. Jika menolak, mamanya akan semakin cerewet.
***
Dee melangkah gontai memasuki ruang kelas. Rupanya ada Faiz yang kini terlihat sibuk menghafal. Ia tak ingin terfokus pada lelaki itu lagi. Faiz sudah pergi begitu jauh. Ah, mungkin bukan Faiz yang pergi. Dirinyalah yang jatuh terlalu dalam sampai-sampai tak mungkin naik lagi ke permukaan untuk kembali bersama Faiz.
"Lagi ngapain lo? Jam segini udah buka buku aja."
Dee hafal betul suara siapa itu——Leon. Bukan bertanya padanya, tapi pada Faiz. Leon seolah tak kapok berurusan dengan guru. Entah itu karena tidak mengerjakan tugas atau lupa menghafal apa yang diperintahkan. Buku tulisnya kebanyakan bersih tanpa noda apa pun. Kalau ada, pasti hanya gambar-gambar dengan bentuk aneh, hanya dia dan Tuhan yang tahu apa yang berhasil digambarnya.
"Lo gak ngehafal lagi? Bu Iis marah nanti kalau lo gak hafal pas ditanya." Faiz buka suara.
"Farmakognosi ada hafalan lagi? Yang kemarin aja masih ngutang gue."
"Makanya jangan bandel banget kenapa jadi orang. Sehari tuh lu menyempatkan belajar. Mau itu berapa menit yang penting belajar harus bisa lo prioritaskan. Lo gak sekolah di tempat yang main-main. Kalau sampai gak lulus, lo juga yang malu. Orang tua lo juga kecewa karena udah sekolahin mahal-mahal, tapi hasilnya nihil."
Dee tersenyum kecil. Faiz tak segan memberikan ceramah gratis jika dirasa ada teman yang bersekolah hanya untuk main-main. Menurut Faiz, di luar sana bahkan banyak yang tidak bisa bersekolah sama sekali, jadi kita yang diberi kesempatan itu selayaknya bisa memanfaatkannya dengan baik.
"Cie senyum-senyum sendiri."
Dee terperanjat kaget saat Dean menggebrak mejanya sembari melontarkan candaan demikian.
"Apaan sih!"
Dean menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, merasa candaannya kurang tepat. Sudah bukan rahasia kalau Dee menyukai Faiz, dan mereka bisa saja beranggapan kalau Dee masih belum bisa move on. "Sorry," sesal Dean.
"Udah hafal?" Gadis itu mengalihkan pembicaraan.
"Mandet-mandet, tapi lumayanlah. Eh, Dee, pinjam LKS PAI dong."
"Kebiasaan banget sih, De. Ambil di tas. Yang essay-nya lo isi sendiri jangan nyontek."
Dee tidak seperti Faiz. Faiz lebih senang membantu teman-temannya dengan cara membuat mereka memahami materinya daripada memberikan contekan. Namun, tidak dengan Dee. Ia tak begitu pandai menjelaskan, jadi biarlah teman-temannya menyalin tugas miliknya daripada mereka tersesat karena Dee salah menjelaskan. Lagi pula, tak banyak yang sering bertanya padanya. Kebanyakan lebih percaya pada Faiz——si pemegang peringkat pertama. Dee dan Faiz benar-benar dua pribadi yang kontras. Wajar saja kalau pada akhirnya mereka harus saling melepaskan. Ah, bukan saling melepaskan, hanya Dee saja yang dipaksa melepaskan. Karena sejak awal Faiz tidak pernah mengikatnya, justru ia yang dengan percaya diri merasa terikat pada lelaki itu.
***
"Dean awas!"
Dean menoleh ke sumber suara, tak sampai hitungan menit sebuah bola dengan kombinasi warna kuning dan biru menghantam wajahnya.
Bugh!
Dean diam beberapa saat berusaha menormalkan dirinya. Hidung mancungnya menjadi sasaran empuk tempat mendarat bola voli itu.
Biasanya di jam istirahat anak laki-laki memang lebih sering bermain voli. Dean yang melintasi lapangan hendak menuju kantin justru mendapat sambutan manis. Lelaki itu meringis memegangi hidungnya yang kini mungkin sudah memerah.
"De, darah!" Seorang siswa setengah berteriak melihat cairan merah mengalir dari rongga hidung Dean.
Dean tak kalah kaget. Ia membekap bagian mulut dan hidungnya kemudian berjalan cepat ke arah kamar mandi sebelum darah tersebut mengotori pakaian putih-putih yang dikenakannya.
***
Dee berjalan tergesa mencari keberadaan Dean. Ada perasaan cemas saat mendengar Dean mimisan karena tersambar bola voli. Hidung Dean memang mancung, wajar saja kalau itu menjadi bagian pertama yang terkena bola.
Dee mencari ke kamar mandi, tapi tidak ada. Sampai akhirnya pencarian gadis itu terhenti di UKS.
"Dean?"
Dean yang kini duduk di ranjang UKS menoleh tanpa bersuara. Posisi tubuhnya sedikit condong ke depan. Tangan kirinya ia gunakan untuk memencet hidung, sementara tangan satunya memegang kassa yang sudah berlumur darah.
Banyak orang yang salah kaprah dalam menangani mimisan. Orang yang mengalami mimisan tak jarang diminta mendongak, padahal dalam posisi seperti itu malah memungkinkan darah masuk ke area pernapasan atau tertelan sehingga orang tersebut akan tersedak bahkan muntah.
"Belum berhenti?"
Dean melepas tangan yang ia jepitkan di hidung, dan darah itu mengalir lagi. "Kenapa, ya?" tanyanya heran. Padahal sudah lebih dari sepuluh menit ia dalam posisi seperti itu. Dean juga terpaksa bernapas lewat mulut.
Bu Kania masuk ke dalam ruang kesehatan membawa air minum juga obat yang diketahui untuk menghentikan pendarahan. Tranexamic acid. Obat golongan anti-fibrinolitik yang digunakan untuk menghentikan pendarahan pada sejumlah kondisi, seperti pasca operasi, mimisan, haid berlebihan, dan lain-lain. Ada yang perlu digaris bawahi, obat ini tidak boleh digunakan secara bebas, harus dengan resep dokter. Beruntungnya di sekolah ini ada tenaga pengajar yang berprofesi sebagai dokter dan apoteker.
"De, ini obatnya diminum dulu. Udah pucat loh kamu. Kalau misal gak berhenti juga, nanti kamu periksa ke rumah sakit, ya? Takutnya ada gangguan pembekuan darah atau apa."
"Iya, Bu," sahutnya. Namun, Dean tidak akan melakukan itu. Bilang pada sang mama saja sudah pasti akan membuatnya dikurung dalam rumah. Mamanya memang selalu seperti itu. Dean terbuka, tetapi tidak untuk hal satu ini. Biarlah kalau ada apa-apa Dean sendiri yang menanggungnya daripada mamanya cemas.
Bersambung ...