Dia yang benar-benar mencintaimu akan mati-matian membuat senyummu merekah, bukan malah sengaja membuat air matamu tumpah. Rupanya benar kata orang, membuat seseorang tertawa jauh lebih sulit dibanding membuat orang terluka.
(DF.05 Muhammad Faiz Adyan)
***
Dee berjalan tergesa mencari keberadaan Dean. Ada perasaan cemas saat mendengar Dean mimisan karena tersambar bola voli. Hidung Dean memang mancung, wajar saja kalau itu menjadi bagian pertama yang terkena bola.
Dee mencari ke kamar mandi, tapi tidak ada. Sampai akhirnya pencarian gadis itu terhenti di UKS.
"Dean?"
Dean yang kini duduk di ranjang UKS menoleh tanpa bersuara. Posisi tubuhnya sedikit condong ke depan. Tangan kirinya ia gunakan untuk memencet hidung, sementara tangan satunya memegang kassa yang sudah berlumur darah.
Banyak orang yang salah kaprah dalam menangani mimisan. Orang yang mengalami mimisan tak jarang diminta mendongak, padahal dalam posisi seperti itu malah memungkinkan darah masuk ke area pernapasan atau tertelan sehingga orang tersebut akan tersedak bahkan muntah.
"Belum berhenti?"
Dean melepas tangan yang ia jepitkan di hidung, dan darah itu mengalir lagi. "Kenapa, ya?" tanyanya heran. Padahal sudah lebih dari sepuluh menit ia dalam posisi seperti itu. Dean juga terpaksa bernapas lewat mulut.
Bu Kania masuk ke dalam ruang kesehatan membawa air minum juga obat yang diketahui untuk menghentikan pendarahan. Tranexamic acid. Obat golongan anti-fibrinolitik yang digunakan untuk menghentikan pendarahan pada sejumlah kondisi, seperti pasca operasi, mimisan, haid berlebihan, dan lain-lain. Ada yang perlu digaris bawahi, obat ini tidak boleh digunakan secara bebas, harus dengan resep dokter. Beruntungnya di sekolah ini ada tenaga pengajar yang berprofesi sebagai dokter dan apoteker.
"De, ini obatnya diminum dulu. Udah pucat loh kamu. Kalau misal gak berhenti juga, nanti kamu periksa ke rumah sakit, ya? Takutnya ada gangguan pembekuan darah atau apa."
"Iya, Bu," sahutnya. Namun, Dean tidak akan melakukan itu. Bilang pada sang mama saja sudah pasti akan membuatnya dikurung dalam rumah. Mamanya memang selalu seperti itu. Dean terbuka, tetapi tidak untuk hal satu ini. Biarlah kalau ada apa-apa Dean sendiri yang menanggungnya daripada mamanya cemas.
***
Kota Hati kembali kedatangan penghuni baru. Siapa dia? Namanya Cinta. Cinta datang di saat penduduk Kota Hati tengah memanas——masih karena konflik yang sama. Penduduk Hati asik menggunjing Luka, karena Bahagia tak kunjung kembali.
Suatu hari, di tengah terik sang surya, Cinta melihat Luka terduduk sendiri di sudut kota. Semua mengucilkannya, tak ada yang mau berteman dengannya. Terdorong oleh rasa penasaran, Cinta berjalan mendekat. "Hai, kamu kenapa?"
Luka refleks mendongak. "Mengapa kamu mendekatiku? Padahal semua orang pergi jauh dariku."
Cinta mengernyit bingung. "Mengapa mereka menjauhimu? Apa kamu melakukan kesalahan yang tak dapat mereka maafkan?"
"Aku hanya datang ke kota Hati, dan entah mengapa Bahagia tiba-tiba pergi," sahut Luka.
Cinta menyunggingkan seulas senyum. "Mau berteman denganku? Aku janji, suatu hari nanti aku bisa membuat kalian hidup berdampingan."
"Benarkah? Akan kutagih janjimu. Oh, iya, siapa namamu?"
"Namaku Cinta. Mulai hari ini aku adalah temanmu. Aku berjanji suatu hari nanti aku akan membuat Luka dan Bahagia hidup berdampingan di kota Hati ini."
Faiz meletakkan selembar kertas yang ia temui di kelas tadi sewaktu melaksanakan piket. Faiz tahu tulisan siapa ini. Ada perasaan bersalah membaca apa yang Dee tulis. Ya, memang. Pada dasarnya cintalah yang membuat luka dan bahagia hidup berdampingan. Tak bisa dipungkiri, ketika kita memutuskan untuk mencintai, yang harus dipertanyakan bukanlah kesiapan untuk bahagia, melainkan kesiapan untuk terluka. Semua orang siap bahagia, tapi tidak semua orang siap terluka.
Faiz tidak menyengka kalau niatnya bersenang-senang dengan Dee justru membuat gadis itu terjatuh kian dalam pada kubangan luka.
Pada awalnya Faiz hanya senang menggoda Dee karena gadis itu penakut. Berlanjut pada hal-hal sederhana lain seperti mengantar Dee pulang, pergi bersama, sering berkirim pesan, memberi kado ketika masing-masing berulang tahun. Namun, semua yang ia kira sederhana itu berbuntut panjang. Dee menyukainya.
Dulu Faiz tak tahu kalau Dee mulai menyukainya. Hanya saja karena sering melihat gadis itu diam-diam menangis jika melihat kebersamaannya dengan gadis lain, dan anak sekelas pun ramai membicarakannya dengan Dee, Faiz mulai sadar kalau ia bermain terlalu jauh. Padahal kala itu statusnya tidak sendiri, ia sudah memiliki kekasih, meskipun mereka tinggal berjauhan.
Semua akun sosial medianya di-block oleh gadis itu. Bahkan, nomornya pun di-blacklist. "Segitu niatanya, ya, lo ngelupain gue? Apa hati lo sangat sakit karena gue, Dee?"
Pertanyaan yang tak harus mendapat jawaban karena semuanya benar. Gadis itu memang ingin melupakannya. Seharusnya Dee memang tidak boleh mencintainya. Faiz tidak bisa membuat perasaan Dee bersambut. Ia juga tak bisa membuat gadis itu tertawa, justru Faiz lebih sering melukainya.
***
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam. Dee, Sayang, ya ampun udah lama kamu gak main ke sini."
Diandra langsung menyambut hangat kedatangan putranya dan Dee. Hari ini Dean tidak dijemput karena abangnya sedang ada pekerjaan. Jadi, ia mengajak Dee ke rumahnya naik angkot. Akhirnya ada kesempatan juga untuk mereka bersama.
"Mama tuh, aku pulang gak disambut. Dee aja sampai segitunya."
"Ada yang cemburu nih, Dee," goda Diandra.
Dee hanya terkekeh geli. Mama sahabatnya yang memang berjiwa muda itu membuatnya merasa nyaman dan tidak canggung. "Tante apa kabar?"
"Alhamdulillah baik. Kamu gimana? Eh, Mama kamu sehat? Udah lama juga Tante gak ketemu."
"Aku sama Mama alhamdulillah baik juga. Mama lagi sibuk ke sawah, Tante. Lagi panen."
"Wah, Tante jadi pengin ke sana. Apa tuh kalau di Sunda namanya yang makan sama-sama di sawah."
Dee tertawa kecil. Dean dan keluarganya memang bukan asli sini, jadi wajar kalau tidak begitu paham bahasa daerahnya. "Botram."
"Nah, eta. Sama sambal terasi, ikan asin, tumis kangkung, tempe goreng, nasinya nasi liwet. Raos pisan."
"Ayo Tante ke sana aja. Mama pasti senang ada Tante."
"Iya, nanti deh gampang. Kapan-kapan Tante ke sana."
Dean sedari tadi hanya diam. Tidak mengerti dengan apa yang dibicarkan kaum perempuan. Kepalanya juga sedikit pening, entah karena kejadian tadi atau karena hal lain.
"Dek, kok melamun? Ganti baju dulu sana nanti ... loh, itu kok itu ada merah-merah? Darah? Kamu luka? Kenapa?"
Nah, kan. Baru melihat itu saja sang mama sudah begitu panik, apalagi kalau sampai tahu kejadian sebenarnya. "Bukan darah, Ma. Tadi di suruh beresin ruang praktikum, terus carmin tumpah kena baju deh."
"Carmin itu apa? Jangan bohong sama Mama, Dek."
"Zat tambahan, Ma. Kayak pewarna buat obat gitu."
Carmin, masuk ke dalam salah satu corrigens coloris, yakni zat tambahan untuk memperbaiki warna obat. Misalkan, agar obat itu menjadi lebih menarik.
Diandra tak hilang akal. Ia menarik seragam putranya yang terdapat noda merah, lalu menciumnya. "Bau amis, gak bau obat. Ini benar darah."
Karena gemas, Dee akhirnya bersuara. "Tadi Dean mimisan, Tante. Kena bola voli hidungnya."
"Adek nakal banget segala bohong sama Mama. Udah diobatin?"
"Udah kok, Ma. Tenang aja."
"Pusing gak kepalanya?"
"Sedikit."
"Mending kamu istirahat, biar Dee nemenin Mama ngobrol. Nanti kalau Abang pulang, Dee baru diantar pulang."
"Gak mau. Aku sama Dee mau nonton film sekarang. Dadah Mama. Ayo Dee!" kata Dean sembari menarik lengan gadis itu menuju taman belakang rumahnya. Biasanya mereka menonton di sana mengingat tempatnya sangat sejuk.
Diandra geleng-geleng melihat kelakuan putra bungsunya.
Bersambung ...